Wajah Baru Pemilihan
Kepala Daerah
Salah satu ciri pemerintahan yang
bernuansa demokrasi dijabarkan melalui pemilihan umum, begitu juga dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya bagi daerah-daerah otonom di Indonesia
telah mengenal adagium pemilihan Kepala Daerah, yang dilaksanakan secara
langsung. Tentu saja hal ini berkolerasi dengan bertambahnya minat masyarakat
untuk ikut dalam demokrasi tersebut, baik sebagai peserta yang akan dipilih
maupun sebagai peserta yang akan memilih dalam pemilihan Kepala Daerah, dengan
kata lain masyarakat telah diberikan ruang dan apresiasi yang sebesar-besarnya
dalam menyukseskan sistem pemerintahan yang bercorak demokrasi.
Berdasarkan paradigma tersebut,
perjalanan ketatanegaraan di Indonesia khususnya dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, telah mengalami berbagai dinamika dalam pemilihan Kepala
Daerah, yang mana telah hidup dan berkembang sesuai dengan rezim dan nuansa
dari pemerintahan itu sendiri. Sehingga dapat kita cermati bahwa
pergantian kekuasaan dilevel nasional turut berimbas pada penyelenggaraan
pemerintahan di daerah-daerah otonom. Kini, paska satu dekade bergulirnya
pemilihan Kepala Daerah secara langsung, bagaimanakah wajah pemilihan Kepala Daerah
pada hari-hari yang akan datang ?
Kaleidoskop
Pemilihan Kepala Daerah
Sebagaimana yang telah diuraikan diawal
bahwa pemilihan Kepala Daerah akan sangat dipengaruhi dengan rezim dan nuansa
dari pemerintahan di level nasional, maka tidak jarang kita jumpai bahwa dalam
setiap regulasi mengenai pemilihan Kepala Daerah pada masing-masing masa
pemerintahan dapat dirasakan lebih banyak nuansa politiknya dari pada
argumentasi hukum. Hal ini dapat ditelusuri, melalui berbagai
metamorfosa yang telah terjadi pada rangkaian proses pemilihan Kepala Daerah, yang antara lain:
Pertama,
adanya pergeseran mengenai tata cara pemilihan Kepala Daerah yang sebelumnya
dilakukan melalui proses perwakilan (dipilih oleh anggota legislatif), hingga
kekinian pelaksanaannya dipilih secara langsung oleh masing-masing masyarakat
setempat (one man one vote). Kedua, adanya pergeseran mengenai
subjek hukum yang dapat berkompetisi dalam pemilihan Kepala Daerah yang
sebelumnya hanya dibatasi kepada mereka-mereka yang memiliki kendaraan berupa
partai politik, hingga kekinian siapapun dapat menjadi calon Kepala Daerah
tanpa harus diusung partai politik (calon independen), namun dengan syarat dan
ketentuan yang telah ditetapkan.
Ketiga,
adanya pergeseran prinsip jika sebelumnya pemilihan Kepala Daerah bukanlah
kategori dari rezim pemilihan umum, namun dalam perkembangannya pemilihan
Kepala Daerah beberapa waktu yang lalu telah dinyatakan oleh Undang-Undang
sebagai rezim dari pemilihan umum, dan yang terkini hal tersebut kembali
dianulir oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian pemilihan Kepala
Daerah bukanlah bahagian yang terintegrasi dari rezim pemilihan umum.
Keempat,
adanya pergeseran mengenai kewenangan lembaga negara yang berhak menyeleseaikan
berbagai sengketa pemilihan Kepala Daerah, yang mana sebelumnya diamanatkan
kepada Mahkamah Agung, tetapi selanjutnya dibebankan kepada Mahkamah
Konstitusi, hingga yang terkini menarik untuk dikaji Mahkamah Konstitusi
melepaskan kewenangan tersebut (tentu dengan dasar konstitusi), paska gegernya
publik atas tertangkapnya salah satu petinggi Mahkamah Konstitusi dalam skandal
yang patut diduga terlibat dalam sengketa pemilihan Kepala Daerah.
Babak
Baru Pemilihan Kepala Daerah
Kini
paska terjadinya berbagai dinamika dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah,
yang berujung atas dievaluasinya berbagai regulasi dan substansi dari pemilihan
Kepala Daerah itu sendiri, lantas bagaimana dengan wajah pemilihan Kepala
Daerah yang notabene “serentak” pada Tahun 2015 ini ?
Setidak-tidaknya
dalam menghadapi pemilihan Kepala Daerah serentak Tahun 2015, publik tentu
dapat mencatat bahwa ada perihal dari pemilihan Kepala Daerah yang dapat
dikatakan merupakan babak baru baik secara teknis maupun substansi dalam
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah Tahun ini, hal tersebut dapat ditelisik
baik dari Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah,
maupun berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah melakukan judicial review atas regulasi pemilihan
Kepala Daerah itu sendiri, yang diantaranya:
Pertama,
pemilihan Kepala Daerah yang pertama kali akan dilaksanakan secara langsung dan
serentak (serentak secara terbatas pada daerah-daerah otonom tertentu dengan
beberapa gelombang pelaksanaan), diseluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, pemilihan Kepala Daerah yang
pertama kali mengamanatkan kepada anggota legislatif maupun kepada para PNS wajib
untuk mengundurkan diri dari status kedudukannya saat ini.
Ketiga, pemilihan Kepala Daerah yang pertama kali mewajibkan
untuk dilaksanakan hanya dalam 1 (satu) putaran, artinya siapapun calon yang
memiliki suara terbanyak maka dialah pemenangnya tanpa ada syarat ambang batas.
Keempat, hakikatnya pemilihan Kepala
Daerah Tahun 2015 ini jika terjadi berbagai sengketa baik dalam pelaksanaan
maupun hasil pemilihan tidak akan diadili oleh Mahkamah Konstitusi, akan tetapi
oleh karena lembaga peradilan khusus belum dibentuk, maka Mahkamah Konstitusi tetap
diberi kewenangan untuk hal tersebut.
Kelima, dapat diasumsikan bahwa pemilihan Kepala Daerah
Tahun 2015 ini merupakan antiklimaks dari keberadaan calon independen. Bukan
sesuatu yang berlebihan, karena berkaca pada rangkaian proses
pelaksanaan pemilihan Kepala
Daerah di Provinsi Sumatera Utara, tercatat bahwa 11 (sebelas) daerah
Kabupaten/Kota tidak memiliki bakal calon independen (Harian Waspada, Rabu 1
Juli 2015), walaupun hal ini tidak dapat dijadikan parameter bagi seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi setidak-tidaknya hal ini
telah mendeskripsikan mengenai eksistensi calon independen tersebut.
Penutup
Saat ini paska bergulirnya wajah baru
dalam pemilihan Kepala Daerah, maka kita akan melihat dan mereview pada
hari-hari yang akan datang, dengan beberapa kriteria, diantaranya: Pertama, akankah dengan adanya babak baru
tersebut kita tidak akan mendengar lagi, baik sayup-sayup maupun secara
terang-terangan bahwa patut diduga adanya perbuatan tindak pidana yang
dilakukan para pihak calon Kepala Daerah dengan pihak yang berwenang
menyelesaikan sengketa pemilihan Kepala Daerah (apapun itu namanya) ? Kedua, akankah babak baru tersebut berimplikasi
kepada para PNS daerah-daerah otonom, sehingga para PNS tidak lagi
terombang-ambing dalam karirnya ?
Tentunya publik juga turut berperan aktif, baik berpartisipasi
dalam pemilihan maupun mengontrol pelaksanaan dari pemilihan Kepala Daerah
tersebut. Dengan demikian, semoga adanya babak baru dalam pemilihan Kepala
Daerah dapat menjadikan daerah otonom berpoles diri dengan wajah yang baru, yakni
sebagai daerah yang mampu mewujudkan berbagai tujuan dan hakikat dari otonomi daerah.
Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 24 Juli 2015
[1]
Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang,
dan Wakil Ketua DPD II KNPI Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar