Sabtu, 08 Agustus 2015

Wajah Baru Pemilihan Kepala Daerah

Wajah Baru Pemilihan Kepala Daerah
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Salah satu ciri pemerintahan yang bernuansa demokrasi dijabarkan melalui pemilihan umum, begitu juga dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya bagi daerah-daerah otonom di Indonesia telah mengenal adagium pemilihan Kepala Daerah, yang dilaksanakan secara langsung. Tentu saja hal ini berkolerasi dengan bertambahnya minat masyarakat untuk ikut dalam demokrasi tersebut, baik sebagai peserta yang akan dipilih maupun sebagai peserta yang akan memilih dalam pemilihan Kepala Daerah, dengan kata lain masyarakat telah diberikan ruang dan apresiasi yang sebesar-besarnya dalam menyukseskan sistem pemerintahan yang bercorak demokrasi.
Berdasarkan paradigma tersebut, perjalanan ketatanegaraan di Indonesia khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, telah mengalami berbagai dinamika dalam pemilihan Kepala Daerah, yang mana telah hidup dan berkembang sesuai dengan rezim dan nuansa dari pemerintahan itu sendiri. Sehingga dapat kita cermati bahwa pergantian kekuasaan dilevel nasional turut berimbas pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah-daerah otonom. Kini, paska satu dekade bergulirnya pemilihan Kepala Daerah secara langsung, bagaimanakah wajah pemilihan Kepala Daerah pada hari-hari yang akan datang ?

Kaleidoskop Pemilihan Kepala Daerah
Sebagaimana yang telah diuraikan diawal bahwa pemilihan Kepala Daerah akan sangat dipengaruhi dengan rezim dan nuansa dari pemerintahan di level nasional, maka tidak jarang kita jumpai bahwa dalam setiap regulasi mengenai pemilihan Kepala Daerah pada masing-masing masa pemerintahan dapat dirasakan lebih banyak nuansa politiknya dari pada argumentasi hukum. Hal ini dapat ditelusuri, melalui berbagai metamorfosa yang telah terjadi pada rangkaian proses pemilihan Kepala Daerah, yang antara lain:
Pertama, adanya pergeseran mengenai tata cara pemilihan Kepala Daerah yang sebelumnya dilakukan melalui proses perwakilan (dipilih oleh anggota legislatif), hingga kekinian pelaksanaannya dipilih secara langsung oleh masing-masing masyarakat setempat (one man one vote). Kedua, adanya pergeseran mengenai subjek hukum yang dapat berkompetisi dalam pemilihan Kepala Daerah yang sebelumnya hanya dibatasi kepada mereka-mereka yang memiliki kendaraan berupa partai politik, hingga kekinian siapapun dapat menjadi calon Kepala Daerah tanpa harus diusung partai politik (calon independen), namun dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Ketiga, adanya pergeseran prinsip jika sebelumnya pemilihan Kepala Daerah bukanlah kategori dari rezim pemilihan umum, namun dalam perkembangannya pemilihan Kepala Daerah beberapa waktu yang lalu telah dinyatakan oleh Undang-Undang sebagai rezim dari pemilihan umum, dan yang terkini hal tersebut kembali dianulir oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian pemilihan Kepala Daerah bukanlah bahagian yang terintegrasi dari rezim pemilihan umum.
Keempat, adanya pergeseran mengenai kewenangan lembaga negara yang berhak menyeleseaikan berbagai sengketa pemilihan Kepala Daerah, yang mana sebelumnya diamanatkan kepada Mahkamah Agung, tetapi selanjutnya dibebankan kepada Mahkamah Konstitusi, hingga yang terkini menarik untuk dikaji Mahkamah Konstitusi melepaskan kewenangan tersebut (tentu dengan dasar konstitusi), paska gegernya publik atas tertangkapnya salah satu petinggi Mahkamah Konstitusi dalam skandal yang patut diduga terlibat dalam sengketa pemilihan Kepala Daerah.

Babak Baru Pemilihan Kepala Daerah
Kini paska terjadinya berbagai dinamika dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah, yang berujung atas dievaluasinya berbagai regulasi dan substansi dari pemilihan Kepala Daerah itu sendiri, lantas bagaimana dengan wajah pemilihan Kepala Daerah yang notabene “serentak” pada Tahun 2015 ini ?
Setidak-tidaknya dalam menghadapi pemilihan Kepala Daerah serentak Tahun 2015, publik tentu dapat mencatat bahwa ada perihal dari pemilihan Kepala Daerah yang dapat dikatakan merupakan babak baru baik secara teknis maupun substansi dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah Tahun ini, hal tersebut dapat ditelisik baik dari Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, maupun berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah melakukan judicial review atas regulasi pemilihan Kepala Daerah itu sendiri, yang diantaranya:
Pertama, pemilihan Kepala Daerah yang pertama kali akan dilaksanakan secara langsung dan serentak (serentak secara terbatas pada daerah-daerah otonom tertentu dengan beberapa gelombang pelaksanaan), diseluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, pemilihan Kepala Daerah yang pertama kali mengamanatkan kepada anggota legislatif maupun kepada para PNS wajib untuk mengundurkan diri dari status kedudukannya saat ini.
Ketiga, pemilihan Kepala Daerah yang pertama kali mewajibkan untuk dilaksanakan hanya dalam 1 (satu) putaran, artinya siapapun calon yang memiliki suara terbanyak maka dialah pemenangnya tanpa ada syarat ambang batas. Keempat, hakikatnya pemilihan Kepala Daerah Tahun 2015 ini jika terjadi berbagai sengketa baik dalam pelaksanaan maupun hasil pemilihan tidak akan diadili oleh Mahkamah Konstitusi, akan tetapi oleh karena lembaga peradilan khusus belum dibentuk, maka Mahkamah Konstitusi tetap diberi kewenangan untuk hal tersebut.
Kelima, dapat diasumsikan bahwa pemilihan Kepala Daerah Tahun 2015 ini merupakan antiklimaks dari keberadaan calon independen. Bukan sesuatu yang berlebihan, karena berkaca pada rangkaian proses pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Sumatera Utara, tercatat bahwa 11 (sebelas) daerah Kabupaten/Kota tidak memiliki bakal calon independen (Harian Waspada, Rabu 1 Juli 2015), walaupun hal ini tidak dapat dijadikan parameter bagi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi setidak-tidaknya hal ini telah mendeskripsikan mengenai eksistensi calon independen tersebut.

Penutup
Saat ini paska bergulirnya wajah baru dalam pemilihan Kepala Daerah, maka kita akan melihat dan mereview pada hari-hari yang akan datang, dengan beberapa kriteria, diantaranya: Pertama, akankah dengan adanya babak baru tersebut kita tidak akan mendengar lagi, baik sayup-sayup maupun secara terang-terangan bahwa patut diduga adanya perbuatan tindak pidana yang dilakukan para pihak calon Kepala Daerah dengan pihak yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilihan Kepala Daerah (apapun itu namanya) ? Kedua, akankah babak baru tersebut berimplikasi kepada para PNS daerah-daerah otonom, sehingga para PNS tidak lagi terombang-ambing dalam karirnya ?
Tentunya publik juga turut berperan aktif, baik berpartisipasi dalam pemilihan maupun mengontrol pelaksanaan dari pemilihan Kepala Daerah tersebut. Dengan demikian, semoga adanya babak baru dalam pemilihan Kepala Daerah dapat menjadikan daerah otonom berpoles diri dengan wajah yang baru, yakni sebagai daerah yang mampu mewujudkan berbagai tujuan dan hakikat dari otonomi daerah. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 24 Juli 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, dan Wakil Ketua DPD II KNPI Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar