PNS pasca ASN
Telah
menjadi rahasia umum, bahwa dewasa ini pekerjaan sebagai PNS menjadi episentrum
bagi para job seeker, khususnya yang masih berstatus fresh graduate.
Lebih jauh lagi, bahkan untuk mendapatkan status sebagai PNS tidak dapat
dipungkiri, berbagai macam cara turut menyertai sekaligus mewarnai rekrutmen
tahunan PNS. Menarik untuk dikaji, acapkali masyarakat kerap memposisikan PNS
sebagai 2 (dua) sisi mata uang. Pada satu sisi masyarakat selalu menjustifikasi
bahwa PNS di negeri tercinta ini, diidentikkan sebagai “sosok” pekerjaan yang
korup – kolusi – dan penuh nepotisme. Sehingga apapun hal positif yang telah
dilakukan PNS selalu saja tertutupi atas stigma negatif masyarakat tersebut.
Akan
tetapi, pada sisi yang lainnya sering kita melihat realita bahwa ketika event
tahunan rekrutmen PNS, disitu pula masyarakat yang telah menjustifikasi negatif
PNS, turut berpartisipasi memeriahkan event rekrutmen PNS tersebut, baik untuk
mendaftarkan dirinya, maupun sanak saudaranya, sembari berharap dan
mengupayakan berbagai macam cara, agar menjadi salah satu peserta ujian PNS
yang dinyatakan lulus.
Berdasarkan
paradigma tersebut, telah mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi
birokrasi, yang dewasa ini diamanatkan melalui
Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN). Lantas,
bagaimanakah wajah dan kedudukan PNS pada masa-masa yang akan datang ?
PNS
Dalam ASN
Patut dicermati bahwa
lahirnya Undang-Undang tentang ASN tersebut, memiliki nilai filosofi yang
diantaranya untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari
reformasi birokrasi, sehingga perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai
profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya, serta
wajib mempertanggung jawabkan kinerjanya, sekaligus menerapkan prinsip merit
dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara.
Adapun Prinsip merit
adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi,
kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar
belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status
pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. (pasal 1, point 22, UU No. 5 Tahun
2014)
Paska lahirnya Undang-Undang
tentang ASN tersebut, setidaknya ada beberapa amanat yang bersifat prinsipil,
khususnya mengenai PNS yang diantaranya: Pertama, dihapusnya dikotomi
antara PNS Pusat dan PNS Daerah, yang selanjutnya disebut sebagai pegawai
Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kedua, pegawai ASN bukan semata-mata PNS, melainkan juga Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang merupakan pegawai dengan
perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jangka waktu tertentu
dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan sesuai dengan kebutuhan instansi
Pemerintah dan ketentuan Undang-Undang. Pada prinsipnya pegawai ASN yang
berasal dari PPPK memiliki hak yang sama dengan pegawai ASN yang berasal dari
PNS, seperti gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, serta pengembangan kompetensi.
Akan tetapi, yang berasal dari PPPK tidak mendapatkan hak jaminan pensiun dan
jaminan hari tua.
Ketiga, mengenai jabatan ASN,
akan diisi dari Pegawai ASN, dan jabatan ASN tertentu dapat diisi dari Prajurit
TNI dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keempat, mengenai
hierarki jabatan ASN, terdiri atas jabatan administrasi, jabatan fungsional,
serta jabatan pimpinan tinggi. Adapun mengenai jabatan pimpinan tinggi,
dipersyaratkan bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. Selain itu,
jabatan pimpinan tinggi tidak dapat dicopot jika belum mencapai 2 (dua) tahun
masa jabatannya, kecuali melanggar peraturan perundang-undangan. Pada
kesempatan yang sama, jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5
(lima) tahun, namun dapat diperpanjang.
Kelima, jenjang karir ASN yang berasal dari PNS, pada prinsipnya untuk
menjamin keselarasan potensi PNS dengan kebutuhan penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan pembangunan, pola karir PNS akan terintegrasi secara nasional.
PNS juga dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) Instansi Pusat,
antar Instansi Pusat, 1 (satu) Instansi Daerah, antar Instansi Daerah, antar
Instansi Pusat dan Daerah, serta ke perwakilan Negara Kesatuan Republik
Indonesia di luar negeri.
Keenam, pegawai ASN yang berasal
dari PNS juga dapat diberhentikan sementara, dengan catatan bahwa PNS tersebut
diangkat menjadi pejabat negara, diangkat menjadi komisioner atau anggota
lembaga nonstruktural, atau ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.
Akan tetapi, jika pegawai ASN yang berasal dari PNS dihukum penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun, dan pidana
yang dilakukan dengan berencana maka diberhentikan tidak dengan hormat.
Ketujuh, pegawai ASN yang berasal dari PNS wajib untuk mengundurkan diri
sebagai PNS, ketika mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil
Presiden, Ketua – Wakil Ketua – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua – Wakil
Ketua – Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, serta perlu digaris bawahi
bahwa pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali.
Penutup
Dapat
dipastikan bahwa paska diimplementasikannya Undang-Undang tentang ASN tersebut.
Akan ada friksi bagi para pihak yang pro dan kontra dalam menyambut dan
memaknainya, yaitu: Pertama, bagi pihak yang pro tentunya akan menyambut
dengan penuh suka cita, karena lahirnya Undang-Undang ASN tersebut dianalogikan
sebagai “oase di padang pasir”, yang diharapkan mampu menjawab “carut marut”
PNS selama ini, baik dalam hal jenjang karir, promosi, maupun mutasi yang
dinilai tidak objektif, khususnya karena praktik intervensi politik. Oleh karena,
kedepannya berbagai level jabatan akan didasarkan pada kualifikasi, kompetensi,
kinerja, tanpa membedakan latar belakang politik, dsb.
Kedua,
bagi pihak yang kontra tentu akan meyambut dengan duka cita, diibaratkan bagai “mimpi
buruk” yang akan menghantui mereka pada masa-masa yang akan datang, hal ini
tentu selain dikarenakan mereka yang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi,
juga karena sudah terbiasa “bermain” baik dalam hal jenjang karir, promosi,
maupun mutasi, yang selalu mengedepankan prinsip kolusi dan nepotisme.
Terakhir,
senantiasa diharapkan dengan lahirnya UU tentang ASN tersebut, setidak-tidaknya
masyarakat dapat mengeliminir berbagai stigma yang telah terlanjur dilontarkan,
karena jika prinsip dalam ASN mampu dilaksanakan secara maksimal, semoga akan
terwujudnya pelayanan publik yang baik, dan terciptanya iklim good and clean
government. Semoga!
*Tulisan ini juga dimuat pada harian Waspada, Rabu 17 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar