Rabu, 17 Juni 2015

PNS Pasca ASN

PNS pasca ASN
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Telah menjadi rahasia umum, bahwa dewasa ini pekerjaan sebagai PNS menjadi episentrum bagi para job seeker, khususnya yang masih berstatus fresh graduate. Lebih jauh lagi, bahkan untuk mendapatkan status sebagai PNS tidak dapat dipungkiri, berbagai macam cara turut menyertai sekaligus mewarnai rekrutmen tahunan PNS. Menarik untuk dikaji, acapkali masyarakat kerap memposisikan PNS sebagai 2 (dua) sisi mata uang. Pada satu sisi masyarakat selalu menjustifikasi bahwa PNS di negeri tercinta ini, diidentikkan sebagai “sosok” pekerjaan yang korup – kolusi – dan penuh nepotisme. Sehingga apapun hal positif yang telah dilakukan PNS selalu saja tertutupi atas stigma negatif masyarakat tersebut.
Akan tetapi, pada sisi yang lainnya sering kita melihat realita bahwa ketika event tahunan rekrutmen PNS, disitu pula masyarakat yang telah menjustifikasi negatif PNS, turut berpartisipasi memeriahkan event rekrutmen PNS tersebut, baik untuk mendaftarkan dirinya, maupun sanak saudaranya, sembari berharap dan mengupayakan berbagai macam cara, agar menjadi salah satu peserta ujian PNS yang dinyatakan lulus.
Berdasarkan paradigma tersebut, telah mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi, yang dewasa ini diamanatkan melalui  Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).  Lantas, bagaimanakah wajah dan kedudukan PNS pada masa-masa yang akan datang ?
PNS Dalam ASN  
Patut dicermati bahwa lahirnya Undang-Undang tentang ASN tersebut, memiliki nilai filosofi yang diantaranya untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, sehingga perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya, serta wajib mempertanggung jawabkan kinerjanya, sekaligus menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara.
Adapun Prinsip merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. (pasal 1, point 22, UU No. 5 Tahun 2014)
Paska lahirnya Undang-Undang tentang ASN tersebut, setidaknya ada beberapa amanat yang bersifat prinsipil, khususnya mengenai PNS yang diantaranya: Pertama, dihapusnya dikotomi antara PNS Pusat dan PNS Daerah, yang selanjutnya disebut sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kedua, pegawai ASN bukan semata-mata PNS, melainkan juga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang merupakan pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan sesuai dengan kebutuhan instansi Pemerintah dan ketentuan Undang-Undang. Pada prinsipnya pegawai ASN yang berasal dari PPPK memiliki hak yang sama dengan pegawai ASN yang berasal dari PNS, seperti gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, serta pengembangan kompetensi. Akan tetapi, yang berasal dari PPPK tidak mendapatkan hak jaminan pensiun dan jaminan hari tua.
Ketiga,  mengenai jabatan ASN, akan diisi dari Pegawai ASN, dan jabatan ASN tertentu dapat diisi dari Prajurit TNI dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keempat, mengenai hierarki jabatan ASN, terdiri atas jabatan administrasi, jabatan fungsional, serta jabatan pimpinan tinggi. Adapun mengenai jabatan pimpinan tinggi, dipersyaratkan bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. Selain itu, jabatan pimpinan tinggi tidak dapat dicopot jika belum mencapai 2 (dua) tahun masa jabatannya, kecuali melanggar peraturan perundang-undangan. Pada kesempatan yang sama, jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun, namun dapat diperpanjang.
Kelima, jenjang karir ASN yang berasal dari PNS, pada prinsipnya untuk menjamin keselarasan potensi PNS dengan kebutuhan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan, pola karir PNS akan terintegrasi secara nasional. PNS juga dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) Instansi Pusat, antar Instansi Pusat, 1 (satu) Instansi Daerah, antar Instansi Daerah, antar Instansi Pusat dan Daerah, serta ke perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia di luar negeri.
Keenam,  pegawai ASN yang berasal dari PNS juga dapat diberhentikan sementara, dengan catatan bahwa PNS tersebut diangkat menjadi pejabat negara, diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural, atau ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana. Akan tetapi, jika pegawai ASN yang berasal dari PNS dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun, dan pidana yang dilakukan dengan berencana maka diberhentikan tidak dengan hormat.
Ketujuh, pegawai ASN yang berasal dari PNS wajib untuk mengundurkan diri sebagai PNS, ketika mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Ketua – Wakil Ketua – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua – Wakil Ketua – Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, serta perlu digaris bawahi bahwa pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali.

Penutup      
Dapat dipastikan bahwa paska diimplementasikannya Undang-Undang tentang ASN tersebut. Akan ada friksi bagi para pihak yang pro dan kontra dalam menyambut dan memaknainya, yaitu: Pertama, bagi pihak yang pro tentunya akan menyambut dengan penuh suka cita, karena lahirnya Undang-Undang ASN tersebut dianalogikan sebagai “oase di padang pasir”, yang diharapkan mampu menjawab “carut marut” PNS selama ini, baik dalam hal jenjang karir, promosi, maupun mutasi yang dinilai tidak objektif, khususnya karena praktik intervensi politik. Oleh karena, kedepannya berbagai level jabatan akan didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, kinerja, tanpa membedakan latar belakang politik, dsb.
Kedua, bagi pihak yang kontra tentu akan meyambut dengan duka cita, diibaratkan bagai “mimpi buruk” yang akan menghantui mereka pada masa-masa yang akan datang, hal ini tentu selain dikarenakan mereka yang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi, juga karena sudah terbiasa “bermain” baik dalam hal jenjang karir, promosi, maupun mutasi, yang selalu mengedepankan prinsip kolusi dan nepotisme.
Terakhir, senantiasa diharapkan dengan lahirnya UU tentang ASN tersebut, setidak-tidaknya masyarakat dapat mengeliminir berbagai stigma yang telah terlanjur dilontarkan, karena jika prinsip dalam ASN mampu dilaksanakan secara maksimal, semoga akan terwujudnya pelayanan publik yang baik, dan terciptanya iklim good and clean government. Semoga!

*Tulisan ini juga dimuat pada harian Waspada, Rabu 17 Juni 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar