In Memoriam Hasan Tiro (3 Juni 2010 – 3 Juni 2015)
Bertepatan pada 3 Juni 2015, maka lima (5) tahun telah
berlalu paska wafatnya Hasan Tiro. Melalui tulisan ini, penulis mengajak
seluruh pembaca untuk kembali merawat ingatan, sekaligus melawan lupa tentang
sosok Hasan Tiro. Begitu kiranya sosok yang penuh dengan kontrovesi, tidak
dapat dipungkiri pena sejarah telah menuangkan tintanya, serta tidak dapat
dinasbikan bahwa siapa yang tidak pernah mendengar namanya, khususnya di
Provinsi Aceh, umumnya di Indonesia, dan secara global di mata dunia
Internasional.
Dalam rangka mengenang wafatnya Hasan Tiro, sudah
sepantasnya tulisan ini berparadigma mengenai berbagai bentuk pemikiran dan
sikap, hingga bermuara pada berbagai tindakan yang diekspresikan oleh Hasan
Tiro. Oleh karenanya, tulisan sederhana
ini tidak bermaksud untuk memperdebatkan berbagai pro dan kontra mengenai sosok
Hasan Tiro, akan tetapi melalui sosok Hasan Tiro tersebut, kembali
merefleksikan berbagai spirit yang dimilikinya,
agar dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh.
Selayang Pandang Hasan Tiro
Tercatat bahwa aktualisasi diri yang dilakukan oleh Hasan Tiro, di
pentas politik dimulai sekitaran September 1954, ketika itu Hasan Tiro dengan
lantang menyuarakan pandangan, sekaligus ketidaksepahaman dengan berbagai
kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia, periode
kepemimpinan Soekarno sebagai Presiden, dan Ali Sastroadmijojo sebagai Perdana
Menteri.
Melalui surat yang ditujukan kepada Ali Sastroadmijojo, Hasan Tiro
mengklaim dirinya sebagai “Duta Besar Republik Islam Indonesia” di Amerika
Serikat sekaligus di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), pada kesempatan yang sama, intinya Hasan Tiro
menuduh Pemerintah Republik Indonesia telah menyeret bangsa Indonesia
ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara,
selain itu Pemerintahan Ali Sastroadmijojo juga telah melakukan kejahatan
“genosida” terhadap rakyat Aceh. (M. Nur El-Ibrahimy, 1986 : 13–15, M. Isa
Sulaiman, 2000 : 12, Abu Jihad, 2000 : 25)
Secara berkesinambungan, berbagai aktualisasi diri yang dilakukan oleh
Hasan Tiro, juga dapat ditelaah bahwa beberapa puluh tahun kemudian, Hasan Tiro
mengambil sikap yakni pada tanggal 4 Desember 1976 memproklamirkan ASNLF (Atjeh Sumatera National Liberation Front),
yang oleh rakyat Aceh lebih dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdeuka kemudian dicap oleh Pemerintah sebagai GPLHT
(Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) atau GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). (Al
– Chaidar, 1999 : 143–154) Adapun dalam perkembangan selanjutnya
dikenal dengan adagium “GAM” (Gerakan Aceh Merdeka).
Dalam rangka menyingkronkan berbagai aktualisasi yang dilakukan oleh
Hasan Tiro, maka beberapa puluh tahun kemudian Hasan Tiro kembali
mengekspresikan berbagai pemikirannya di luar negeri dengan berupaya untuk
melakukan berbagai usaha-usaha diplomatik, berikut ini beberapa usaha
diplomatik yang telah dilakukannya, yaitu:
Pertama, Pada 12 Juni 1990, Hasan Tiro membawa
permasalahan GAM ke PBB. Kedua, Pada
18 Juni 1990, secara resmi Hasan Tiro meminta Majelis Kemerdekaan PBB untuk
menyampaikan pidato di Persidangan Umum PBB berkaitan dengan ketidak absahan
pengintegrasian Aceh ke dalam Indonesia, yang berkaitan dengan perjanjian
tanggal 27 Desember 1949. Ketiga, Pada
23 Agustus 1991, Hasan Tiro menyampaikan konflik di Aceh tersebut di depan
Majelis Ekonomi dan Sosial PBB. Keempat,
Pada 29 Januari 1992, Hasan Tiro
secara resmi meminta kepada PBB perlunya mengadakan referendum di Aceh. (Al –
Chaidar, 1999 : 198)
Pada kesempatan yang sama, berbagai aktualisasi yang dilakukan oleh
Hasan Tiro, juga patut ditelaah berdasarkan berbagai kebijakan Gerakan Aceh
Merdeka, di bawah kepemimpinan Hasan Tiro dan jajarannya, yang pada intinya
“mau” melakukan perundingan dengan berbagai pihak di Indonesia, dalam rangka
mewujudkan Aceh yang damai, adil, dan sejahtera. Berbagai aktuliasasi dalam
bentuk perundingan formal, diantaranya:
Pertama, Pada Tahun 2000, di Bavois – Swiss, di
masa Presiden Abdurrahman Wahid, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama Jeda Kemanusiaan
untuk Aceh (Joint Understanding on
Humanitarian Pause for Aceh), yang dilaksanakan pada tanggal 12 Mei 2000,
yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC). (Sulaiman AB, 2005 : 45)
Kedua, Pada Tahun
2002, di
Jenewa – Swiss, di masa Presiden Megawati Soekarno Putri, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM),
kembali melanjutkan penandatanganan dari kedua pihak dalam suatu “Persetujuan
Penghentian Permusuhan (Cease of Hostilities Agreement – COHA)”, yang
dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2002, yang juga difasilitasi oleh Henry
Dunant Centre (HDC).
(Sumaryo Suryokusumo, 2007 : 129)
Ketiga, Pada Tahun 2005, di Helsinki – Finlandia, di masa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, kembali
menandatangani Nota Kesepahaman (MoU Helsinki), yang dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 2005, yang
difasilitasi oleh Crisis Management
Initiative. (Ahmad Farhan Hamid, 2006 : 176)
Hasan Tiro, Kekinian ?
Dewasa ini, paska lima (5) tahun berselang wafatnya
Hasan Tiro, adakah sosok yang dianggap “layak” disebut sebagai Hasan Tiro
kekinian di tanah rencong ? atau adakah putera-puteri Aceh masa kini yang
pantas disejajarkan dengan Hasan Tiro ? tanpa bermaksud “sosok” tersebut harus
memporak-porandakan perdamaian yang telah terjalin beberapa tahun belakangan
ini. Akan tetapi, merupakan “sosok” kharismatik yang disegani kawan maupun
lawan, serta mampu merepresentasikan Aceh baik di level lokal, level nasional,
maupun di level internasional.
Berdasarkan paradigma Aceh adalah entitas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dalam konteks tulisan ini patut ditelaah apakah saat
ini ada “sosok Hasan
Tiro kekinian” ? yang dengan tegas dan lantang menyuarakan pandangan, sekaligus
menagih berbagai bentuk janji, baik kepada Pemerintah Republik Indonesia,
maupun kepada Pemerintah Aceh, sekaligus political
will dari keduanya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh ?
Adakah generasi Aceh hari ini yang telah memahami
berbagai hak yang melekat pada dirinya, sekaligus melaksanakan dan bertanggung
jawab atas berbagai kewajiban yang sesuai dengan konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia ? Oleh karena, esensi yang patut ditelaah adalah bagaimana
wajah Aceh hari ini ? adakah Aceh hari ini telah berjalan sebagaimana yang
dicitakan, sekaligus spirit para
endatu terdahulu ?
Semoga
dengan bertepatan mengenang wafatnya Hasan Tiro, akan bermunculan putera-puteri Aceh
yang tetap memaknai
spirit
Hasan Tiro, dan mampu berpikir kritis, serta bertindak strategis, khususnya
dalam menyuarakan berbagai hak yang sepatutnya sudah dimiliki Provinsi Aceh
pada hari ini, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Akan
tetapi, penting untuk disadari berbagai hak yang dimaksud adalah hak yang
memiliki legitimasi secara konsititusional.
Alfaatihah!
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 3 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar