Rabu, 17 Juni 2015

In Memoriam Hasan Tiro

In Memoriam Hasan Tiro (3 Juni 2010 – 3 Juni 2015)
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Bertepatan pada 3 Juni 2015, maka lima (5) tahun telah berlalu paska wafatnya Hasan Tiro. Melalui tulisan ini, penulis mengajak seluruh pembaca untuk kembali merawat ingatan, sekaligus melawan lupa tentang sosok Hasan Tiro. Begitu kiranya sosok yang penuh dengan kontrovesi, tidak dapat dipungkiri pena sejarah telah menuangkan tintanya, serta tidak dapat dinasbikan bahwa siapa yang tidak pernah mendengar namanya, khususnya di Provinsi Aceh, umumnya di Indonesia, dan secara global di mata dunia Internasional.
Dalam rangka mengenang wafatnya Hasan Tiro, sudah sepantasnya tulisan ini berparadigma mengenai berbagai bentuk pemikiran dan sikap, hingga bermuara pada berbagai tindakan yang diekspresikan oleh Hasan Tiro.  Oleh karenanya, tulisan sederhana ini tidak bermaksud untuk memperdebatkan berbagai pro dan kontra mengenai sosok Hasan Tiro, akan tetapi melalui sosok Hasan Tiro tersebut, kembali merefleksikan berbagai spirit yang dimilikinya, agar dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh.

Selayang Pandang Hasan Tiro  
Tercatat bahwa aktualisasi diri yang dilakukan oleh Hasan Tiro, di pentas politik dimulai sekitaran September 1954, ketika itu Hasan Tiro dengan lantang menyuarakan pandangan, sekaligus ketidaksepahaman dengan berbagai kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia, periode kepemimpinan Soekarno sebagai Presiden, dan Ali Sastroadmijojo sebagai Perdana Menteri.
Melalui surat yang ditujukan kepada Ali Sastroadmijojo, Hasan Tiro mengklaim dirinya sebagai “Duta Besar Republik Islam Indonesia” di Amerika Serikat sekaligus di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa),  pada kesempatan yang sama, intinya Hasan Tiro menuduh Pemerintah Republik Indonesia telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara, selain itu Pemerintahan Ali Sastroadmijojo juga telah melakukan kejahatan “genosida” terhadap rakyat Aceh. (M. Nur El-Ibrahimy, 1986 : 13–15, M. Isa Sulaiman, 2000 : 12, Abu Jihad, 2000 : 25)
Secara berkesinambungan, berbagai aktualisasi diri yang dilakukan oleh Hasan Tiro, juga dapat ditelaah bahwa beberapa puluh tahun kemudian, Hasan Tiro mengambil sikap yakni pada tanggal 4 Desember 1976 memproklamirkan ASNLF (Atjeh Sumatera National Liberation Front), yang oleh rakyat Aceh lebih dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdeuka kemudian dicap oleh Pemerintah sebagai GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) atau GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). (Al – Chaidar, 1999 : 143–154) Adapun dalam perkembangan selanjutnya dikenal dengan adagium “GAM” (Gerakan Aceh Merdeka).
Dalam rangka menyingkronkan berbagai aktualisasi yang dilakukan oleh Hasan Tiro, maka beberapa puluh tahun kemudian Hasan Tiro kembali mengekspresikan berbagai pemikirannya di luar negeri dengan berupaya untuk melakukan berbagai usaha-usaha diplomatik, berikut ini beberapa usaha diplomatik yang telah dilakukannya, yaitu:
Pertama, Pada 12 Juni 1990, Hasan Tiro membawa permasalahan GAM ke PBB. Kedua, Pada 18 Juni 1990, secara resmi Hasan Tiro meminta Majelis Kemerdekaan PBB untuk menyampaikan pidato di Persidangan Umum PBB berkaitan dengan ketidak absahan pengintegrasian Aceh ke dalam Indonesia, yang berkaitan dengan perjanjian tanggal 27 Desember 1949. Ketiga, Pada 23 Agustus 1991, Hasan Tiro menyampaikan konflik di Aceh tersebut di depan Majelis Ekonomi dan Sosial PBB. Keempat,        Pada 29 Januari 1992, Hasan Tiro secara resmi meminta kepada PBB perlunya mengadakan referendum di Aceh. (Al – Chaidar, 1999 : 198)
Pada kesempatan yang sama, berbagai aktualisasi yang dilakukan oleh Hasan Tiro, juga patut ditelaah berdasarkan berbagai kebijakan Gerakan Aceh Merdeka, di bawah kepemimpinan Hasan Tiro dan jajarannya, yang pada intinya “mau” melakukan perundingan dengan berbagai pihak di Indonesia, dalam rangka mewujudkan Aceh yang damai, adil, dan sejahtera. Berbagai aktuliasasi dalam bentuk perundingan formal, diantaranya:
Pertama, Pada Tahun 2000, di Bavois – Swiss, di masa Presiden Abdurrahman Wahid, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama Jeda Kemanusiaan untuk Aceh (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh), yang dilaksanakan pada tanggal 12 Mei 2000, yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC). (Sulaiman AB, 2005 : 45)
Kedua, Pada Tahun 2002, di Jenewa – Swiss, di masa Presiden Megawati Soekarno Putri, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kembali melanjutkan penandatanganan dari kedua pihak dalam suatu “Persetujuan Penghentian Permusuhan (Cease of Hostilities Agreement – COHA)”, yang dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2002, yang juga difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC). (Sumaryo Suryokusumo, 2007 : 129)
Ketiga, Pada Tahun 2005, di Helsinki – Finlandia, di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, kembali menandatangani Nota Kesepahaman (MoU Helsinki), yang dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 2005, yang difasilitasi oleh Crisis Management Initiative. (Ahmad Farhan Hamid, 2006 : 176)

Hasan Tiro, Kekinian ?    
Dewasa ini, paska lima (5) tahun berselang wafatnya Hasan Tiro, adakah sosok yang dianggap “layak” disebut sebagai Hasan Tiro kekinian di tanah rencong ? atau adakah putera-puteri Aceh masa kini yang pantas disejajarkan dengan Hasan Tiro ? tanpa bermaksud “sosok” tersebut harus memporak-porandakan perdamaian yang telah terjalin beberapa tahun belakangan ini. Akan tetapi, merupakan “sosok” kharismatik yang disegani kawan maupun lawan, serta mampu merepresentasikan Aceh baik di level lokal, level nasional, maupun di level internasional.
Berdasarkan paradigma Aceh adalah entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam konteks tulisan ini patut ditelaah apakah saat ini ada “sosok Hasan Tiro kekinian” ? yang dengan tegas dan lantang menyuarakan pandangan, sekaligus menagih berbagai bentuk janji, baik kepada Pemerintah Republik Indonesia, maupun kepada Pemerintah Aceh, sekaligus political will dari keduanya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh ?
Adakah generasi Aceh hari ini yang telah memahami berbagai hak yang melekat pada dirinya, sekaligus melaksanakan dan bertanggung jawab atas berbagai kewajiban yang sesuai dengan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia ? Oleh karena, esensi yang patut ditelaah adalah bagaimana wajah Aceh hari ini ? adakah Aceh hari ini telah berjalan sebagaimana yang dicitakan, sekaligus spirit para endatu terdahulu ?
Semoga dengan bertepatan mengenang wafatnya Hasan Tiro, akan bermunculan putera-puteri Aceh yang tetap memaknai spirit Hasan Tiro, dan mampu berpikir kritis, serta bertindak strategis, khususnya dalam menyuarakan berbagai hak yang sepatutnya sudah dimiliki Provinsi Aceh pada hari ini, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Akan tetapi, penting untuk disadari berbagai hak yang dimaksud adalah hak yang memiliki legitimasi secara konsititusional. Alfaatihah!

*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 3 Juni 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar