Reposisi Calon Independen
Mengenai
calon independen (perseorangan) pada prinsipnya bukanlah sesuatu yang baru
dalam euforia demokrasi di tingkat lokal, khususnya paska reformasi. Seiring
dengan tuntutan penguatan Hak Asasi Manusia, dalam pengisian jabatan-jabatan
publik di daerah-daerah otonom, sekaligus mengakomodir “sosok” yang dianggap
mampu merepresentasikan heterogenitas rakyat di daerahnya, namun tidak diberi
ruang yang cukup oleh partai politik, maka disinilah spirit lahirnya calon
independen dalam berbagai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).
Paska
calon independen memiliki legitimasi dalam berbagai pemilukada di Tanah Air,
faktanya dapat dianalisa bahwa calon independen bagaikan “oase di padang
pasir”, walaupun ketika itu masih terbilang oleh jari banyaknya Kepala Daerah
yang terpilih melalui calon independen, namun demikian dari sudut pandang yang
berbeda, ternyata calon independen mampu bersaing dengan berbagai kader yang
diusung oleh partai politik.
Lantas
seiring berjalan waktu, dapat juga dianalisa bahwa eksistensi calon independen
di berbagai daerah semakin meredup, bahkan dapat dianalogikan calon independen
hanya menjadi trend sesaat. Apakah hal tersebut secara tidak langsung telah
mengindikasikan calon independen ibarat “mati suri” ? atau apakah hal tersebut
dikarenakan kualitas calon independen dianggap masih kalah jauh dari berbagai
kader partai politik ? akan tetapi tulisan ini berparadigma, akankah calon
independen mampu memaksimalkan perannya pada Pemilukada serentak Tahun 2015
ini, disaat 2 (dua) partai politik (partai Golkar dan PPP) yang memiliki
konstituen dan loyalis yang cukup besar, sedang dirundung badai dualisme
kepengurusan ?
Konstitusional Calon Independen
Calon independen merupakan calon yang akan mengikuti pemilukada
namun tanpa didukung secara legal-formal oleh partai politik. Perbincangan
mengenai calon independen dalam pemilukada Indonesia, dimulai pada Tahun 2007
ketika beberapa pihak melakukan judicial review atas beberapa Pasal UU
No. 32 Tahun 2004, dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya
Pasal 18 (4), Pasal 27 (1), Pasal 28 (1 dan 3), Pasal 28 I (2). Akan tetapi,
yang patut dipahami bahwa eksistensi dan legitimasi calon independen telah
dibuka pada Pemilukada di Aceh Tahun 2007 melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, sehingga mengenai calon independen dapat dipastikan Aceh
telah menjadi lokomotif dalam berdemokrasi di tingkat lokal. (Cakra Arbas :
2012)
Saat ini, paska terjadinya berbagai dinamika sekaligus konstelasi
politik pada tataran pemerintah pusat, calon independen tetap memiliki ruang
dan landasan yuridis. Khususnya perihal ini dapat dikaji berdasarkan Perpu No.
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 39, yang pada intinya bahwa “pendaftaran calon
Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Serta calon perseorangan (independen) yang diusung
oleh sejumlah orang”. Artinya, sampai hari ini hak warga masyarakat dalam
mengikuti pemilukada tetap diberikan ruang yang seluas-luasnya, akan tetapi
terkait calon independen dipersyaratkan harus memenuhi jumlah kuota tertentu,
baik pada tingkat Kabupaten, Kota, maupun di Provinsi.
Landasan yuridis calon independen, seyogyanya dapat dijadikan
sebagai sarana dan peluang, serta dapat dijadikan sandaran bagi para kader
terbaik partai politik yang belum bisa berpartisipasi dalam pemilukada, baik
karena adanya seleksi internal pada masing-masing partai, maupun dikarenakan
jika partai politiknya tidak cukup memiliki legitimasi dalam pemilukada Tahun
2015 ini.
Kebuntuan Partai Politik
Walaupun
pelaksanaan Pemilukada serentak masih beberapa bulan yang akan datang, akan
tetapi berbagai tahapan awal sudah mendekati deadlinenya. Sebagaimana
yang telah dimuat di berbagai media masa bahwa dalam hitungan minggu ke depan
berbagai partai politik sudah diwajibkan untuk mendaftarkan para kader terbaik agar
turut serta memeriahkan euforia demokrasi tersebut. Akan tetapi, pada
pelaksanaan pemilukada serentak ini, adanya kekhawatiran baik dikalangan
pengamat maupun praktisi, khususnya terkait dengan partisipasi serta legitimasi
Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam Pemilukada Tahun 2015
ini.
Kekhawatiran
tersebut bukanlah yang berlebihan, oleh karena berdasarkan fakta yang telah
menjadi konsumsi publik, bahwa sampai hari ini dapat dikatakan masih belum ada
titik temu sekaligus rekonsiliasi diantara kedua partai politik tersebut. Berdasarkan
paradigma ini, oleh berbagai kalangan berpandangan bahwa Pemilukada serentak
Tahun 2015 diibaratkan bagai “sayur tanpa garam”, jika pelaksanaan Pemilukada
tidak dimeriahkan baik oleh Partai Golkar, maupun PPP. Lantas, akankah
kader-kader terbaik dari partai tersebut hanya menjadi penonton pada pemilukada
tersebut ?
Antisipasi dan Resolusi
Pada posisi ini, dapat diasumsikan
bahwa jika sampai batas waktu yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) diantara partai politik yang dihantam badai masih belum menemukan win-win
solution, maka melalui tulisan ini menyarankan agar para kader terbaik partai
politik tersebut, tidak perlu bersikap apatis dan berkecil hati, melainkan
segera move up and move on dan bertindak serta bersikap, untuk memaksimalkan
adagium calon independen sebagai perahu menuju singgahsana Kepala Daerah. Oleh
karena, pada esensinya jangan biarkan sosok yang tidak cakap baik secara
integritas-kapabilitas-kredibilitas untuk memimpin daerah-daerah otonom, hanya
karena kader-kader terbaik (Golkar dan PPP) tidak mampu bertarung secara fair,
yang disebabkan partai politiknya tidak memiliki legitimasi pada Pemilukada
ini.
Sesuai dengan judul pada tulisan
ini, sudah saatnya warga-masyarakat melakukan reposisi terhadap calon independen,
jika pada pemilukada sebelumnya calon independen diasumsikan hanya sebagai
calon yang tidak diberi ruang oleh partai politik dalam berdemokrasi di daerah.
Maka melalui tulisan ini semoga calon independen dapat dimaksimalkan, terlebih
lagi semoga keberadaan calon independen bukan hanya karena tidak diberi ruang
oleh partai politik, melainkan juga sebagai salah satu sarana bagi para kader
terbaik partai politik yang sedang mengalami friksi (Golkar dan PPP) untuk
turut serta berpartisipasi, sekaligus mewarnai pelaksanaan demokrasi di tingkat
lokal. Semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Kamis 28 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar