Kamis, 28 Mei 2015

Reposisi Calon Independen

Reposisi Calon Independen
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Mengenai calon independen (perseorangan) pada prinsipnya bukanlah sesuatu yang baru dalam euforia demokrasi di tingkat lokal, khususnya paska reformasi. Seiring dengan tuntutan penguatan Hak Asasi Manusia, dalam pengisian jabatan-jabatan publik di daerah-daerah otonom, sekaligus mengakomodir “sosok” yang dianggap mampu merepresentasikan heterogenitas rakyat di daerahnya, namun tidak diberi ruang yang cukup oleh partai politik, maka disinilah spirit lahirnya calon independen dalam berbagai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).
Paska calon independen memiliki legitimasi dalam berbagai pemilukada di Tanah Air, faktanya dapat dianalisa bahwa calon independen bagaikan “oase di padang pasir”, walaupun ketika itu masih terbilang oleh jari banyaknya Kepala Daerah yang terpilih melalui calon independen, namun demikian dari sudut pandang yang berbeda, ternyata calon independen mampu bersaing dengan berbagai kader yang diusung oleh partai politik.
Lantas seiring berjalan waktu, dapat juga dianalisa bahwa eksistensi calon independen di berbagai daerah semakin meredup, bahkan dapat dianalogikan calon independen hanya menjadi trend sesaat. Apakah hal tersebut secara tidak langsung telah mengindikasikan calon independen ibarat “mati suri” ? atau apakah hal tersebut dikarenakan kualitas calon independen dianggap masih kalah jauh dari berbagai kader partai politik ? akan tetapi tulisan ini berparadigma, akankah calon independen mampu memaksimalkan perannya pada Pemilukada serentak Tahun 2015 ini, disaat 2 (dua) partai politik (partai Golkar dan PPP) yang memiliki konstituen dan loyalis yang cukup besar, sedang dirundung badai dualisme kepengurusan ?

Konstitusional Calon Independen
Calon independen merupakan calon yang akan mengikuti pemilukada namun tanpa didukung secara legal-formal oleh partai politik. Perbincangan mengenai calon independen dalam pemilukada Indonesia, dimulai pada Tahun 2007 ketika beberapa pihak melakukan judicial review atas beberapa Pasal UU No. 32 Tahun 2004, dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 18 (4), Pasal 27 (1), Pasal 28 (1 dan 3), Pasal 28 I (2). Akan tetapi, yang patut dipahami bahwa eksistensi dan legitimasi calon independen telah dibuka pada Pemilukada di Aceh Tahun 2007 melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sehingga mengenai calon independen dapat dipastikan Aceh telah menjadi lokomotif dalam berdemokrasi di tingkat lokal. (Cakra Arbas : 2012)
Saat ini, paska terjadinya berbagai dinamika sekaligus konstelasi politik pada tataran pemerintah pusat, calon independen tetap memiliki ruang dan landasan yuridis. Khususnya perihal ini dapat dikaji berdasarkan Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 39, yang pada intinya bahwa “pendaftaran calon Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Serta calon perseorangan (independen) yang diusung oleh sejumlah orang”. Artinya, sampai hari ini hak warga masyarakat dalam mengikuti pemilukada tetap diberikan ruang yang seluas-luasnya, akan tetapi terkait calon independen dipersyaratkan harus memenuhi jumlah kuota tertentu, baik pada tingkat Kabupaten, Kota, maupun di Provinsi.
Landasan yuridis calon independen, seyogyanya dapat dijadikan sebagai sarana dan peluang, serta dapat dijadikan sandaran bagi para kader terbaik partai politik yang belum bisa berpartisipasi dalam pemilukada, baik karena adanya seleksi internal pada masing-masing partai, maupun dikarenakan jika partai politiknya tidak cukup memiliki legitimasi dalam pemilukada Tahun 2015 ini.

Kebuntuan Partai Politik    
Walaupun pelaksanaan Pemilukada serentak masih beberapa bulan yang akan datang, akan tetapi berbagai tahapan awal sudah mendekati deadlinenya. Sebagaimana yang telah dimuat di berbagai media masa bahwa dalam hitungan minggu ke depan berbagai partai politik sudah diwajibkan untuk mendaftarkan para kader terbaik agar turut serta memeriahkan euforia demokrasi tersebut. Akan tetapi, pada pelaksanaan pemilukada serentak ini, adanya kekhawatiran baik dikalangan pengamat maupun praktisi, khususnya terkait dengan partisipasi serta legitimasi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam Pemilukada Tahun 2015 ini.
Kekhawatiran tersebut bukanlah yang berlebihan, oleh karena berdasarkan fakta yang telah menjadi konsumsi publik, bahwa sampai hari ini dapat dikatakan masih belum ada titik temu sekaligus rekonsiliasi diantara kedua partai politik tersebut. Berdasarkan paradigma ini, oleh berbagai kalangan berpandangan bahwa Pemilukada serentak Tahun 2015 diibaratkan bagai “sayur tanpa garam”, jika pelaksanaan Pemilukada tidak dimeriahkan baik oleh Partai Golkar, maupun PPP. Lantas, akankah kader-kader terbaik dari partai tersebut hanya menjadi penonton pada pemilukada tersebut ?

Antisipasi dan Resolusi  
Pada posisi ini, dapat diasumsikan bahwa jika sampai batas waktu yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) diantara partai politik yang dihantam badai masih belum menemukan win-win solution, maka melalui tulisan ini menyarankan agar para kader terbaik partai politik tersebut, tidak perlu bersikap apatis dan berkecil hati, melainkan segera move up and move on dan bertindak serta bersikap, untuk memaksimalkan adagium calon independen sebagai perahu menuju singgahsana Kepala Daerah. Oleh karena, pada esensinya jangan biarkan sosok yang tidak cakap baik secara integritas-kapabilitas-kredibilitas untuk memimpin daerah-daerah otonom, hanya karena kader-kader terbaik (Golkar dan PPP) tidak mampu bertarung secara fair, yang disebabkan partai politiknya tidak memiliki legitimasi pada Pemilukada ini.
Sesuai dengan judul pada tulisan ini, sudah saatnya warga-masyarakat melakukan reposisi terhadap calon independen, jika pada pemilukada sebelumnya calon independen diasumsikan hanya sebagai calon yang tidak diberi ruang oleh partai politik dalam berdemokrasi di daerah. Maka melalui tulisan ini semoga calon independen dapat dimaksimalkan, terlebih lagi semoga keberadaan calon independen bukan hanya karena tidak diberi ruang oleh partai politik, melainkan juga sebagai salah satu sarana bagi para kader terbaik partai politik yang sedang mengalami friksi (Golkar dan PPP) untuk turut serta berpartisipasi, sekaligus mewarnai pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal. Semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Kamis 28 Mei 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar