Urgensitas Sang
Novel Baswedan
Dapat dipastikan bahwa secara normatif Indonesia
adalah sebuah negara yang memiliki kedaulatan, dan dalam menjalankan sistem
pemerintahannya dilandaskan atas hukum, hal ini sejalan dengan Konstitusi
Republik Indonesia khususnya Pasal 1 (3). Berdasarkan amanat Konstitusi tersebut,
seyogyanya ketika hukum dijadikan sebagai pedoman, maka setiap individu yang
tersandung peristiwa hukum, semestinya diperlakukan sama di hadapan hukum.
Lantas, bagaimana dengan penerapan sekaligus penegakan
hukum saat ini ? bukankah saat ini rakyat kecil masih saja melontarkan “hukum
itu hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas” ? dengan adanya paradigma
tersebut, patut dikaji atas realita yang terjadi beberapa hari belakangan ini,
ketika pada akhirnya Penyidik Polri melakukan penangkapan terhadap salah satu
pegawai KPK. Semestinya, bercermin pada peristiwa tersebut, pada satu sisi
aparatur penegak hukum mampu membuktikan kepada publik, bahwa benar asas hukum
yang menyatakan “adanya perlakuan yang sama dimata hukum”.
Noda Lampau Novel Baswedan
Sebagaimana yang telah diekspose berbagai media masa, bahwa dalam
catatannya pada suatu waktu di Tahun 2004, seorang Novel Baswedan (NB) telah
bersinggungan dengan peristiwa hukum, dalam hal ini ketika melekat pada dirinya
salah satu jabatan strategis dilingkungan Kepolisian Daerah Bengkulu. Atas
peristiwa hukum tersebut, patut dipertanyakan mengapa baru dicoba
penyelesaiannya terhitung Tahun 2012 yang lalu, dan gencar pada hari-hari
belakangan ini ? mengapa bukannya tidak lama berselang paska terjadinya
peristiwa hukum di Tahun 2004 tersebut sudah mampu diselesaikan ?
Pada sisi yang lain, peristiwa hukum yang menimpa NB bagaikan bom waktu
dan bumerang, yang seolah-olah dapat dijadikan sebagai batu sandungan atas
integritas NB secara pribadi, maupun kedudukan NB sebagai salah satu penyidik
KPK. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa perihal NB sebenarnya bukanlah nama baru
yang mengisi pemberitaan di media, melainkan NB pada dasarnya sudah mulai
digrogoti oleh noda masa lampaunya, yang dimulai pada periode Tahun 2012, ketika
itu KPK sedang “penuh semangat” membongkar indikasi kerugian negara di instansi
Kepolisian.
Pada hakikatnya, penegakan hukum yang dilakukan saat ini dalam rangka
menuntaskan peristiwa hukum yang dialami NB, adalah untuk kepentingan NB baik
secara pribadi, mapun secara kelembagaan. Karena jika memang suatu ketika
Majelis Hakim menyatakan melalui putusannya NB tidak bersalah, maka tidak akan
ada lagi noda masa lampau yang melekat pada dirinya sebagai bayang-bayang
“kelam” masa lalu, yang kerap dijadikan sebagai bom waktu. Akan tetapi, jika
sebaliknya Majelis Hakim menyatakan bahwa NB terbukti bersalah, maka sebagai
salah satu unsur penegak hukum, sudah sepatutnya NB menjalani proses hukum
tanpa perlu didramatisir.
Aksi Pimpinan KPK
Paska adanya peristiwa dan penangkapan NB, media masa
juga mengekspose bahwa ada berbagai rentetan peristiwa yang bermuara pada aksi
simpatik dan solidaritas kepada NB, aksi-aksi tersebut diantaranya ada yang
diekspresikan melalui peranan media sosial, maupun pernyataan sikap yang
disuarakan oleh berbagai tokoh di tanah air, khususnya adalah pimpinan KPK. Pada
kesempatan ini, khusus mengenai pernyataan sikap yang disampaikan oleh pimpinan
KPK, pada dasarnya telah memicu friksi dan persilangan pendapat, baik di level
pengamat maupun pakar hukum.
Pada prinsipnya, penulis sependapat bahwa dalam proses
penuntasan peristiwa hukum NB, harus diselesaikan secara transparan. Artinya, mendorong
penyelesaian peristiwa hukum NB setuntas-tuntasnya tanpa melakukan rekayasa,
terlebih lagi jika harus mengkriminalisasi NB, atau dengan kata lain seyogyanya
kasus NB tersebut bukanlah merupakan suatu aksi “balas dendam” yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang tidak sejalan dengan sikap NB.
Akan tetapi, pada sisi yang lain sudah selayaknya
publik turut mengkritisi atas berbagai aksi yang dilakukan para pimpinan KPK,
terlebih lagi sebagaimana yang disampaikan melalui statement salah satu
pimpinan KPK bahwa “…akan mundur, jika NB
tidak diberikan penangguhan penahanan”. Pada prinsipnya secara normatif
benar bahwa dalam konteks hukum pidana adanya unsur-unsur dalam melakukan
penahanan, baik unsur subjektif maupun unsur objektif. Namun demikian,
berdasarkan statement tersebut, dan dari sudut yang berbeda semestinya ada
beberapa hal yang menjadi “uneg-uneg” di publik saat ini, diantaranya:
Pertama, bukankah pernyataan sikap akan mundur, secara tidak
langsung telah mengamini jeritan rakyat kecil bahwa “hukum tumpul ke atas dan
tajam ke bawah”, atau dengan kata lain secara tidak langsung hal ini
menunjukkan bahwa baik pimpinan maupun pegawai KPK memiliki imunitas dihadapan
hukum ? Kedua, apakah pernyataan sikap
akan mundur dari pimpinan KPK mengindikasikan sejalan dengan “jiwa korsa” ? Ketiga, mengapa diantara para pimpinan
KPK lebih memilih mundur, dari pada menuntaskan berbagai macam kasus yang patut
diduga terindikasi korupsi ? Keempat,
bisakah kita menyimpulkan bahwa atas peristiwa NB tersebut, telah
mengindikasikan kondisi antara KPK – Polri yang bagaikan “api dalam sekam” ?
Faktanya, urgensitas sang NB juga dapat disimak atas
sikap Presiden Joko Widodo, yang mana dengan penuh kepercayaan diri turut
mengistruksikan untuk tidak melakukan penahan terhadap NB. Secara sederhana,
atas realita ini dapat dikaji apakah Presiden juga akan menginstruksikan hal
yang senada, jika ada rakyat Indonesia lainnya yang akan ditahan oleh Polri
?
Penutup
Berdasarkan realita yang terjadi hari-hari belakangan
ini, penulis terngiang dengan salah satu pandangan pakar hukum di Indonesia, yakni
Satjipto Rahardjo, yang tanpa pernah bosan selalu berkata dan menuangkan dalam
tulisan-tulisannya, bahwa“…mengajarkan
keteraturan, menemukan ketidakteraturan”. Pada kesempatan yang sama, semasa
hidupnya Satjipto Rahardjo berulang kali menyuarakan agar dalam melakukan
penegakan hukum, diperlukan hukum progresif, yaitu hukum yang membebaskan kita
dari “belenggu kerangkeng hukum”. (Satjipto Rahardjo, 2010 : 141). Dengan
demikian, semoga dengan belajar dari peristiwa NB, kedepannya berbagai bentuk
penegakan hukum agar tidak lagi “berulang” dan terjebak dalam dogmatisme, serta
dengan cara berpikir sederhana, karena menegakkan hukum tidak sama dengan
menerapkan Undang-Undang. Semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 8 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar