Rabu, 13 Mei 2015

Urgensitas Sang Novel Baswedan

Urgensitas Sang Novel Baswedan
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Dapat dipastikan bahwa secara normatif Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kedaulatan, dan dalam menjalankan sistem pemerintahannya dilandaskan atas hukum, hal ini sejalan dengan Konstitusi Republik Indonesia khususnya Pasal 1 (3).  Berdasarkan amanat Konstitusi tersebut, seyogyanya ketika hukum dijadikan sebagai pedoman, maka setiap individu yang tersandung peristiwa hukum, semestinya diperlakukan sama di hadapan hukum.
Lantas, bagaimana dengan penerapan sekaligus penegakan hukum saat ini ? bukankah saat ini rakyat kecil masih saja melontarkan “hukum itu hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas” ? dengan adanya paradigma tersebut, patut dikaji atas realita yang terjadi beberapa hari belakangan ini, ketika pada akhirnya Penyidik Polri melakukan penangkapan terhadap salah satu pegawai KPK. Semestinya, bercermin pada peristiwa tersebut, pada satu sisi aparatur penegak hukum mampu membuktikan kepada publik, bahwa benar asas hukum yang menyatakan “adanya perlakuan yang sama dimata hukum”.

Noda Lampau Novel Baswedan
Sebagaimana yang telah diekspose berbagai media masa, bahwa dalam catatannya pada suatu waktu di Tahun 2004, seorang Novel Baswedan (NB) telah bersinggungan dengan peristiwa hukum, dalam hal ini ketika melekat pada dirinya salah satu jabatan strategis dilingkungan Kepolisian Daerah Bengkulu. Atas peristiwa hukum tersebut, patut dipertanyakan mengapa baru dicoba penyelesaiannya terhitung Tahun 2012 yang lalu, dan gencar pada hari-hari belakangan ini ? mengapa bukannya tidak lama berselang paska terjadinya peristiwa hukum di Tahun 2004 tersebut sudah mampu diselesaikan ?
Pada sisi yang lain, peristiwa hukum yang menimpa NB bagaikan bom waktu dan bumerang, yang seolah-olah dapat dijadikan sebagai batu sandungan atas integritas NB secara pribadi, maupun kedudukan NB sebagai salah satu penyidik KPK. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa perihal NB sebenarnya bukanlah nama baru yang mengisi pemberitaan di media, melainkan NB pada dasarnya sudah mulai digrogoti oleh noda masa lampaunya, yang dimulai pada periode Tahun 2012, ketika itu KPK sedang “penuh semangat” membongkar indikasi kerugian negara di instansi Kepolisian.
Pada hakikatnya, penegakan hukum yang dilakukan saat ini dalam rangka menuntaskan peristiwa hukum yang dialami NB, adalah untuk kepentingan NB baik secara pribadi, mapun secara kelembagaan. Karena jika memang suatu ketika Majelis Hakim menyatakan melalui putusannya NB tidak bersalah, maka tidak akan ada lagi noda masa lampau yang melekat pada dirinya sebagai bayang-bayang “kelam” masa lalu, yang kerap dijadikan sebagai bom waktu. Akan tetapi, jika sebaliknya Majelis Hakim menyatakan bahwa NB terbukti bersalah, maka sebagai salah satu unsur penegak hukum, sudah sepatutnya NB menjalani proses hukum tanpa perlu didramatisir.

Aksi Pimpinan KPK
Paska adanya peristiwa dan penangkapan NB, media masa juga mengekspose bahwa ada berbagai rentetan peristiwa yang bermuara pada aksi simpatik dan solidaritas kepada NB, aksi-aksi tersebut diantaranya ada yang diekspresikan melalui peranan media sosial, maupun pernyataan sikap yang disuarakan oleh berbagai tokoh di tanah air, khususnya adalah pimpinan KPK. Pada kesempatan ini, khusus mengenai pernyataan sikap yang disampaikan oleh pimpinan KPK, pada dasarnya telah memicu friksi dan persilangan pendapat, baik di level pengamat maupun pakar hukum.
Pada prinsipnya, penulis sependapat bahwa dalam proses penuntasan peristiwa hukum NB, harus diselesaikan secara transparan. Artinya, mendorong penyelesaian peristiwa hukum NB setuntas-tuntasnya tanpa melakukan rekayasa, terlebih lagi jika harus mengkriminalisasi NB, atau dengan kata lain seyogyanya kasus NB tersebut bukanlah merupakan suatu aksi “balas dendam” yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak sejalan dengan sikap NB.
Akan tetapi, pada sisi yang lain sudah selayaknya publik turut mengkritisi atas berbagai aksi yang dilakukan para pimpinan KPK, terlebih lagi sebagaimana yang disampaikan melalui statement salah satu pimpinan KPK bahwa “…akan mundur, jika NB tidak diberikan penangguhan penahanan”. Pada prinsipnya secara normatif benar bahwa dalam konteks hukum pidana adanya unsur-unsur dalam melakukan penahanan, baik unsur subjektif maupun unsur objektif. Namun demikian, berdasarkan statement tersebut, dan dari sudut yang berbeda semestinya ada beberapa hal yang menjadi “uneg-uneg” di publik saat ini, diantaranya:
Pertama, bukankah pernyataan sikap akan mundur, secara tidak langsung telah mengamini jeritan rakyat kecil bahwa “hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah”, atau dengan kata lain secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa baik pimpinan maupun pegawai KPK memiliki imunitas dihadapan hukum ? Kedua, apakah pernyataan sikap akan mundur dari pimpinan KPK mengindikasikan sejalan dengan “jiwa korsa” ? Ketiga, mengapa diantara para pimpinan KPK lebih memilih mundur, dari pada menuntaskan berbagai macam kasus yang patut diduga terindikasi korupsi ? Keempat, bisakah kita menyimpulkan bahwa atas peristiwa NB tersebut, telah mengindikasikan kondisi antara KPK – Polri yang bagaikan “api dalam sekam” ?
Faktanya, urgensitas sang NB juga dapat disimak atas sikap Presiden Joko Widodo, yang mana dengan penuh kepercayaan diri turut mengistruksikan untuk tidak melakukan penahan terhadap NB. Secara sederhana, atas realita ini dapat dikaji apakah Presiden juga akan menginstruksikan hal yang senada, jika ada rakyat Indonesia lainnya yang akan ditahan oleh Polri ? 

Penutup
Berdasarkan realita yang terjadi hari-hari belakangan ini, penulis terngiang dengan salah satu pandangan pakar hukum di Indonesia, yakni Satjipto Rahardjo, yang tanpa pernah bosan selalu berkata dan menuangkan dalam tulisan-tulisannya, bahwa“…mengajarkan keteraturan, menemukan ketidakteraturan”. Pada kesempatan yang sama, semasa hidupnya Satjipto Rahardjo berulang kali menyuarakan agar dalam melakukan penegakan hukum, diperlukan hukum progresif, yaitu hukum yang membebaskan kita dari “belenggu kerangkeng hukum”. (Satjipto Rahardjo, 2010 : 141). Dengan demikian, semoga dengan belajar dari peristiwa NB, kedepannya berbagai bentuk penegakan hukum agar tidak lagi “berulang” dan terjebak dalam dogmatisme, serta dengan cara berpikir sederhana, karena menegakkan hukum tidak sama dengan menerapkan Undang-Undang. Semoga!

Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 8 Mei 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar