Spirit Otonomi
Daerah
Secara kontekstual, tulisan ini dikhususkan dalam
rangka menyambut hari otonomi daerah, yang ditetapkan dan diperingati setiap
tanggal 25 April. Sebagaimana amanat dari Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 11 Tahun 1996 tentang Hari Otonomi Daerah. Berdasarkan Keppres tersebut,
dapat ditelaah bahwa salah satu konsideran lahirnya hari otonomi daerah, bahwa
“dalam rangka memasyarakatkan dan
memantapkan pelaksanaan otonomi daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat
II”. Selanjutnya, Keppres tersebut ditransformasikan ke dalam Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menganut sistem otonomi
seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab.
Secara tekstual, tulisan ini untuk mengingatkan
sekaligus menyadarkan kembali berbagai stakeholder,
khususnya yang memiliki peranan secara langsung, dan turut aktif, dalam rangka
menciptakan iklim otonomi daerah yang sesuai dengan spirit, sekaligus filosofi
ditetapkannya 25 April sebagai hari otonomi daerah. Dewasa ini patut sama-sama ditelaah,
apakah pelaksanaan otonomi daerah diberbagai daerah otonom telah sesuai dengan
asas, tujuan, dan semangatnya ?
Konstitusional Otonomi
Daerah
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan mengatur terkait kewenangan
Pemerintahan Daerah, khususnya
pada Pasal 18 (1) “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi dibagi atas
Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai
Pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-undang”,
Pasal 18 (2) “Pemerintah daerah Provinsi,
daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Perihal tersebut
yang menjadi rujukan bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah agar sesuai
dengan asas-asasnya. Adapun asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pada pokoknya,
yaitu: Pertama, asas desentralisasi. Kedua, asas dekonsentralisasi. Ketiga, asas tugas pembantuan (Medebewind). (Husni Jalil, 2008 : 19)
Pada kesempatan yang sama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, juga mengakui dan mengakomodir terkait daerah-daerah otonom yang
memiliki kekhususan dan keistimewaan, sebagaimana amanat Pasal 18 A (1) “Hubungan wewenang antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, atau antara
Provinsi dan Kabupaten dan Kota, diatur dengan Undang-Undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah”, Pasal 18 B (1) “Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang”.
Asas desentralisasi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia,
paska amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
secara eksplisit telah menerapkan prinsip desentralisasi asimetris dalam rangka
menyelenggarakan Pemerintahan Daerah. Desentralisasi asimetris pada hakikatnya
agar dapat memenuhi kebutuhan, sekaligus mengakomodir berbagai bentuk keragaman
lokal.
Dalam hal desentralisasi asimetris, Tarlton berpandangan bahwa “Pembeda inti antara
desentralisasi biasa (non asimetris) dan desentralisasi asimetris terletak pada
tingkat kesesuaian (conformity), dan
keumuman (commonality) pada hubungan
suatu level Pemerintahan dengan sistem politik, antara Pemerintah Pusat maupun
antar Daerah.” (Tarlton dalam Robert Endi Jaweng, 2011 : 162).
Hakikat Otonomi Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah dan daerah otonom,
tentunya memiliki ciri-ciri diantaranya: Pertama,
Adanya bidang-bidang fungsi tertentu yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua, Adanya pejabat-pejabat politis
yang dipilih oleh rakyat. Ketiga,
Adanya kewenangan menarik pajak dan sumber-sumber pendapatan lain. Keempat, Memiliki kewenangan membuat
keputusan-keputusan menyangkut norma-norma rumah tangganya. (Agussalim Andi Gadjong, 2007 : 79)
Bagir Manan berpandangan bahwa otonomi bukan sekedar
pemancaran penyelenggaraan Pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan
efektivitas Pemerintahan. Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan
administrasi negara (administratiefrechtelijk),
sebagai tatanan ketatanegaraan otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara
dan susunan organisasi negara. (Bagir Manan, 2001 : 24) Juanda menegaskan bahwa
di dalam otonomi daerah melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht,
bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plicht) yang
diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugasnya. (Juanda, 2008 : 129)
Pada hakikatnya, sebagaimana pandangan
Rondinelli dan Chema, bahwa otonomi daerah akan memberikan manfaat dalam
penyelenggaraan Pemerintahan, berbagai manfaat tersebut, diantaranya : Pertama, Dapat melancarkan jalur birokrasi yang rumit. Kedua, Pejabat
di daerah dapat memiliki sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat. Ketiga, Mempercepat terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari
Pemerintah Pusat bagi daerah-daerah yang terpencil. Keempat, Memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai
kelompok politik, etnis, keagamaan didalam perencanaan pembangunan. Kelima, Meningkatkan efisiensi
Pemerintahan di pusat dengan tidak lagi menjalankan tugas yang telah diserahkan
kepada pejabat di daerah. Keenam, Melembagakan
partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Ketujuh, Meningkatkan pengaruh atau
pengawasan atas berbagai aktifitas yang dilakukan oleh elit lokal. Kedelapan, Menghantarkan kepada
administrasi Pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Kesembilan, Memungkinkan pemimpin di daerah
menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif, mengintegrasikan
daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi dan
implementasi pembangunan. Kesepuluh,
Memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang
kepada berbagai kelompok masyarakat didaerah untuk berpartisipasi secara
langsung dalam pembuatan kebijaksanaan. (Rondinelli dan Cheema dalam Syarif
Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, 2001 : 79 – 83).
Refleksi Otonomi Daerah
Berbagai dinamika telah mewarnai penyelanggaraan
otonomi daerah, bahkan seiring berjalan waktu, tidak terbilang oleh jari
banyaknya dinamika dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pada satu
sisi, telah banyak capaian yang dihasilkan, adanya arah yang bersifat positif
dalam trend pembangunan, telah
mendorong antusias masyarakat setempat dalam berdemokrasi, serta telah
menggandeng masyarakat untuk melakukan pengawasan atas berbagai kebijakan.
Akan tetapi, pada sisi yang lain, dengan tidak menutup
telinga dari berbagai nada sumir yang diekspresikan berbagai masyarakat
setempat, dan menjadi rahasia umum bahwa otonomi daerah secara tidak langsung
telah melahirkan berbagai “raja kecil di daerah”, bahkan lebih miris lagi
adanya raja kecil yang berkesinambungan. Tidak dapat dihindari pada beberapa
daerah tertentu, besarnya naluri untuk menjadi raja kecil berdampak adanya
konflik horizontal, baik dalam proses demokrasi maupun berbagai upaya untuk
melahirkan daerah-daerah otonom yang baru. Serta sebagaimana yang telah disadari
dan di“amini”, bahwa adanya rezim dari Pemerintahan Daerah, juga turut berimbas
kepada jenjang dan karir para Pegawai Negeri Sipil di daerah.
Semoga dengan memperingati lahirnya hari otonomi
daerah, esensinya berbagai stakeholder
pada Pemerintahan Daerah, agar mampu dan “mau” bertindak secara bijaksana dalam
rangka mengimplementasikan otonomi daerah, yang sesuai dengan asas, tujuan, dan
manfaat. Selamat Ulang Tahun Otonomi
Daerah ke-19 (25 April 1996 – 25 April 2015).
* Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 29 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar