Sabtu, 02 Mei 2015

Spirit Otonomi Daerah

Spirit Otonomi Daerah
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Secara kontekstual, tulisan ini dikhususkan dalam rangka menyambut hari otonomi daerah, yang ditetapkan dan diperingati setiap tanggal 25 April. Sebagaimana amanat dari Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 1996 tentang Hari Otonomi Daerah. Berdasarkan Keppres tersebut, dapat ditelaah bahwa salah satu konsideran lahirnya hari otonomi daerah, bahwa “dalam rangka memasyarakatkan dan memantapkan pelaksanaan otonomi daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II”. Selanjutnya, Keppres tersebut ditransformasikan ke dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menganut sistem otonomi seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab.
Secara tekstual, tulisan ini untuk mengingatkan sekaligus menyadarkan kembali berbagai stakeholder, khususnya yang memiliki peranan secara langsung, dan turut aktif, dalam rangka menciptakan iklim otonomi daerah yang sesuai dengan spirit, sekaligus filosofi ditetapkannya 25 April sebagai hari otonomi daerah. Dewasa ini patut sama-sama ditelaah, apakah pelaksanaan otonomi daerah diberbagai daerah otonom telah sesuai dengan asas, tujuan, dan semangatnya ?

Konstitusional Otonomi Daerah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan mengatur terkait kewenangan Pemerintahan Daerah, khususnya pada Pasal 18 (1) “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai Pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-undang, Pasal 18 (2) “Pemerintah daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Perihal tersebut yang menjadi rujukan bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah agar sesuai dengan asas-asasnya. Adapun asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pada pokoknya, yaitu: Pertama, asas desentralisasi. Kedua, asas dekonsentralisasi. Ketiga, asas tugas pembantuan (Medebewind). (Husni Jalil, 2008 : 19)
Pada kesempatan yang sama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga mengakui dan mengakomodir terkait daerah-daerah otonom yang memiliki kekhususan dan keistimewaan, sebagaimana amanat Pasal 18 A (1) “Hubungan wewenang antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, atau antara Provinsi dan Kabupaten dan Kota, diatur dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan  dan keragaman daerah”, Pasal 18 B (1) “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang”.
Asas desentralisasi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, paska amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara eksplisit telah menerapkan prinsip desentralisasi asimetris dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan Daerah. Desentralisasi asimetris pada hakikatnya agar dapat memenuhi kebutuhan, sekaligus mengakomodir berbagai bentuk keragaman lokal.
Dalam hal desentralisasi asimetris, Tarlton  berpandangan bahwa “Pembeda inti antara desentralisasi biasa (non asimetris) dan desentralisasi asimetris terletak pada tingkat kesesuaian (conformity), dan keumuman (commonality) pada hubungan suatu level Pemerintahan dengan sistem politik, antara Pemerintah Pusat maupun antar Daerah.” (Tarlton dalam Robert Endi Jaweng, 2011 : 162).    

Hakikat Otonomi Daerah     
Penyelenggaraan otonomi daerah dan daerah otonom, tentunya memiliki ciri-ciri diantaranya: Pertama, Adanya bidang-bidang fungsi tertentu yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua, Adanya pejabat-pejabat politis yang dipilih oleh rakyat. Ketiga, Adanya kewenangan menarik pajak dan sumber-sumber pendapatan lain. Keempat, Memiliki kewenangan membuat keputusan-keputusan menyangkut norma-norma rumah tangganya.  (Agussalim Andi Gadjong, 2007 : 79)
Bagir Manan berpandangan bahwa otonomi bukan sekedar pemancaran penyelenggaraan Pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas Pemerintahan. Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi negara (administratiefrechtelijk), sebagai tatanan ketatanegaraan otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara. (Bagir Manan, 2001 : 24) Juanda menegaskan bahwa di dalam otonomi daerah melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht, bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plicht) yang diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugasnya. (Juanda, 2008 : 129)
Pada hakikatnya, sebagaimana pandangan Rondinelli dan Chema, bahwa otonomi daerah akan memberikan manfaat dalam penyelenggaraan Pemerintahan, berbagai manfaat tersebut, diantaranya : Pertama, Dapat melancarkan jalur birokrasi yang rumit. Kedua,            Pejabat di daerah dapat memiliki sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat. Ketiga, Mempercepat  terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari Pemerintah Pusat bagi daerah-daerah yang terpencil. Keempat, Memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan didalam perencanaan pembangunan. Kelima, Meningkatkan efisiensi Pemerintahan di pusat dengan tidak lagi menjalankan tugas yang telah diserahkan kepada pejabat di daerah. Keenam, Melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Ketujuh, Meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktifitas yang dilakukan oleh elit lokal. Kedelapan, Menghantarkan kepada administrasi Pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Kesembilan, Memungkinkan pemimpin di daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi dan implementasi pembangunan. Kesepuluh, Memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat didaerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan. (Rondinelli dan Cheema dalam Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, 2001 : 79 – 83).
Refleksi Otonomi Daerah    
Berbagai dinamika telah mewarnai penyelanggaraan otonomi daerah, bahkan seiring berjalan waktu, tidak terbilang oleh jari banyaknya dinamika dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pada satu sisi, telah banyak capaian yang dihasilkan, adanya arah yang bersifat positif dalam trend pembangunan, telah mendorong antusias masyarakat setempat dalam berdemokrasi, serta telah menggandeng masyarakat untuk melakukan pengawasan atas berbagai kebijakan.
Akan tetapi, pada sisi yang lain, dengan tidak menutup telinga dari berbagai nada sumir yang diekspresikan berbagai masyarakat setempat, dan menjadi rahasia umum bahwa otonomi daerah secara tidak langsung telah melahirkan berbagai “raja kecil di daerah”, bahkan lebih miris lagi adanya raja kecil yang berkesinambungan. Tidak dapat dihindari pada beberapa daerah tertentu, besarnya naluri untuk menjadi raja kecil berdampak adanya konflik horizontal, baik dalam proses demokrasi maupun berbagai upaya untuk melahirkan daerah-daerah otonom yang baru. Serta sebagaimana yang telah disadari dan di“amini”, bahwa adanya rezim dari Pemerintahan Daerah, juga turut berimbas kepada jenjang dan karir para Pegawai Negeri Sipil di daerah.
Semoga dengan memperingati lahirnya hari otonomi daerah, esensinya berbagai stakeholder pada Pemerintahan Daerah, agar mampu dan “mau” bertindak secara bijaksana dalam rangka mengimplementasikan otonomi daerah, yang sesuai dengan asas, tujuan, dan manfaat. Selamat Ulang Tahun Otonomi Daerah ke-19 (25 April 1996 – 25 April 2015).
* Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 29 April 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar