Menkumham di Ujung Tanduk ?
Judul
tersebut seyogyanya sudah mampu merepresentasikan terkait berbagai friksi yang
terjadi paska dimulainya era Pemerintahan yang baru, dibawah pimpinan Joko
Widodo – Jusuf Kalla. Berbagai friksi tersebut khususnya yang ditujukan
terhadap eksistensi hukum, yang notabene dalam hal ini diwakili oleh Menteri
Hukum dan HAM (Menkumham), sebagai salah satu pembantu Pemerintah di ranah
hukum.
Menarik
untuk dianalisa bahwa sampai hari ini tidak dapat dinasbikan Menkumham adalah
salah satu posisi Menteri yang dikehendaki oleh publik untuk dilakukan reshuffle,
sebagaimana pemberitaan di media masa pada hari-hari belakangan ini. Oleh
karena, Menkumham dinilai belum cukup maksimal melaksanakan berbagai ekspektasi
publik, sekaligus dianggap berbagai keputusannya menimbulkan “gejolak”, sehingga bermuara
dengan adanya tuntutan agar Joko Widodo “mau dan mampu” mereshuffle
khususnya Menkumham. Dengan sudut pandang yang berbeda, merujuk pada realitas
yang terjadi, semestinya Menkumham juga turut menyadari bahwa berbagai perihal pemberitaan oleh media masa khususnya
terkait berbagai keputusannya, hal ini mengindikasikan bahwa isu hukum adalah
isu yang “seksi”. Sehingga dalam konteks ini, bukan sesuatu yang keliru kiranya jika
mengutip adagium lampau, yaitu “juris ingnorantia nocet, facti non nocet”
–
tidak
mengenal hukum adalah rugi,
tetapi tidak mengenal fakta adalah biasa.
Menkumham - Parpol
Pada dasarnya partai
politik memiliki korelasi dengan Menkumham, terlebih lagi paska lahirnya
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, sebagaimana Pasal 4
(1,2,3,4), yang pada intinya menegaskan bahwa Menkumham diberi kewenangan untuk
melegitimasi keberadaan partai-partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa semestinya
Menkumham dalam memutuskan keabsahan partai politik, hendaknya berlaku arif dan
bijaksana, serta menjalankannya sesuai dengan “aturan main” yang berlaku. Bukan
justru sebaliknya, sebagaimana yang disuarakan sekelompok elit partai politik
yang merasa terzalimi atas SK Menkumham, sehingga bermuara atas digugatnya
berbagai SK tersebut, dikarenakan adanya asumsi dan patut diduga bahwa apa yang
dilakukan Menkumham, tidak dapat dihindarkan atas “intervensi sang penguasa”.
Pada tataran normatif,
telah menjadi rahasia umum bahwa di dalam khazanah hukum, bukan hal yang tabu
adanya “intervensi sang penguasa”, pada konteks tersebut statement tertuju atas pandangan Ralf
Dahrendrof, yang menyatakan bahwa hukum itu kepentingan orang berkuasa. Hukum dikuasai oleh mereka yang memegang atau memiliki
kuasa, disinilah terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan mereka yang
dikuasai. Oleh karena, yang memproduksi hukum adalah mereka yang ada dalam
struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung memihak dan
melayani kaum pemegang otoritas tersebut. (Bernard L. Tanya, dkk, 2013 : 156 –
157)
Merujuk atas berbagai
perkembangan yang dinamis dalam eksistensi Partai Politik, sekaligus dalam
konteks mengontrol Pemerintah, perihal ini khususnya Menkumham, dapat dikaji
bahwa telah bergulirnya wacana untuk dilakukan revisi atas Undang-Undang
tentang Partai Politik. Terkait hal tersebut waktu yang akan menjelaskan kepada
publik, sekaligus publik akan menilai dapatkah konstelasi politik hari ini,
mampu merevisi Undang-Undang tentang Partai Politik ?
Paska PTUN
Dianalogikan
dengan suatu kompetisi, maka putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) No.
62/G/2015/PTUN-JKT, ibarat jeda bagi berbagai pihak, khususnya baik partai
Golkar kubu ARB, dan partai Golkar kubu AL, maupun Menkumham. Berbagai pihak
tersebut, dapat dipastikan akan kembali menyusun strategi, penguatan internal
maupun eksternal, dalam rangka mencapai tujuan yang dicitakan.
Berdasarkan
paradigma tersebut, melalui tulisan ini penulis mengingatkan kepada berbagai
pihak yang berkepentingan di partai Golkar, bahwa jangan sampai terkecoh dan
terlena, karena lawan dalam konteks partai politik yang “sesungguhnya”, akan
dimulai dalam pertarungan politik beberapa bulan ke depan, dalam hal ini ketika
pelaksanaan euforia demokrasi di tingkat lokal yang dilaksanakan secara
serentak, atau dengan kata lain pemilukada serentak. Karena patut diduga tidak
menutup kemungkinan adanya sekelompok pihak yang akan “bermain dalam air
yang keruh”.
Pada sisi yang lain, penting untuk kita pertanyakan saat ini, paska
lahirnya putusan PTUN tersebut, benarkah kiranya asumsi publik, bahwa lahirnya
berbagai SK Menkumham tentang partai politik karena adanya “intervensi sang
penguasa” ? sekaligus dalam rangka meng“obok-obok” konstelasi politik
yang berpaham kontra dengan Pemerintah ?
Equivalensi Reshuffle
Lahirnya putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) tersebut, seyogyanya dapat dijadikan acuan oleh Presiden
dalam menilai pembantunya (Menkumham) terkait kecakapannya dalam memimpin lembaga
negara yang berkonsentrasi pada bidang Hukum dan HAM. Oleh karena itu, desakan reshuffle
untuk Menkumham pada dasarnya bukanlah sesuatu yang berlebihan, sekaligus
merupakan bentuk punishment atas berbagai keputusannya, khususnya
terkait eksistensi beberapa partai politik. Walaupun pada sisi yang lain, masih
terbuka lebar kesempatan bagi para pihak yang belum menerima putusan PTUN
tersebut untuk menggali kembali tuntutan keadilan pada sistem Peradilan yang
lebih tinggi.
Kini, “bola panas” terkait Menkumham
kembali berada ditangan Presiden, sebagai Kepala Pemerintahan Presiden sudah
semestinya memberikan reward dan punishment kepada para
pembantunya, dalam rangka mengevaluasi berbagai kinerja, khususnya dalam hal
ini Menkumham. Oleh karenanya, akan sama-sama kita saksikan akankah pada
hari-hari yang akan datang sosok Menkumham menjadi salah satu waiting list
yang akan di reshuffle ?
Pada posisi ini, semoga Asas – Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPYB) dapat dimaksimalkan, mengingat pada
dasarnya AAUPYB telah memberikan ruang, bahwa diantaranya tidak dibenarkan
adanya penyalahgunaan wewenang, serta sekaligus melarang untuk bertindak
sewenang-wenang bagi seluruh pejabat publik, yang menjalankan roda
pemerintahan. Oleh karenanya punishment berupa reshuffle, kiranya
bukanlah sesuatu yang berlebihan dalam rangka mewujudkan good and clean
government. Semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 20 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar