Kamis, 28 Mei 2015

Menkumham di Ujung Tanduk ?

Menkumham di Ujung Tanduk ?
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Judul tersebut seyogyanya sudah mampu merepresentasikan terkait berbagai friksi yang terjadi paska dimulainya era Pemerintahan yang baru, dibawah pimpinan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Berbagai friksi tersebut khususnya yang ditujukan terhadap eksistensi hukum, yang notabene dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), sebagai salah satu pembantu Pemerintah di ranah hukum.
Menarik untuk dianalisa bahwa sampai hari ini tidak dapat dinasbikan Menkumham adalah salah satu posisi Menteri yang dikehendaki oleh publik untuk dilakukan reshuffle, sebagaimana pemberitaan di media masa pada hari-hari belakangan ini. Oleh karena, Menkumham dinilai belum cukup maksimal melaksanakan berbagai ekspektasi publik, sekaligus dianggap berbagai keputusannya  menimbulkan “gejolak”, sehingga bermuara dengan adanya tuntutan agar Joko Widodo “mau dan mampu” mereshuffle khususnya Menkumham. Dengan sudut pandang yang berbeda, merujuk pada realitas yang terjadi, semestinya Menkumham juga turut menyadari bahwa berbagai perihal pemberitaan oleh media masa khususnya terkait berbagai keputusannya, hal ini mengindikasikan bahwa isu hukum adalah isu yang “seksi”. Sehingga dalam konteks ini, bukan sesuatu yang keliru kiranya jika mengutip adagium lampau, yaitu juris ingnorantia nocet, facti non nocettidak mengenal hukum adalah rugi, tetapi tidak mengenal fakta adalah biasa.
Menkumham - Parpol
Pada dasarnya partai politik memiliki korelasi dengan Menkumham, terlebih lagi paska lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, sebagaimana Pasal 4 (1,2,3,4), yang pada intinya menegaskan bahwa Menkumham diberi kewenangan untuk melegitimasi keberadaan partai-partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa semestinya Menkumham dalam memutuskan keabsahan partai politik, hendaknya berlaku arif dan bijaksana, serta menjalankannya sesuai dengan “aturan main” yang berlaku. Bukan justru sebaliknya, sebagaimana yang disuarakan sekelompok elit partai politik yang merasa terzalimi atas SK Menkumham, sehingga bermuara atas digugatnya berbagai SK tersebut, dikarenakan adanya asumsi dan patut diduga bahwa apa yang dilakukan Menkumham, tidak dapat dihindarkan atas “intervensi sang penguasa”.
Pada tataran normatif, telah menjadi rahasia umum bahwa di dalam khazanah hukum, bukan hal yang tabu adanya “intervensi sang penguasa”, pada konteks tersebut statement tertuju atas pandangan Ralf Dahrendrof,  yang menyatakan bahwa hukum itu kepentingan orang berkuasa. Hukum dikuasai oleh mereka yang memegang atau memiliki kuasa, disinilah terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai. Oleh karena, yang memproduksi hukum adalah mereka yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung memihak dan melayani kaum pemegang otoritas tersebut. (Bernard L. Tanya, dkk, 2013 : 156 – 157)
Merujuk atas berbagai perkembangan yang dinamis dalam eksistensi Partai Politik, sekaligus dalam konteks mengontrol Pemerintah, perihal ini khususnya Menkumham, dapat dikaji bahwa telah bergulirnya wacana untuk dilakukan revisi atas Undang-Undang tentang Partai Politik. Terkait hal tersebut waktu yang akan menjelaskan kepada publik, sekaligus publik akan menilai dapatkah konstelasi politik hari ini, mampu merevisi Undang-Undang tentang Partai Politik ?  

Paska PTUN  
Dianalogikan dengan suatu kompetisi, maka putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) No. 62/G/2015/PTUN-JKT, ibarat jeda bagi berbagai pihak, khususnya baik partai Golkar kubu ARB, dan partai Golkar kubu AL, maupun Menkumham. Berbagai pihak tersebut, dapat dipastikan akan kembali menyusun strategi, penguatan internal maupun eksternal, dalam rangka mencapai tujuan yang dicitakan.
Berdasarkan paradigma tersebut, melalui tulisan ini penulis mengingatkan kepada berbagai pihak yang berkepentingan di partai Golkar, bahwa jangan sampai terkecoh dan terlena, karena lawan dalam konteks partai politik yang “sesungguhnya”, akan dimulai dalam pertarungan politik beberapa bulan ke depan, dalam hal ini ketika pelaksanaan euforia demokrasi di tingkat lokal yang dilaksanakan secara serentak, atau dengan kata lain pemilukada serentak. Karena patut diduga tidak menutup kemungkinan adanya sekelompok pihak yang akan “bermain dalam air yang keruh”.
Pada sisi yang lain,  penting untuk kita pertanyakan saat ini, paska lahirnya putusan PTUN tersebut, benarkah kiranya asumsi publik, bahwa lahirnya berbagai SK Menkumham tentang partai politik karena adanya “intervensi sang penguasa” ? sekaligus dalam rangka meng“obok-obok” konstelasi politik yang berpaham kontra dengan Pemerintah ?

Equivalensi Reshuffle
Lahirnya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tersebut, seyogyanya dapat dijadikan acuan oleh Presiden dalam menilai pembantunya (Menkumham) terkait kecakapannya dalam memimpin lembaga negara yang berkonsentrasi pada bidang Hukum dan HAM. Oleh karena itu, desakan reshuffle untuk Menkumham pada dasarnya bukanlah sesuatu yang berlebihan, sekaligus merupakan bentuk punishment atas berbagai keputusannya, khususnya terkait eksistensi beberapa partai politik. Walaupun pada sisi yang lain, masih terbuka lebar kesempatan bagi para pihak yang belum menerima putusan PTUN tersebut untuk menggali kembali tuntutan keadilan pada sistem Peradilan yang lebih tinggi.
Kini, “bola panas” terkait Menkumham kembali berada ditangan Presiden, sebagai Kepala Pemerintahan Presiden sudah semestinya memberikan reward dan punishment kepada para pembantunya, dalam rangka mengevaluasi berbagai kinerja, khususnya dalam hal ini Menkumham. Oleh karenanya, akan sama-sama kita saksikan akankah pada hari-hari yang akan datang sosok Menkumham menjadi salah satu waiting list yang akan di reshuffle ?
Pada posisi ini, semoga Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPYB) dapat dimaksimalkan, mengingat pada dasarnya AAUPYB telah memberikan ruang, bahwa diantaranya tidak dibenarkan adanya penyalahgunaan wewenang, serta sekaligus melarang untuk bertindak sewenang-wenang bagi seluruh pejabat publik, yang menjalankan roda pemerintahan. Oleh karenanya punishment berupa reshuffle, kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan dalam rangka mewujudkan good and clean government. Semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 20 Mei 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar