Paradigma Dalam
Bernegara
Telah
menjadi rahasia umum, bahwa dalam menjalankan aktifitas sehari-hari dalam
konteks bernegara dan bermasyarakat, selalu saja ada “oknum” baik di kalangan
penyelenggaraan Pemerintahan di tingkat Pusat maupun di Daerah. Baik yang disadari ataupun tidak, telah mencederai
kepercayaan masyarakat, dengan berbagai perbuatan yang patut diduga telah
bertentangan dengan nilai – asas – norma yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat.
Hal ini yang selanjutnya mendasari berbagai stigma
masyarakat, bahwa apakah sudah tepat frame
of thinking para penyelenggara Pemerintahan tersebut ? atau jika frame of thinking sudah tepat, mengapa
masih ada “oknum” yang bertentangan dengan nilai – asas – norma ? oleh
karenanya, tulisan ini memiliki pretensi untuk meluruskan kembali berbagai
stigma di masyarakat, sekaligus mengajak para penyelenggara Pemerintahan agar
sesuai dengan paradigma yang berlaku dan yang diimplementasikan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Tentang Paradigma
Istilah paradigma dipopulerkan oleh Thomas
S. Kuhn, dalam hal ini mendefinisikan paradigma sebagai “…universally recognized scientific achievements that for a time
provide model problems and solutions to a community of practitioners”.
Paradigma disini menunjuk pada cara pandang atau kerangka berpikir yang
berdasarkannya fakta atau gejala diinterpretasi dan dipahami, atau kerangka
umum yang mempedomani kegiatan ilmiah dalam suatu disiplin. Paradigma berperan
sebagai “research guidance” lewat “model problems and solutions” yang
menujukkan bagaimana ilmuwan harus menjalankan penelitian dan telaah ilmiah,
dan dengan itu berfungsi normatif. Dengan demikian, paradigma itu berfungsi
sebagai “the central cognitive resource”
untuk kegiatan ilmiah yang menentukan rasionalitas ilmiah dalam disiplin yang
bersangkutan. (Bernard Arief Sidharta,
2013 : 71 – 72).
Pada kesempatan yang sama, M. Solly Lubis
menerangkan bahwa paradigma adalah suatu parameter, rujukan, acuan yang
dipergunakan sebagai dasar untuk berpikir (thinking)
dan bertindak (action) lebih lanjut. (M.
Solly Lubis, 2009 : 15) Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan memahami
tentang paradigma, seyogyanya para penyelenggara Pemerintahan baik di Pusat dan
di Daerah, semestinya mampu menghindarkan dirinya dari berbagai bentuk
perbuatan yang dapat merugikan masyarakat umum.
Paradigma Bernegara
Dalam konteks bernegara, khususnya dalam rangka
menyelenggarakan Pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah Otonom,
seyogyanya sebagaimana yang dinyatakan oleh M. Solly Lubis, bahwa ada 3 (tiga)
bentuk paradigma, yaitu: (M. Solly Lubis, 2011 : 81)
Pertama, paradigma filosofis (philosophical
paradigma), yakni berupa nilai-nilai filosofis yang terdapat mengakar
sebagai satu sistem nilai dalam masyarakat bangsa, yang secara bernegara,
semula diabstraksikan oleh founding
fathers dari sistem budaya bangsa. Selanjutnya diulangkan menjadi ideologi
atau dasar negara, seterusnya diderivasi dan dijabarkan ke dalam sistem
kehidupan nasional, hingga tercermin dalam sistem kehidupan termasuk semua
subsistem kehidupan nasional tersebut. Dalam konteks bangsa Indonesia,
Pancasila merupakan himpunan dari nilai-nilai dan kaidah serta etikal kehidupan
sehari-hari yang dianut dan dipelihara dalam masyarakat sejak jauh-jauh hari
sebelum kemerdekaan.
Kedua, paradigma yuridis (juridical
paradigma), yakni segala sesuatunya berdasarkan konstitusi. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan acuan hukum tertinggi dan
membawahi aturan hukum lainnya, baik peraturan berupa produk Pusat maupun
Daerah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memiliki political messages yakni amanat-amanat
kebijakan dalam pasal-pasalnya.
Konstitusi
negara, yang biasanya disebut sebagai “hukum fundamental” negara, merupakan
dasar dari tatanan hukum nasional. Konstitusi menurut pengertian hukum adalah
apa yang sebelumnya disebut konstitusi dalam pengertian materialnya, yang
meliputi norma-norma yang mengatur proses pembentukan Undang-Undang. (Hans
Kelsen, 2011 : 365)
Ketiga, paradigma politis (political paradigma) yakni berupa derivat dari Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berupa rumusan
kebijakan mengenai pengelolaan Pemerintah dan pembangunan nasional.
Dalam
hal ini James Anderson menyebutkan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh negara
adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga pejabat Pemerintah dengan
ciri-ciri khas sebagai berikut: Pertama,
Kebijakan itu mempunyai tujuan. Kedua, Kebijakan itu berisi mengenai
tindakan. Ketiga, Kebijakan itu ada
tindakan yang nyata bukan sekedar harapan. Keempat,
Kebijakan itu mungkin positif dan negatif. Kelima,
Kebijakan itu selalu dituangkan pada sesuatu peraturan yang otoritatif. (James
Anderson dalam M. Solly Lubis, 2007 : 8)
Sudahkah diimplementasikan ?
Ketika telah dipahami bahwa dalam bernegara dan
bermasyarakat, dituntut para penyelenggara Pemerintahan, untuk mampu bersikap
paradigmatik, dengan mendasarkan perbuatannya atas paradigma filosofis,
yuridis, dan politis. Dewasa ini, publik semestinya telah mampu menilai, apakah
berbagai bentuk perbuatan penyelenggara Pemerintahan baik di Pusat maupun di
Daerah telah selaras dengan berbagai paradigma tersebut ?
Bukan sesuatu yang keliru kiranya, bahwa sudah
sepatutnya publik bersikap proaktif, dan turut serta menginventarisir, berbagai
bentuk peraturan apa sajakah yang tidak sesuai dengan paradigma bernegara ?
atau lebih dalam lagi, berbagai kebijakan apa sajakah yang telah dilakukan oleh
penyelenggara Pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah saat ini yang telah bertentangan dengan paradigma bernegara
tersebut ?
Perihal selanjutnya, dengan bersikap
dan bertindak paradigmatik, diharapkan para penyelenggara Pemerintahan
akan
mewakili dari berbagai bentuk paradigma, baik paradigma filosofis (philosophical
paradigma),
paradigma yuridis (yuridical paradigma),
maupun paradigma politis
(political
paradigma). Khususnya paradigma yuridis, dengan bersikap paradigmatik semoga setiap keputusan yang dibuat oleh penyelenggara Pemerintahan di Pusat maupun di Daerah,
senantiasa memiliki legitimasi
konstitusional, untuk menghindari hal-hal yang bersifat semu dan
bias. Semoga!
* Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 17 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar