Sabtu, 02 Mei 2015

Paradigma Dalam Bernegara

Paradigma Dalam Bernegara
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Telah menjadi rahasia umum, bahwa dalam menjalankan aktifitas sehari-hari dalam konteks bernegara dan bermasyarakat, selalu saja ada “oknum” baik di kalangan penyelenggaraan Pemerintahan di tingkat Pusat maupun di Daerah. Baik yang disadari ataupun tidak, telah mencederai kepercayaan masyarakat, dengan berbagai perbuatan yang patut diduga telah bertentangan dengan nilai – asas – norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Hal ini yang selanjutnya mendasari berbagai stigma masyarakat, bahwa apakah sudah tepat frame of thinking para penyelenggara Pemerintahan tersebut ? atau jika frame of thinking sudah tepat, mengapa masih ada “oknum” yang bertentangan dengan nilai – asas – norma ? oleh karenanya, tulisan ini memiliki pretensi untuk meluruskan kembali berbagai stigma di masyarakat, sekaligus mengajak para penyelenggara Pemerintahan agar sesuai dengan paradigma yang berlaku dan yang diimplementasikan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tentang Paradigma
Istilah paradigma dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn, dalam hal ini mendefinisikan paradigma sebagai “…universally recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners”. Paradigma disini menunjuk pada cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkannya fakta atau gejala diinterpretasi dan dipahami, atau kerangka umum yang mempedomani kegiatan ilmiah dalam suatu disiplin. Paradigma berperan sebagai “research guidance” lewat “model problems and solutions” yang menujukkan bagaimana ilmuwan harus menjalankan penelitian dan telaah ilmiah, dan dengan itu berfungsi normatif. Dengan demikian, paradigma itu berfungsi sebagai “the central cognitive resource” untuk kegiatan ilmiah yang menentukan rasionalitas ilmiah dalam disiplin yang bersangkutan.  (Bernard Arief Sidharta, 2013 : 71 – 72).
Pada kesempatan yang sama, M. Solly Lubis menerangkan bahwa paradigma adalah suatu parameter, rujukan, acuan yang dipergunakan sebagai dasar untuk berpikir (thinking) dan bertindak (action) lebih lanjut. (M. Solly Lubis, 2009 : 15) Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan memahami tentang paradigma, seyogyanya para penyelenggara Pemerintahan baik di Pusat dan di Daerah, semestinya mampu menghindarkan dirinya dari berbagai bentuk perbuatan yang dapat merugikan masyarakat umum.

Paradigma Bernegara
Dalam konteks bernegara, khususnya dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah Otonom, seyogyanya sebagaimana yang dinyatakan oleh M. Solly Lubis, bahwa ada 3 (tiga) bentuk paradigma, yaitu: (M. Solly Lubis, 2011 : 81)
Pertama, paradigma filosofis (philosophical paradigma), yakni berupa nilai-nilai filosofis yang terdapat mengakar sebagai satu sistem nilai dalam masyarakat bangsa, yang secara bernegara, semula diabstraksikan oleh founding fathers dari sistem budaya bangsa. Selanjutnya diulangkan menjadi ideologi atau dasar negara, seterusnya diderivasi dan dijabarkan ke dalam sistem kehidupan nasional, hingga tercermin dalam sistem kehidupan termasuk semua subsistem kehidupan nasional tersebut. Dalam konteks bangsa Indonesia, Pancasila merupakan himpunan dari nilai-nilai dan kaidah serta etikal kehidupan sehari-hari yang dianut dan dipelihara dalam masyarakat sejak jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan.
Kedua, paradigma yuridis (juridical paradigma), yakni segala sesuatunya berdasarkan konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan acuan hukum tertinggi dan membawahi aturan hukum lainnya, baik peraturan berupa produk Pusat maupun Daerah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memiliki political messages yakni amanat-amanat kebijakan dalam pasal-pasalnya.
Konstitusi negara, yang biasanya disebut sebagai “hukum fundamental” negara, merupakan dasar dari tatanan hukum nasional. Konstitusi menurut pengertian hukum adalah apa yang sebelumnya disebut konstitusi dalam pengertian materialnya, yang meliputi norma-norma yang mengatur proses pembentukan Undang-Undang. (Hans Kelsen, 2011 : 365)
Ketiga, paradigma politis (political paradigma) yakni berupa derivat dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berupa rumusan kebijakan mengenai pengelolaan Pemerintah dan pembangunan nasional.
Dalam hal ini James Anderson menyebutkan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh negara adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga pejabat Pemerintah dengan ciri-ciri khas sebagai berikut: Pertama, Kebijakan itu  mempunyai tujuan. Kedua, Kebijakan itu berisi mengenai tindakan. Ketiga, Kebijakan itu ada tindakan yang nyata bukan sekedar harapan. Keempat, Kebijakan itu mungkin positif dan negatif. Kelima, Kebijakan itu selalu dituangkan pada sesuatu peraturan yang otoritatif. (James Anderson dalam M. Solly Lubis, 2007 : 8)

Sudahkah diimplementasikan ?    
Ketika telah dipahami bahwa dalam bernegara dan bermasyarakat, dituntut para penyelenggara Pemerintahan, untuk mampu bersikap paradigmatik, dengan mendasarkan perbuatannya atas paradigma filosofis, yuridis, dan politis. Dewasa ini, publik semestinya telah mampu menilai, apakah berbagai bentuk perbuatan penyelenggara Pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah telah selaras dengan berbagai paradigma tersebut ?
Bukan sesuatu yang keliru kiranya, bahwa sudah sepatutnya publik bersikap proaktif, dan turut serta menginventarisir, berbagai bentuk peraturan apa sajakah yang tidak sesuai dengan paradigma bernegara ? atau lebih dalam lagi, berbagai kebijakan apa sajakah yang telah dilakukan oleh penyelenggara Pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah saat ini yang telah  bertentangan dengan paradigma bernegara tersebut ?
Perihal selanjutnya, dengan bersikap dan bertindak paradigmatik, diharapkan para penyelenggara Pemerintahan akan mewakili dari berbagai bentuk  paradigma, baik paradigma filosofis (philosophical paradigma), paradigma yuridis (yuridical paradigma), maupun paradigma politis (political paradigma). Khususnya paradigma yuridis, dengan bersikap paradigmatik semoga setiap keputusan yang dibuat oleh penyelenggara Pemerintahan di Pusat maupun di Daerah, senantiasa memiliki legitimasi konstitusional, untuk menghindari hal-hal yang bersifat semu dan bias. Semoga!
* Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Jumat 17 April 2015



[1]  Penulis adalah PNS Pemkab Aceh Tamiang, email: c4k124@rocketmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar