Jumat, 10 April 2015

Antara Hukum dan Kepentingan

Antara Hukum dan Kepentingan
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Hukum ketika diposisikan sebagai “tatanan tertib” manusia, akan lebih bermakna dari pada yang hanya sebatas kumpulan aturan formal-yuridis. Dengan menganalogikan hukum sebagai dunia yang kompleks, dan sekompleks dunia manusia yang diaturnya. Dalam hal ini sebuah dunia yang penuh dengan pergulatan sosial-manusiawi dalam ruang dan waktu. Patut disadari bahwa hukum bukan hanya milik “orang hukum” saja, akan tetapi milik seluruh umat manusia, oleh karena setiap manusia telah menyadari kebutuhan akan hukum dalam rangka tercapainya tertib kehidupan.
Dewasa ini, dalam konteks Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa pada sebahagian peristiwa hukum, masyarakat sudah terlanjur memiliki stigma bahwa hukum itu seperti “pisau”, tajam untuk masyarakat kelas bawah, dan tumpul ketika menghadapi penguasa atau masyarakat kelas atas. Berdasarkan paradigma tersebut, tulisan ini mendeskripsikan berlandaskan teori hukum, apakah di dalam penerapan hukum dapat diintervensi oleh kepentingan ? baik itu intervensi kepentingan “orang berpunya” maupun intervensi kepentingan sang penguasa ?

Kekuasaan - Kepentingan
Dalam tataran filsafat, Thomas Hobbes, memberikan pandangannya tentang kekuasaan, yaitu: Pertama, sebetulnya kekuasaan itu “tidak ada”, kekuasaan menjadi ada karena adanya naluri paling kuat dalam diri manusia untuk mempertahankan nyawanya, pada posisi ini diperlukan hukum sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi nyawa atau “kepentingan” manusia. Kedua, negara harus kuat dan mampu menciptakan tatanan hukum yang diberlakukan kepada setiap orang, serta yang tidak menaatinya harus dijatuhi hukuman. Ketiga, keadilan adalah apa yang sesuai dengan Undang-Undang (betapapun buruknya Undang-Undang tersebut). (Hyronimus Rhiti, 2011 : 346 – 357)
Berdasarkan pandangan Thomas Hobbes, pada hakikatnya dapat ditelaah bahwa adanya korelasi antara hukum dan kekuasaan, yang mana hukum ditelaah sebagai salah satu unsur kekuatan dalam rangka melindungi “kepentingan manusia”. Lebih lanjut Soedikno Mertokusumo, menyatakan bahwa ketika kepentingan-kepentingan manusia terancam atau terganggu, maka diperlukan suatu perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan itu, yang kemudian dikenal dengan hukum. (Soedikno Mertokusumo, 2010 : 121)
Perihal tersebut dapat ditelaah bahwa seyogyanya dalam konteks penerapan hukum di Indonesia adalah kepentingan hukum yang semestinya dijadikan lokomotif, bukan justru sebaliknya sebagaimana yang diasumsikan masyarakat bahwa dalam penerapan hukum, patut diduga pada beberapa peristiwa hukum, justru lebih cenderung bernuansa dan memprioritaskan kepentingan “orang berpunya” atau kepentingan “sang penguasa”.

Hukum Itu ?
Telah banyak teori, maupun pandangan filsuf dan pakar yang memaknai hukum. Akan tetapi, dalam konteks tulisan ini mengenai apa hukum itu ? relevansi tulisan ini tertuju pada pandangan Karl Marx dan Ralf Dahrendrof. Dalam hal ini, Karl Marx berpandangan bahwa hukum itu kepentingan orang berpunya. Menurutnya hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Argumentasinya bahwa hukum itu tatanan keadilan, hanyalah omong kosong belaka. Realitanya, hukum itu melayani kepentingan “orang berpunya”. Hukum tidak lebih dari sarana penguasaan dan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan mereka. Ditangan penguasa yang berselingkuh dengan pemilik modal, hukum akhirnya tampil sebagai the iron boxing and the velvet glove (tinju besi berselubung kain beludru). Iron boxing diasumsikan sebagai realitas hukum, sementara velvet glove adalah selubung penutup kebohongan dari hukum. (Bernard L. Tanya, dkk, 2013 : 88 – 90).
Pada kesempatan yang sama, dengan perspektif yang berbeda Ralf Dahrendrof  berpandangan bahwa hukum itu kepentingan orang berkuasa. Hukum dikuasai oleh mereka yang memegang atau memiliki kuasa, disinilah terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Oleh karena, yang memproduksi hukum adalah mereka yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung memihak dan melayani kaum pemegang otoritas tersebut. (Bernard L. Tanya, dkk, 2013 : 156 – 157)
Berdasarkan paradigma pandangan Karl Marx dan Ralf Dahrendrof, dapat diasumsikan bahwa oleh karena hukum itu melekat pada sisi dimensi ruang dan waktu, serta tidak berada pada ruang hampa, maka tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam penerapan hukum, adanya intervensi baik itu intervensi “orang berpunya” maupun intervensi dari sang penguasa. Adapun yang patut dipertanyakan, apakah teori Karl Marx dan Ralf Dahrendrof tersebut juga diimplementasikan dalam rangka penerapan hukum di Indonesia ? atau dengan kata lain, apakah penerapan hukum di Indonesia di pengaruhi oleh faktor “orang berpunya” dan pengaruh sang penguasa ?

Meluruskan Stigma Masyarakat  
Aparatur penegak hukum dituntut mampu bersikap profesional, oleh karena berkedudukan sebagai garda terdepan, dan berkewajiban untuk meluruskan stigma masyarakat, karena pada dasarnya melalui peranan aparatur penegak hukum pula masyarakat mulai berasumsi, apakah segala sesuatu rangkaian yang dijalani dalam peristiwa hukum telah sesuai dengan koridor hukum ? sekaligus dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sudahkah hukum dijadikan sebagai panglima ?
Tidak kalah pentingnya, yang patut direview apakah selama ini baik itu dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, berbagai bentuk kebijakan, maupun berbagai bentuk vonis hakim, telah berdasarkan pada nilai – asas – norma hukum ? sekaligus apakah berbagai bentuk tersebut, bukan merupakan hasil intervensi yang dipengaruhi faktor “orang berpunya” dan faktor sang penguasa ?
Pada posisi ini, ketika masyarakat telah bersikap apatis terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa hukum, disinilah peranan dari seluruh stakeholder agar mampu berpikir dan bertindak secara komprehensif dalam rangka meluruskan kembali stigma yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, patut diluruskan stigma negatif yang berkembang di masyarakat atas hukum, dikhawatirkan bahwa jika tidak diluruskan lambat laun ketika masyarakat sudah sampai pada titik kulminasi, tidak menutup kemungkinan adanya ekspresi “senang” dari rakyat Indonesia mengedepankan hukum rimba. Tentunya, hal tersebut akan berimplikasi, sekaligus membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 8 April 2015, dengan link: http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=42305:antara-hukum-dan-kepentingan&catid=59:opini&Itemid=215



[1]  Penulis adalah PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, dapat berinteraksi melalui email: c4k124@rocketmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar