Antara Hukum dan
Kepentingan
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Hukum ketika diposisikan sebagai “tatanan tertib”
manusia, akan lebih bermakna dari pada yang hanya sebatas kumpulan aturan formal-yuridis. Dengan
menganalogikan hukum sebagai
dunia yang kompleks, dan sekompleks dunia manusia yang diaturnya. Dalam
hal ini sebuah dunia
yang penuh dengan pergulatan sosial-manusiawi dalam ruang dan waktu. Patut
disadari bahwa hukum bukan
hanya milik “orang hukum” saja, akan tetapi milik seluruh
umat manusia, oleh
karena setiap manusia telah
menyadari kebutuhan
akan hukum dalam
rangka tercapainya tertib kehidupan.
Dewasa ini, dalam konteks Indonesia tidak dapat
dipungkiri bahwa pada sebahagian peristiwa hukum, masyarakat sudah terlanjur
memiliki stigma bahwa hukum itu seperti “pisau”, tajam untuk masyarakat kelas
bawah, dan tumpul ketika menghadapi penguasa atau masyarakat kelas atas.
Berdasarkan paradigma tersebut, tulisan ini mendeskripsikan berlandaskan teori
hukum, apakah di dalam penerapan hukum dapat diintervensi oleh kepentingan ?
baik itu intervensi kepentingan “orang berpunya” maupun intervensi kepentingan sang
penguasa ?
Kekuasaan - Kepentingan
Dalam tataran filsafat, Thomas Hobbes,
memberikan pandangannya tentang kekuasaan, yaitu: Pertama, sebetulnya kekuasaan itu “tidak ada”, kekuasaan menjadi
ada karena adanya naluri paling kuat dalam diri manusia untuk mempertahankan
nyawanya, pada posisi ini diperlukan hukum sebagai sebuah kekuatan untuk
melindungi nyawa atau “kepentingan” manusia. Kedua, negara harus kuat dan mampu menciptakan tatanan hukum yang
diberlakukan kepada setiap orang, serta yang tidak menaatinya harus dijatuhi
hukuman. Ketiga, keadilan adalah apa
yang sesuai dengan Undang-Undang (betapapun buruknya Undang-Undang tersebut).
(Hyronimus Rhiti, 2011 : 346 – 357)
Berdasarkan pandangan Thomas Hobbes, pada
hakikatnya dapat ditelaah bahwa adanya korelasi antara hukum dan kekuasaan,
yang mana hukum ditelaah sebagai salah satu unsur kekuatan dalam rangka
melindungi “kepentingan manusia”. Lebih lanjut Soedikno Mertokusumo, menyatakan
bahwa ketika kepentingan-kepentingan manusia terancam atau terganggu, maka
diperlukan suatu perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan itu, yang
kemudian dikenal dengan hukum. (Soedikno Mertokusumo, 2010 : 121)
Perihal tersebut dapat ditelaah bahwa
seyogyanya dalam konteks penerapan hukum di Indonesia adalah kepentingan hukum
yang semestinya dijadikan lokomotif, bukan justru sebaliknya sebagaimana yang
diasumsikan masyarakat bahwa dalam penerapan hukum, patut diduga pada beberapa
peristiwa hukum, justru lebih cenderung bernuansa dan memprioritaskan
kepentingan “orang berpunya” atau kepentingan “sang penguasa”.
Hukum Itu ?
Telah banyak teori, maupun pandangan filsuf dan pakar
yang memaknai hukum. Akan tetapi, dalam konteks tulisan ini mengenai apa hukum
itu ? relevansi tulisan ini tertuju pada pandangan Karl Marx dan Ralf Dahrendrof.
Dalam hal ini, Karl Marx berpandangan bahwa hukum
itu kepentingan orang berpunya. Menurutnya hukum adalah alat legitimasi
dari kelas ekonomi tertentu. Argumentasinya bahwa hukum itu tatanan keadilan,
hanyalah omong kosong belaka. Realitanya, hukum itu melayani kepentingan “orang
berpunya”. Hukum tidak lebih dari sarana penguasaan dan piranti para
pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan mereka. Ditangan
penguasa yang berselingkuh dengan pemilik modal, hukum akhirnya tampil sebagai the iron boxing and the velvet glove
(tinju besi berselubung kain beludru). Iron
boxing diasumsikan sebagai realitas hukum, sementara velvet glove adalah selubung penutup kebohongan dari hukum.
(Bernard L. Tanya, dkk, 2013 : 88 – 90).
Pada kesempatan yang sama, dengan perspektif yang
berbeda Ralf Dahrendrof berpandangan
bahwa hukum itu kepentingan orang
berkuasa. Hukum dikuasai oleh mereka yang memegang atau memiliki kuasa,
disinilah terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan mereka yang
dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan,
sedangkan yang lain tidak. Oleh karena, yang memproduksi hukum adalah mereka
yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung
memihak dan melayani kaum pemegang otoritas tersebut. (Bernard L. Tanya, dkk,
2013 : 156 – 157)
Berdasarkan paradigma pandangan Karl Marx dan Ralf
Dahrendrof, dapat diasumsikan bahwa oleh karena hukum itu melekat pada sisi
dimensi ruang dan waktu, serta tidak berada pada ruang hampa, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa di dalam penerapan hukum, adanya intervensi baik itu
intervensi “orang berpunya” maupun intervensi dari sang penguasa. Adapun yang
patut dipertanyakan, apakah teori Karl Marx dan Ralf Dahrendrof tersebut juga
diimplementasikan dalam rangka penerapan hukum di Indonesia ? atau dengan kata
lain, apakah penerapan hukum di Indonesia di pengaruhi oleh faktor “orang
berpunya” dan pengaruh sang penguasa ?
Meluruskan Stigma
Masyarakat
Aparatur penegak hukum dituntut mampu bersikap
profesional, oleh karena berkedudukan sebagai garda terdepan, dan berkewajiban
untuk meluruskan stigma masyarakat, karena pada dasarnya melalui peranan aparatur
penegak hukum pula masyarakat mulai berasumsi, apakah segala sesuatu rangkaian
yang dijalani dalam peristiwa hukum telah sesuai dengan koridor hukum ? sekaligus
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sudahkah hukum dijadikan sebagai
panglima ?
Tidak kalah pentingnya, yang patut direview apakah
selama ini baik itu dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan,
berbagai bentuk kebijakan, maupun berbagai bentuk vonis hakim, telah
berdasarkan pada nilai – asas – norma hukum ? sekaligus apakah berbagai bentuk
tersebut, bukan merupakan hasil intervensi yang dipengaruhi faktor “orang
berpunya” dan faktor sang penguasa ?
Pada posisi ini, ketika masyarakat telah bersikap
apatis terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa hukum, disinilah
peranan dari seluruh stakeholder agar
mampu berpikir dan bertindak secara komprehensif dalam rangka meluruskan
kembali stigma yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, patut diluruskan stigma negatif yang berkembang di masyarakat atas hukum, dikhawatirkan bahwa
jika tidak diluruskan lambat
laun ketika masyarakat sudah sampai pada titik kulminasi, tidak menutup
kemungkinan adanya ekspresi “senang” dari rakyat Indonesia mengedepankan hukum rimba. Tentunya,
hal tersebut akan berimplikasi, sekaligus membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 8 April 2015, dengan link: http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=42305:antara-hukum-dan-kepentingan&catid=59:opini&Itemid=215
[1]
Penulis adalah PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, dapat berinteraksi melalui email: c4k124@rocketmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar