Drama Ahok dan
Legislatif
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Pemerintahan
Daerah DKI Jakarta telah menjadi episentrum hari-hari belakangan ini, berbagai
“isu pemerintahan” telah silih berganti menjadi sorotan, hingga yang terus
bergulir mengenai RAPBD DKI Jakarta 2015. Mengenai RAPBD, sudah menjadi rahasia
umum, baik dilingkungan elite eksekutif – legislatif di daerah otonom, maupun
dikalangan para pemerhati dan pengamat Pemerintahan Daerah, bahwa setiap di
awal tahun berjalan akan adanya bargaining
position (posisi tawar menawar) dalam rangka menyetujui sekaligus
menyepakati RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
Eksekutif – Legislatif
(Relasi Pemerintahan Daerah)
Secara normatif, Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan Pemerintah yang diserahkan kepada Daerah sebagai
fungsi-fungsi pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah (Kepala Daerah, beserta SKPD) – eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) – legislatif, yang merupakan lembaga pemerintahan daerah menurut
asas desentralisasi.
Hal ini dapat ditelaah bahwa yang berwenang
menyelenggarakan pemerintahan di daerah otonom, adalah Pemerintah Daerah dan
DPRD. Pasca reformasi relasi antara eksekutif (Pemerintah Daerah) dan legislatif
(DPRD) dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan Daerah telah memiliki
kedudukan yang sama sejajar, artinya tidak ada satu pihak yang lebih dominan
dari pihak lainnya, sekaligus menganulir dikotomi “bahwa legislatif itu hanya
berposisi sebagai rubber stamp
(tukang stempel)”.
Berdasarkan paradigma tersebut, dalam konteks RAPBD
Undang-Undang Pemerintahan Daerah
menyatakan bahwa Kepala Daerah mempunyai wewenang dan tugas: “menyusun
dan mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD kepada DPRD untuk
dibahas bersama”. Serta masih dalam bingkai Undang-Undang Pemerintahan
Daerah, bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang, tetapi tugas dan wewenang yang
sesuai dengan konteks ini penulis menggarisbawahi bahwa ada 3 (hal) yang menjadi kompetensi
DPRD, yaitu: Pertama, membentuk Perda
yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Kedua,
membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan Kepala
Daerah. Ketiga, melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya,
peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah.
Berdasarkan premis tersebut, dapat ditarik benang
merah bahwa dalam hal RAPBD, baik eksekutif (Kepala Daerah) maupun legislatif
memiliki tugas dan wewenang yang sama. Dengan kata lain, RAPBD bukan
semata-mata kompetensi bagi eksekutif atau legislatif saja, dengan demikian
APBD merupakan hasil interaksi antara eksekutif dan legislatif.
Ahok di DKI Jakarta
Ahok di DKI Jakarta, begitu kiranya untuk
mendeskripsikan sosok Gubernur (Kepala Daerah) yang fenomenal, sekaligus
kontroversial jika dikomparasikan dengan Gubernur dari 33 Provinsi lainnya yang
ada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penulis berasumsi sedemikian rupa
bukan sesuatu yang berlebihan, karena didasari pada beberapa realita:
Pertama, Publik masih mengingat betul, ketika Ahok hendak
dilantik sebagai Gubernur definitif DKI Jakarta, pada kesempatan yang sama ada
sekolompok masyarakat yang tidak menerima kedudukan Ahok sebagai Gubernur,
serta dengan lantang menyuarakan bahwa akan adanya “Gubernur tandingan” yang
memimpin Ibukota Negara.
Kedua, Ahok dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri
dengan tegas melepaskan partai pengusungnya pada pemilukada DKI Jakarta Tahun
2012 yang lalu, hal ini dilakukan Ahok, tidak lama berselang paska
ditetapkannya Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke 7
(tujuh). Perihal tersebut, terlepas adanya stigma bagi sebagian kalangan
masyarakat yang menyuarakan bahwa Ahok senada dengan pepatah “kacang lupa kulitnya”. Akan tetapi
penulis menelaah hal tersebut dari paradigma yang lain, karena kenyataannya
tidak semua Kepala Daerah berani dan siap meninggalkan kelompok / partai
politik pendukung yang telah mengantarkannya menjadi Kepala Daerah untuk daerah
otonom tersebut.
Ketiga, Pada dasarnya Ahok juga telah mengkalkulasikan
berbagai implikasi dampak dari meninggalkan kelompok / partai pendukung. Berdasarkan
realita tersebut secara integral hampir tidak ada partai politik yang bersedia
mengcounter berbagai kebijakan Ahok.
Senada dengan adagium politik “tidak ada
teman atau lawan yang kekal”, hal ini menjadi kenyataan ketika bergulirnya
rencana eksekutif – legislatif untuk mengesahkan RAPBD DKI Jakarta Tahun 2015.
Perihal ini yang selanjutnya telah menjadi konsumsi
publik, bahwa baik Ahok maupun DPRD DKI Jakarta telah saling tuding dan saling
menyalahkan di berbagai media massa, terkait “dana 12,1 Triliun dalam RAPBD DKI Jakarta
Tahun 2015”. Pada satu sisi sudah selayaknya publik “mengacungi jempol” kepada
Ahok, yang mana dengan tegas dan penuh keberanian telah merubah paradigma
mengenai RAPBD. Akan tetapi, pada kesempatan yang sama, dari sudut pandang yang
berbeda patut juga ditelaah, siapakah yang sebenarnya sedang bermain api ?
eksekutif kah ? atau legislatif ?
Hal senada juga patut kita dorong kepada Kepala Daerah
lainnya, baik itu Gubernur / Bupati / Walikota, agar senantiasa didalam proses
pengesahan RAPBD pada daerah masing-masing, agar berani bersikap transparan dan
akuntabel dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Lantas yang menjadi
pertanyaan saat ini, mengapa hanya RAPBD DKI Jakarta yang menjadi sorotan ?
apakah hal ini mengindikasikan bahwa RAPBD daerah otonom lainnya telah sesuai
dengan S.O.P yang berlaku ? atau patut diduga, apakah eksekutif – legislatif daerah
otonom lainnya sama-sama bermain “mata” mengenai RAPBD ?
Akhir dari Drama !
Jum’at, 20 Maret 2015, telah menjadi babak akhir dari
drama yang bergulir mengenai RAPBD DKI Jakarta, sebagaimana yang diekspose
berbagai media masa bahwa sebelumnya ada beberapa rangkaian peristiwa dalam
rangka mengesahkan RAPBD, akan tetapi faktanya hal tersebut tampak menjadi
sia-sia. Sebagaimana yang diketahui bahwa hari Jum’at tersebut telah menjadi
deadline baik bagi eksekutif – legislatif DKI Jakarta untuk sepakat dan
sependapat mengenai RAPBD 2015. Tidak tercapainya kata sepakat antara eksekutif
– legislatif telah mengindikasikan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
DKI Jakarta Tahun 2015, akan menggunakan anggaran berdasarkan APBD Tahun 2014.
Menarik untuk ditelaah bahwa baik eksekutif –
legislatif, telah mempertontonkan kepada publik masing-masing kekuatan. Sembari
menyatakan pihak “kami” yang benar, dan pihak “sana” yang salah. Sikap tersebut
patut dipertanyakan, apakah dengan adu kekuatan antara eksekutif – legislatif
telah mencerminkan keberpihakan kepada rakyat ? bukankah eksekutif (Kepala
Daerah) dan legislatif sama-sama dipilih oleh rakyat ? akan tetapi mengapa sama
sekali seolah-olah tidak mampu untuk bermusyawarah dalam rangka menjalankan
roda pemerintahan ? Mengenai RAPBD, esensinya yang paling berkepentingan adalah
masyarakat setempat. Belajar dari pengalaman RAPBD DKI Jakarta, sudah
sepatutnya baik eksekutif (Kepala Daerah) maupun legislatif daerah otonom
lainnya, sama-sama bersikap legowo
dengan mendahulukan kepentingan umum, dari kepentingan
pribadi-kelompok-golongan. Semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 1 April 2015.
[1]
Penulis adalah PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, dapat berinteraksi melalui email: c4k124@rocketmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar