Jumat, 10 April 2015

Drama Ahok dan Legislatif

Drama Ahok dan Legislatif
Oleh: Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Pemerintahan Daerah DKI Jakarta telah menjadi episentrum hari-hari belakangan ini, berbagai “isu pemerintahan” telah silih berganti menjadi sorotan, hingga yang terus bergulir mengenai RAPBD DKI Jakarta 2015. Mengenai RAPBD, sudah menjadi rahasia umum, baik dilingkungan elite eksekutif – legislatif di daerah otonom, maupun dikalangan para pemerhati dan pengamat Pemerintahan Daerah, bahwa setiap di awal tahun berjalan akan adanya bargaining position (posisi tawar menawar) dalam rangka menyetujui sekaligus menyepakati RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).

Eksekutif – Legislatif (Relasi Pemerintahan Daerah)
Secara normatif, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintah yang diserahkan kepada Daerah sebagai fungsi-fungsi pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah (Kepala Daerah, beserta SKPD) – eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) – legislatif, yang merupakan lembaga pemerintahan daerah menurut asas desentralisasi.
Hal ini dapat ditelaah bahwa yang berwenang menyelenggarakan pemerintahan di daerah otonom, adalah Pemerintah Daerah dan DPRD. Pasca reformasi relasi antara eksekutif (Pemerintah Daerah) dan legislatif (DPRD) dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan Daerah telah memiliki kedudukan yang sama sejajar, artinya tidak ada satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya, sekaligus menganulir dikotomi “bahwa legislatif itu hanya berposisi sebagai rubber stamp (tukang stempel)”.
Berdasarkan paradigma tersebut, dalam konteks RAPBD Undang-Undang Pemerintahan Daerah  menyatakan bahwa Kepala Daerah mempunyai wewenang dan tugas: “menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama”. Serta masih dalam bingkai Undang-Undang Pemerintahan Daerah, bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang, tetapi tugas dan wewenang yang sesuai dengan konteks ini penulis menggarisbawahi  bahwa ada 3 (hal) yang menjadi kompetensi DPRD, yaitu: Pertama, membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama.  Kedua, membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah. Ketiga, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah.
Berdasarkan premis tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa dalam hal RAPBD, baik eksekutif (Kepala Daerah) maupun legislatif memiliki tugas dan wewenang yang sama. Dengan kata lain, RAPBD bukan semata-mata kompetensi bagi eksekutif atau legislatif saja, dengan demikian APBD merupakan hasil interaksi antara eksekutif dan legislatif.

Ahok di DKI Jakarta
Ahok di DKI Jakarta, begitu kiranya untuk mendeskripsikan sosok Gubernur (Kepala Daerah) yang fenomenal, sekaligus kontroversial jika dikomparasikan dengan Gubernur dari 33 Provinsi lainnya yang ada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penulis berasumsi sedemikian rupa bukan sesuatu yang berlebihan, karena didasari pada beberapa realita:
Pertama, Publik masih mengingat betul, ketika Ahok hendak dilantik sebagai Gubernur definitif DKI Jakarta, pada kesempatan yang sama ada sekolompok masyarakat yang tidak menerima kedudukan Ahok sebagai Gubernur, serta dengan lantang menyuarakan bahwa akan adanya “Gubernur tandingan” yang memimpin Ibukota Negara.
Kedua, Ahok dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri dengan tegas melepaskan partai pengusungnya pada pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012 yang lalu, hal ini dilakukan Ahok, tidak lama berselang paska ditetapkannya Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke 7 (tujuh). Perihal tersebut, terlepas adanya stigma bagi sebagian kalangan masyarakat yang menyuarakan bahwa Ahok senada dengan pepatah “kacang lupa kulitnya”. Akan tetapi penulis menelaah hal tersebut dari paradigma yang lain, karena kenyataannya tidak semua Kepala Daerah berani dan siap meninggalkan kelompok / partai politik pendukung yang telah mengantarkannya menjadi Kepala Daerah untuk daerah otonom tersebut.
Ketiga, Pada dasarnya Ahok juga telah mengkalkulasikan berbagai implikasi dampak dari meninggalkan kelompok / partai pendukung. Berdasarkan realita tersebut secara integral hampir tidak ada partai politik yang bersedia mengcounter berbagai kebijakan Ahok. Senada dengan adagium politik “tidak ada teman atau lawan yang kekal”, hal ini menjadi kenyataan ketika bergulirnya rencana eksekutif – legislatif untuk mengesahkan RAPBD DKI Jakarta Tahun 2015.
Perihal ini yang selanjutnya telah menjadi konsumsi publik, bahwa baik Ahok maupun DPRD DKI Jakarta telah saling tuding dan saling menyalahkan di berbagai media massa, terkait  “dana 12,1 Triliun dalam RAPBD DKI Jakarta Tahun 2015”. Pada satu sisi sudah selayaknya publik “mengacungi jempol” kepada Ahok, yang mana dengan tegas dan penuh keberanian telah merubah paradigma mengenai RAPBD. Akan tetapi, pada kesempatan yang sama, dari sudut pandang yang berbeda patut juga ditelaah, siapakah yang sebenarnya sedang bermain api ? eksekutif kah ? atau legislatif ?
Hal senada juga patut kita dorong kepada Kepala Daerah lainnya, baik itu Gubernur / Bupati / Walikota, agar senantiasa didalam proses pengesahan RAPBD pada daerah masing-masing, agar berani bersikap transparan dan akuntabel dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Lantas yang menjadi pertanyaan saat ini, mengapa hanya RAPBD DKI Jakarta yang menjadi sorotan ? apakah hal ini mengindikasikan bahwa RAPBD daerah otonom lainnya telah sesuai dengan S.O.P yang berlaku ? atau patut diduga, apakah eksekutif – legislatif daerah otonom lainnya sama-sama bermain “mata” mengenai RAPBD ?

Akhir dari Drama !
Jum’at, 20 Maret 2015, telah menjadi babak akhir dari drama yang bergulir mengenai RAPBD DKI Jakarta, sebagaimana yang diekspose berbagai media masa bahwa sebelumnya ada beberapa rangkaian peristiwa dalam rangka mengesahkan RAPBD, akan tetapi faktanya hal tersebut tampak menjadi sia-sia. Sebagaimana yang diketahui bahwa hari Jum’at tersebut telah menjadi deadline baik bagi eksekutif – legislatif DKI Jakarta untuk sepakat dan sependapat mengenai RAPBD 2015. Tidak tercapainya kata sepakat antara eksekutif – legislatif telah mengindikasikan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah DKI Jakarta Tahun 2015, akan menggunakan anggaran berdasarkan APBD Tahun 2014.
Menarik untuk ditelaah bahwa baik eksekutif – legislatif, telah mempertontonkan kepada publik masing-masing kekuatan. Sembari menyatakan pihak “kami” yang benar, dan pihak “sana” yang salah. Sikap tersebut patut dipertanyakan, apakah dengan adu kekuatan antara eksekutif – legislatif telah mencerminkan keberpihakan kepada rakyat ? bukankah eksekutif (Kepala Daerah) dan legislatif sama-sama dipilih oleh rakyat ? akan tetapi mengapa sama sekali seolah-olah tidak mampu untuk bermusyawarah dalam rangka menjalankan roda pemerintahan ? Mengenai RAPBD, esensinya yang paling berkepentingan adalah masyarakat setempat. Belajar dari pengalaman RAPBD DKI Jakarta, sudah sepatutnya baik eksekutif (Kepala Daerah) maupun legislatif daerah otonom lainnya,  sama-sama bersikap legowo dengan mendahulukan kepentingan umum, dari kepentingan pribadi-kelompok-golongan. Semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 1 April 2015.



[1]  Penulis adalah PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, dapat berinteraksi melalui email: c4k124@rocketmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar