Selasa, 31 Maret 2015

Mungkinkah Aceh Mengulang Sejarah ?

Mungkinkah Aceh Mengulang Sejarah ?
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Perihal Aceh, tidak dapat dipungkiri bahwa pada suatu masa sebahagian besar rakyat Aceh, telah menjadi bagian dari sejarah kelam peradaban. Dalam konteks tulisan ini, sejarah yang dimaknai sebagaimana ketika pada suatu masa adanya rasa “was-was” dan penuh kewaspadaan bagi segenap rakyat Aceh, di dalam menjalankan aktifitas sehari-hari, baik dalam menjalankan ibadah, transaksi ekonomi, penegakan hukum, maupun dalam menjalankan roda pemerintahan.
Maukah rakyat Aceh mengulang sejarah yang menakutkan tersebut ? Penulis berasumsi bahwa sebahagian besar rakyat Aceh dewasa ini sudah tidak ingin kembali ke dalam sejarah, yang menakutkan bagi seluruh lini kehidupan. Akan tetapi, mungkinkah Aceh mengulang sejarah bentrokan bersenjata antara rakyat Aceh dan aparat keamanan ?

Peristiwa Aceh Utara 
Sebagaimana yang telah menjadi sorotan publik, dan telah diekspose oleh berbagai media nasional, bahwasanya ada peristiwa yang terjadi di Aceh Utara yakni penemuan jenazah 2 (dua) anggota TNI, yang sebelumnya telah dikabarkan hilang. Pada dasarnya atas peristiwa tersebut wajib bersimpati dan berbelasungkawa. Namun demikian, dengan tidak bermaksud mendahului berbagai bentuk investigasi yang akan dilakukan, sejarah telah membuktikkan bahwa peristiwa tersebut, secara tidak langsung akan berpengaruh dengan situasi dan kondisi, sekaligus stabilitas keamanan yang terjadi di Aceh pada hari-hari yang akan datang.
Tulisan ini tidak bermaksud memiliki pretensi untuk memprovokasi berbagai pihak, tulisan ini memiliki paradigma seyogyanya bahwa Aceh tidak perlu mengulang berbagai macam bentuk sejarah yang sudah terjadi, dalam makna yang bersifat negatif. Sebagaimana yang disebutkan dalam pepatah lampau “sebodoh-bodohnya keledai tidak akan terjatuh pada lubang yang sama”.
M. Junus Melalatoa,  berpandangan dewasa ini penting untuk memahami sejarah Aceh, sebagaimana yang dinyatakan bahwa “…untuk memahami Aceh pada hari-hari ini tampaknya harus menoleh pada jejak-jejak masa lalu. Alasannya, setiap kali mau memahami Aceh dari sumber referensi selalu saja bersentuhan atau terkait dengan pengalaman indah atau suka-duka di masa lalu. Disisi lain, sejarah panjang kehidupan rakyat Aceh ditandai oleh berbagai peristiwa, terbebani oleh berbagai masalah sosial politik, yang diantaranya berimplikasi nasional dan bahkan internasional”. (Sardono W. Kusumo, 2005 : 2)

Ekspresi DI / TII dan Aceh Merdeka
Terlepas adanya peristiwa yang terjadi di Aceh Utara, sekedar merawat ingatan, tidak ada salahnya kembali mereview atas apa yang sudah terjadi pada kehidupan rakyat Aceh sebelumnya. Sebagaimana yang telah menjadi catatan sejarah, bahwa ketika rakyat Aceh mengekspresikan keinginannya yang turut melibatkan “adu” kekuatan fisik dengan aparat keamanan, sebagaimana yang dipelopori oleh Tgk M. Daud Beure’ueh – Periode 1953 dan Hasan Tiro – Periode 1976. (Lihat dalam M. Nur El Ibrahimy, 1986 : 1-2, dan Al Chaidar, 1999 : 143)
Seketika itu juga direspon oleh Pemerintah Republik Indonesia, ibarat bak gayung bersambut, Pemerintah turut melegitimasi berbagai tindakan fisik dalam rangka meredam gejolak yang terjadi di Aceh. Legitimasi berbagai tindakan fisik, dapat ditelaah diantaranya:
Pertama, Untuk menggempur pemberontak sampai hancur, Pemerintah Republik Indonesia telah menyatakan seluruh Aceh menjadi daerah “militaire bystand” sesuai dengan Keputusan Presiden No. 175 Tahun 1952. Serta untuk menghancurkan pemberontak, Pemerintah Republik Indonesia telah mengirim sebanyak 4 batalyon tentara dan 13 batalyon Mobrig ke dalam kancah peperangan di Aceh. Dalam usaha menjalankan politik kekerasan senjata ini, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa tugas tentara dalam penyelesaian Peristiwa Tgk M. Daud Beure’ueh ialah untuk memungkinkan Pemerintah Republik Indonesia mengadakan usaha kebijaksanaan bagi kepentingan rakyat Aceh khususnya dan rakyat Indonesia umumnya. Konsepsi Pemerintah ini didukung oleh partai-partai, seperti PNI, PKI, dan lain-lain partai Pemerintah. Serta disokong oleh golongan-golongan seperti BKR dan Perti. (M. Nur El Ibrahimy, 1986 : 163-166).
Kedua, Terkait latar belakang menerapkan DOM di Aceh, Neta S. Pane mengungkapkan bahwa hal ini berawal dari terjadinya perampasan 18 (delapan belas) pucuk senjata anggota TNI yang sedang melakukan program ABRI masuk desa (AMD), di kota makmur, Aceh Utara. Tahun 1989 tersebut seorang anggota Kopassus yang desertir berpangkat kopral, tiba-tiba muncul dan menyebut dirinya sebagai Panglima Perang GAM, kopral itu menyebut dirinya sebagai “Robert”. Selanjutnya, Gubernur Aceh ketika itu (Ibrahim Hasan) merasa terganggu akibat ulah GAM yang dimotori oleh Robert hingga ia melaporkan situasi daerahnya kepada Presiden Soeharto, saat itu juga Presiden memerintahkan Panglima ABRI (Try Sutrisno) agar mengendalikan situasi Aceh. Pada saat diklarifikasi oleh DPR Republik Indonesia pada awal Desember 1999, Try Sutrisno membantah, jika disebutkan di Aceh telah diberlakukan DOM, yang ada hanya “Operasi Jaring Merah” untuk menumpas gerakan pengacau keamanan Aceh Merdeka. (Neta S. Pane, 2001 : 172-174)

Penutup
Ibarat nasi telah menjadi bubur, semoga mengenai apa yang sudah terjadi di Aceh Utara, kiranya tidak menjadi persoalan yang melebar. Akan tetapi, Penting untuk menjadi pertanyaan rakyat Aceh saat ini, apakah motif yang sebenarnya atas peristiwa di Aceh Utara tersebut ? apakah murni sebatas kriminal ? atau apakah hal ini mengindikasikan terkait keamanan di Aceh yang bagaikan “api dalam sekam” ? lantas, siapakah atau pihak manakah yang sedang “bermain” di Aceh saat ini ? kemudian apakah rakyat Aceh tidak pernah belajar dari pengalaman sejarahnya ?
Melalui tulisan ini, seyogyanya kedamaian yang sudah berlangsung di Aceh paska lahirnya MoU Helsinki (2005 – 2015), dapat secara bersama-sama dijaga keutuhannya. Seluruh stakeholder dan seluruh rakyat Aceh hendaknya saling bahu membahu, dalam rangka menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif, aman, tentram, adil dan makmur. Oleh karena, mengacu pada perjalanan sejarah Aceh, isu keamanan merupakan isu yang “sensitif”, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kedepannya peristiwa Aceh Utara, dijadikan legitimasi oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali menerjunkan sejumlah personil aparat keamanan untuk “mengatasi” peristiwa yang terjadi. Berdasarkan paradigma tersebut, semoga Pemerintah Republik Indonesia pada hari-hari yang akan datang, dapat bersikap dengan arif dan bijaksana, khususnya dalam rangka menetapkan kebijakannya terkait keamanan di Aceh. Semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada harian Waspada, Senin 30 Maret 2015, dengan link  http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=42109:mungkinkah-aceh-mengulang-sejarah&catid=59:opini&Itemid=215


[1]  Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, bekerja sebagai PNS pada Pemkab Aceh Tamiang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar