Mungkinkah Aceh
Mengulang Sejarah ?
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Perihal
Aceh, tidak dapat dipungkiri bahwa pada suatu masa sebahagian besar rakyat
Aceh, telah menjadi bagian dari sejarah kelam peradaban. Dalam konteks tulisan
ini, sejarah yang dimaknai sebagaimana ketika pada suatu masa adanya rasa
“was-was” dan penuh kewaspadaan bagi segenap rakyat Aceh, di dalam menjalankan
aktifitas sehari-hari, baik dalam menjalankan ibadah, transaksi ekonomi,
penegakan hukum, maupun dalam menjalankan roda pemerintahan.
Maukah rakyat Aceh mengulang sejarah yang menakutkan
tersebut ? Penulis berasumsi bahwa sebahagian besar rakyat Aceh dewasa ini
sudah tidak ingin kembali ke dalam sejarah, yang menakutkan bagi seluruh lini
kehidupan. Akan tetapi, mungkinkah Aceh mengulang sejarah bentrokan bersenjata
antara rakyat Aceh dan aparat keamanan ?
Peristiwa Aceh Utara
Sebagaimana yang telah menjadi sorotan publik, dan
telah diekspose oleh berbagai media nasional, bahwasanya ada peristiwa yang
terjadi di Aceh Utara yakni penemuan jenazah 2 (dua) anggota TNI, yang
sebelumnya telah dikabarkan hilang. Pada dasarnya atas
peristiwa tersebut wajib bersimpati dan berbelasungkawa. Namun demikian, dengan tidak bermaksud mendahului berbagai bentuk
investigasi yang akan dilakukan, sejarah telah membuktikkan bahwa peristiwa
tersebut, secara tidak langsung akan berpengaruh dengan situasi dan kondisi,
sekaligus stabilitas keamanan yang terjadi di Aceh pada hari-hari yang akan
datang.
Tulisan ini tidak bermaksud memiliki pretensi untuk
memprovokasi berbagai pihak, tulisan ini memiliki paradigma seyogyanya bahwa
Aceh tidak perlu mengulang berbagai macam bentuk sejarah yang sudah terjadi,
dalam makna yang bersifat negatif. Sebagaimana yang disebutkan dalam pepatah
lampau “sebodoh-bodohnya keledai tidak
akan terjatuh pada lubang yang sama”.
M. Junus Melalatoa,
berpandangan dewasa ini penting untuk memahami sejarah Aceh, sebagaimana
yang dinyatakan bahwa “…untuk memahami Aceh pada hari-hari ini tampaknya harus
menoleh pada jejak-jejak masa lalu. Alasannya, setiap kali mau memahami Aceh
dari sumber referensi selalu saja bersentuhan atau terkait dengan pengalaman
indah atau suka-duka di masa lalu. Disisi lain, sejarah panjang kehidupan
rakyat Aceh ditandai oleh berbagai peristiwa, terbebani oleh berbagai masalah
sosial politik, yang diantaranya berimplikasi nasional dan bahkan
internasional”. (Sardono W. Kusumo, 2005 : 2)
Ekspresi DI / TII dan Aceh
Merdeka
Terlepas adanya peristiwa yang terjadi di Aceh Utara,
sekedar merawat ingatan, tidak ada salahnya kembali mereview atas apa yang
sudah terjadi pada kehidupan rakyat Aceh sebelumnya. Sebagaimana yang telah
menjadi catatan sejarah, bahwa ketika rakyat Aceh mengekspresikan keinginannya
yang turut melibatkan “adu” kekuatan fisik dengan aparat keamanan, sebagaimana
yang dipelopori oleh Tgk M. Daud Beure’ueh – Periode 1953 dan Hasan Tiro –
Periode 1976. (Lihat dalam M. Nur El Ibrahimy, 1986 : 1-2, dan Al Chaidar, 1999
: 143)
Seketika itu juga direspon oleh Pemerintah Republik
Indonesia, ibarat bak gayung bersambut, Pemerintah turut melegitimasi berbagai
tindakan fisik dalam rangka meredam gejolak yang terjadi di Aceh. Legitimasi
berbagai tindakan fisik, dapat ditelaah diantaranya:
Pertama, Untuk menggempur pemberontak sampai hancur,
Pemerintah Republik Indonesia telah menyatakan seluruh Aceh menjadi daerah “militaire bystand” sesuai dengan
Keputusan Presiden No. 175 Tahun 1952. Serta untuk menghancurkan pemberontak,
Pemerintah Republik Indonesia telah mengirim sebanyak 4 batalyon tentara dan 13
batalyon Mobrig ke dalam kancah peperangan di Aceh. Dalam usaha menjalankan
politik kekerasan senjata ini, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa
tugas tentara dalam penyelesaian Peristiwa Tgk M. Daud Beure’ueh ialah untuk
memungkinkan Pemerintah Republik Indonesia mengadakan usaha kebijaksanaan bagi
kepentingan rakyat Aceh khususnya dan rakyat Indonesia umumnya. Konsepsi
Pemerintah ini didukung oleh partai-partai, seperti PNI, PKI, dan lain-lain
partai Pemerintah. Serta disokong oleh golongan-golongan seperti BKR dan Perti.
(M.
Nur El Ibrahimy, 1986 :
163-166).
Kedua, Terkait latar belakang menerapkan DOM di Aceh, Neta
S. Pane mengungkapkan bahwa hal ini berawal dari terjadinya perampasan 18
(delapan belas) pucuk senjata anggota TNI yang sedang melakukan program ABRI
masuk desa (AMD), di kota makmur, Aceh Utara. Tahun 1989 tersebut seorang
anggota Kopassus yang desertir berpangkat kopral, tiba-tiba muncul dan menyebut
dirinya sebagai Panglima Perang GAM, kopral itu menyebut dirinya sebagai
“Robert”. Selanjutnya, Gubernur Aceh ketika itu (Ibrahim Hasan) merasa
terganggu akibat ulah GAM yang dimotori oleh Robert hingga ia melaporkan
situasi daerahnya kepada Presiden Soeharto, saat itu juga Presiden
memerintahkan Panglima ABRI (Try Sutrisno) agar mengendalikan situasi Aceh. Pada
saat diklarifikasi oleh DPR Republik Indonesia pada awal Desember 1999, Try
Sutrisno membantah, jika disebutkan di Aceh telah diberlakukan DOM, yang ada
hanya “Operasi Jaring Merah” untuk menumpas gerakan pengacau keamanan Aceh
Merdeka. (Neta S. Pane, 2001 : 172-174)
Penutup
Ibarat nasi telah menjadi bubur, semoga mengenai apa
yang sudah terjadi di Aceh Utara, kiranya tidak menjadi persoalan yang melebar.
Akan tetapi, Penting untuk menjadi pertanyaan rakyat Aceh saat ini, apakah
motif yang sebenarnya atas peristiwa di Aceh Utara tersebut ? apakah murni
sebatas kriminal ? atau apakah hal ini mengindikasikan terkait keamanan di Aceh
yang bagaikan “api dalam sekam” ? lantas, siapakah atau pihak manakah yang
sedang “bermain” di Aceh saat ini ? kemudian apakah rakyat Aceh tidak pernah
belajar dari pengalaman sejarahnya ?
Melalui tulisan ini, seyogyanya kedamaian yang sudah
berlangsung di Aceh paska lahirnya MoU Helsinki (2005 – 2015), dapat secara
bersama-sama dijaga keutuhannya. Seluruh stakeholder
dan seluruh rakyat Aceh hendaknya saling bahu membahu, dalam rangka menciptakan
situasi dan kondisi yang kondusif, aman, tentram, adil dan makmur. Oleh karena,
mengacu pada perjalanan sejarah Aceh, isu keamanan merupakan isu yang
“sensitif”, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kedepannya peristiwa Aceh
Utara, dijadikan legitimasi oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali
menerjunkan sejumlah personil aparat keamanan untuk “mengatasi” peristiwa yang
terjadi. Berdasarkan paradigma tersebut, semoga Pemerintah Republik Indonesia
pada hari-hari yang akan datang, dapat bersikap dengan arif dan bijaksana,
khususnya dalam rangka menetapkan kebijakannya terkait keamanan di Aceh. Semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada harian Waspada, Senin 30 Maret 2015, dengan link http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=42109:mungkinkah-aceh-mengulang-sejarah&catid=59:opini&Itemid=215
[1]
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, bekerja sebagai
PNS pada Pemkab Aceh Tamiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar