Sabtu, 21 Maret 2015

Tiada Hari Tanpa Hukum

Tiada Hari Tanpa Hukum
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalui Konstitusinya telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum terbukti dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pernah (suatu masa) dengan tegas dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka”. Selanjutnya konsep negara hukum Indonesia yang diamanatkan melalui Konstitusi, khususnya Pasal 1 (3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Paradigma bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, secara tidak langsung telah mengindikasikan bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, wajib berpedoman berdasarkan hukum khususnya baik itu nilai, asas, dan norma hukum. Lantas yang patut dipertanyakan, sudahkah penyelenggaraan pemerintahan dalam mencapai tujuan bernegara dan bermasyarakat, berpedoman dan berdasarkan hukum ? atau, apakah saat ini Indonesia adalah negara hukum hanya sebatas lips service semata ?

Refleksi Hukum   
Menurut pandangan JJ.H.Bruggink bahwa hukum itu sebagai ilmu, dengan landasan bahwa di dalam hukum menggunakan teori kebenaran pragmatik, serta menerapkan metode deduksi, oleh karenanya hukum itu adalah ilmu hukum normatif. (JJ.H.Bruggink, 2011 : 184 – 189). Berdasarkan hukum adalah ilmu, melekat tugas dari ilmu, yaitu: Pertama, menggambarkan secara jelas dan cermat hal-hal yang dipersoalkan. Kedua, menerangkan kondisi-kondisi yang mendasari peristiwa. Ketiga, menyusun teori. Keempat, membuat prediksi. Kelima, melakukan pengendalian dan pengarahan. (Sunaryati Hartono, 2006 : 102)
Seyogyanya ketika hukum telah dipahami sebagai ilmu, keberadaan hukum dapat secara nyata dirasakan oleh segenap masyarakat, karena hukum itu tidak hanya berisikan berbagai teori dan aturan, tetapi semestinya mampu memprediksi dan sekaligus mengarahkan masyarakat. Pada kesempatan yang sama, patut juga ditelaah bahwa dalam hukum melekat hakekat ilmu, baik itu ontologi, epistemologi, sekaligus aksiologi.
Menelaah hal tersebut, tepat kiranya jika Auguste Comte menyatakan bahwa “savoir pour prevoir, preveir pour prevenir” (dengan mengetahui kita dapat meramalkan, dan karena kita dapat meramalkan kita dapat mencegah bahaya). Dalam konteks hukum, dapat dipahami bahwa dengan mengetahui hukum, sudah sepatutnya menghindarkan dari perbuatan-perbuatan melawan hukum. Bukan justru sebaliknya, yang dapat diamati dewasa ini bahwa dengan mengetahui hukum, dapat melawan hukum.

Refleksi Realita
Manusia sebagai salah satu subjek hukum dalam kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan tidak mungkin melepaskan dirinya dalam hukum. Berdasarkan paradigma tersebut, dapat dipahami bahwa seluruh subjek hukum mau tidak mau, telah melekat pada dirinya hak dan kewajiban dalam hukum. Di pihak lain, perihal tersebut mengindikasikan bahwa “semestinya” seluruh subjek hukum berkedudukan sama dimata hukum. Sehingga pada hakikatnya penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat dapat saling menjaga relasi sesama subjek hukum.
Realitanya, sebagaimana yang telah menjadi konsumsi publik bahwa media masa selalu saja mengekspose adanya berbagai macam bentuk perbuatan yang patut diduga melawan hukum. Bahkan lebih miris lagi, jika yang melakukan perbuatan yang patut diduga melawan hukum adalah subjek hukum yang dipandang cakap hukum. Hal ini yang menjadi pertanyaan publik, Mengapa subjek hukum yang dipandang telah cakap hukum, akan tetapi melakukan perbuatan yang patut diduga melawan hukum ?
Pada sisi yang lain, berbagai perihal pemberitaan oleh media masa menunjukkan bahwa isu hukum adalah isu yang “seksi”. Sehingga dalam konteks ini, bukan sesuatu yang keliru kiranya jika mengutip adagium lampau, yaitu juris ingnorantia nocet, facti non nocet” (tidak mengenal hukum adalah rugi, tetapi tidak mengenal fakta adalah biasa).

Refleksi Bernegara dan Bermasyarakat
Dalam konteks bernegara dan bermasyarakat, senada dengan pandangan Mahfud M.D yang menyatakan bahwa hukum dan politik akan saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat melalui 3 (tiga) faktor, diantaranya: Pertama, Hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, Politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan, berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. (Mahfud M.D, 2011 : 16)
Mahfud M.D  juga menerangkan bahwa korelasi antara hukum dan politik,  diantaranya: Pertama, Konfigurasi politik demokratis, yakni konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara. Kedua, Konfigurasi politik otoriter, yakni konfigurasi yang menempatkan Pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragresi dan terartikulasi secara proporsional. Ketiga, Produk hukum responsif/otonom, yakni produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Keempat, Produk hukum konservatif/ortodoks, yakni produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatnya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. (Mahfud M.D, 2011 : 64)
Berdasarkan premis tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum tidak berdiri sendiri, karena hukum hanya berkedudukan sebagai salah satu entitas dari khazanah keilmuan. Pada kesempatan ini penulis menganalogikan dengan 2 (dua) sisi mata uang, disatu sisi adalah hukum dan disisi lainnya adalah politik. Oleh karenanya penulis menghimbau para aktor politik, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, sudi kiranya dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara dan bermasyarakat, agar mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi – kelompok – golongan, sehingga dapat menghindarkan dari perbuatan yang patut diduga melawan hukum. Semoga!

Tulisan ini juga dimuat pada harian Waspada, Kamis 19 Maret 2015, dengan link: http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41892:tiada-hari-tanpa-hukum&catid=59:opini&Itemid=215


[1]  Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, bekerja sebagai PNS pada Pemkab Aceh Tamiang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar