Tiada Hari Tanpa
Hukum
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalui
Konstitusinya telah mendeklarasikan diri sebagai
negara hukum terbukti dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pernah (suatu masa) dengan tegas
dinyatakan bahwa
“Indonesia adalah negara
yang berdasarkan atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka”. Selanjutnya konsep negara hukum Indonesia yang diamanatkan melalui Konstitusi,
khususnya Pasal 1 (3) menyatakan bahwa “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”.
Paradigma bahwa negara Indonesia adalah negara hukum,
secara tidak langsung telah mengindikasikan bahwa dalam penyelenggaraan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat, wajib berpedoman berdasarkan hukum
khususnya baik itu nilai, asas, dan norma hukum. Lantas yang patut
dipertanyakan, sudahkah penyelenggaraan pemerintahan dalam mencapai tujuan bernegara
dan bermasyarakat, berpedoman dan berdasarkan hukum ? atau, apakah saat ini
Indonesia adalah negara hukum hanya sebatas lips
service semata ?
Refleksi Hukum
Menurut pandangan JJ.H.Bruggink bahwa hukum itu
sebagai ilmu, dengan landasan bahwa di dalam hukum menggunakan teori kebenaran
pragmatik, serta menerapkan metode deduksi, oleh karenanya hukum itu adalah
ilmu hukum normatif. (JJ.H.Bruggink, 2011 : 184 – 189). Berdasarkan hukum
adalah ilmu, melekat tugas dari ilmu, yaitu: Pertama, menggambarkan secara jelas dan cermat hal-hal yang
dipersoalkan. Kedua, menerangkan
kondisi-kondisi yang mendasari peristiwa. Ketiga,
menyusun teori. Keempat, membuat
prediksi. Kelima, melakukan
pengendalian dan pengarahan. (Sunaryati Hartono, 2006 : 102)
Seyogyanya ketika hukum telah dipahami sebagai ilmu, keberadaan
hukum dapat secara nyata dirasakan oleh segenap masyarakat, karena hukum itu
tidak hanya berisikan berbagai teori dan aturan, tetapi semestinya mampu
memprediksi dan sekaligus mengarahkan masyarakat. Pada kesempatan yang sama, patut
juga ditelaah bahwa dalam hukum melekat hakekat ilmu, baik itu ontologi, epistemologi, sekaligus aksiologi.
Menelaah hal tersebut, tepat kiranya jika Auguste
Comte menyatakan bahwa “savoir pour
prevoir, preveir pour prevenir” (dengan mengetahui kita dapat meramalkan,
dan karena kita dapat meramalkan kita dapat mencegah bahaya). Dalam konteks
hukum, dapat dipahami bahwa dengan mengetahui hukum, sudah sepatutnya
menghindarkan dari perbuatan-perbuatan melawan hukum. Bukan justru sebaliknya, yang
dapat diamati dewasa ini bahwa dengan mengetahui hukum, dapat melawan hukum.
Refleksi Realita
Manusia sebagai salah satu subjek hukum
dalam kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan tidak mungkin melepaskan dirinya
dalam hukum. Berdasarkan paradigma tersebut, dapat dipahami bahwa seluruh
subjek hukum mau tidak mau, telah melekat pada dirinya hak dan kewajiban dalam
hukum. Di pihak lain, perihal tersebut mengindikasikan bahwa “semestinya”
seluruh subjek hukum berkedudukan sama dimata hukum. Sehingga pada hakikatnya
penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat dapat saling menjaga
relasi sesama subjek hukum.
Realitanya, sebagaimana yang telah menjadi
konsumsi publik bahwa media masa selalu saja mengekspose adanya berbagai macam
bentuk perbuatan yang patut diduga melawan hukum. Bahkan lebih miris lagi, jika
yang melakukan perbuatan yang patut diduga melawan hukum adalah subjek hukum
yang dipandang cakap hukum. Hal ini yang menjadi pertanyaan publik, Mengapa
subjek hukum yang dipandang telah cakap hukum, akan tetapi melakukan perbuatan
yang patut diduga melawan hukum ?
Pada sisi yang lain, berbagai perihal pemberitaan
oleh media masa menunjukkan bahwa isu hukum adalah isu yang “seksi”. Sehingga dalam
konteks ini, bukan sesuatu yang keliru kiranya jika mengutip adagium lampau,
yaitu “juris ingnorantia nocet, facti non nocet”
(tidak mengenal hukum adalah rugi, tetapi tidak mengenal fakta adalah biasa).
Refleksi Bernegara dan
Bermasyarakat
Dalam konteks bernegara dan bermasyarakat, senada
dengan pandangan Mahfud M.D yang menyatakan bahwa hukum dan politik akan saling
mempengaruhi, hal ini dapat dilihat melalui 3 (tiga) faktor, diantaranya: Pertama, Hukum determinan atas politik,
dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada
aturan-aturan hukum. Kedua, Politik
determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling
bersaingan. Ketiga, Hukum dan politik
sebagai subsistem kemasyarakatan, berada pada posisi yang derajat
determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun
hukum produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan
politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. (Mahfud M.D, 2011 : 16)
Mahfud M.D juga
menerangkan bahwa korelasi antara hukum dan politik, diantaranya: Pertama, Konfigurasi politik demokratis, yakni konfigurasi yang
membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut
aktif menentukan kebijakan negara. Kedua,
Konfigurasi politik otoriter, yakni konfigurasi yang menempatkan Pemerintah
pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam
penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi
masyarakat tidak teragresi dan terartikulasi secara proporsional. Ketiga, Produk hukum responsif/otonom,
yakni produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas
tuntutan-tuntutan individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat
sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Keempat, Produk hukum
konservatif/ortodoks, yakni produk hukum yang karakternya mencerminkan visi
politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatnya tidak mengundang
partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. (Mahfud M.D, 2011 :
64)
Berdasarkan premis tersebut dapat disimpulkan bahwa
hukum tidak berdiri sendiri, karena hukum hanya berkedudukan sebagai salah satu
entitas dari khazanah keilmuan. Pada kesempatan ini penulis menganalogikan
dengan 2 (dua) sisi mata uang, disatu sisi adalah hukum dan disisi lainnya
adalah politik. Oleh karenanya penulis menghimbau para aktor politik, baik yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung, sudi kiranya dalam rangka menyelenggarakan
pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara dan bermasyarakat, agar
mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi – kelompok – golongan,
sehingga dapat menghindarkan dari perbuatan yang patut diduga melawan hukum. Semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada harian Waspada, Kamis 19 Maret 2015, dengan link: http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41892:tiada-hari-tanpa-hukum&catid=59:opini&Itemid=215
[1]
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, bekerja sebagai
PNS pada Pemkab Aceh Tamiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar