Senin, 16 Maret 2015

KPK Mengaku Kalah

KPK Mengaku Kalah !
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

KPK mengaku kalah, begitulah kira-kira untuk mendeskripsikan headline berita di Harian Waspada, Selasa 3 Maret 2015, yang berjudul “KPK Ngaku Kalah Kepada BG”. Bukan hal yang keliru ketika media masa menampilkan headline berita yang sedemikian rupa, karena hal ini didasari atas statement Taufiqurrachman Ruqi (Plt Ketua KPK) ketika berlangsungnya press conference di gedung KPK, secara tegas Plt Ketua KPK menyatakan bahwa “KPK Ngaku Kalah” dan kasus BG akan dilimpahkan kepada lembaga Kejaksaan Agung.
Hal tersebut yang selanjutnya disambut oleh publik dengan berbagai pro dan kontra, berbagai argumentasi dibangun untuk mendasari keputusan melimpahkan kasus BG. Dalam hal tersebut tulisan ini memiliki paradigma semoga hukum tidak hanya dijadikan sebagai alat kekuasan, pada kesempatan yang lain seyogyanya hukum tidak boleh dijadikan sebagai sarana permusyawaratan dalam mencapai mufakat, sehingga hukum semestinya dijadikan sebagai panglima.

BG, Luar Biasa 
Penulis mencatat bahwa statement yang disampaikan oleh Plt Ketua KPK, terkait dengan mengaku kalah sekaligus pelimpahan kasus BG, telah menjadikan statement tersebut sebagai lokomotif sejarah khususnya mengenai eksistensi lembaga KPK, tidak dapat dipungkiri KPK jilid 1 (dibawah pimpinan Taufiqurrachman Ruqi) dinilai publik telah mengungguli lembaga penegak hukum lain, sekaligus telah memiliki trust dari publik khususnya dalam rangka penindakan dan pemberantasan tindak pidana Korupsi.
Turun gunungnya Taufiqurrachman Ruqi (sebagai Plt Ketua KPK) ternyata tidak seperti ekspektasi yang dibayangkan publik, yang mana publik tentu mengidamkan bahwa KPK akan tetap “disegani” oleh pihak-pihak yang patut diduga terindikasi korupsi. Akan tetapi, de facto justru dengan adanya pimpinan baru, KPK secara tegas melalui komisionernya khusus untuk kasus BG diibaratkan “mengangkat bendera putih”.
Tidak salah lagi, dapat diasumsikan bahwa BG merupakan person pertama yang berhasil membuat KPK “bertekuk lutut”. Pada kesempatan ini, yang menjadi pertanyaan publik apakah KPK mengaku kalah kepada BG murni atas pertimbangan hukum ? atau patut diduga apakah KPK mengaku kalah karena ada intervensi sekaligus konspirasi ? lantas, siapakah yang mampu mengikuti jejak langkah BG selanjutnya ?
Terlepas dari semua friksi yang terjadi, BG telah menjadi episentrum publik hari-hari belakangan ini, tidak terbilang oleh jari betapa banyak baik praktisi maupun pengamat hukum yang telah terlibat dalam “isu” kasus BG, baik yang telah diekspose di media televisi, elektronik, maupun media cetak. Sampai dengan yang terkini kebijakan KPK untuk melimpahkan perihal kasus BG.

Pro dan Kontra
Statement Plt Ketua KPK, ternyata tidak serta merta dapat meredam hegemoni publik yang mengikuti kasus BG, sampai dengan hal yang terkini penulis mencatat bahwa khususnya praktisi hukum telah menanggapi perihal tersebut dengan pro dan kontra.  Diantara pro dan kontra tersebut, Junimart Girsang berpandangan bahwa “… KPK tidak punya kewenangan untuk melimpahkan kasus persoalan BG tersebut kepada instansi penegak hukum manapun.” (Waspada, Rabu 4 Maret 2015 : A7)
Pada kesempatan yang sama, tidak lama berselang paska press conference yang menyatakan KPK mengaku kalah, juga terlihat adanya aksi yang dilakukan oleh para pegawai/staff lembaga KPK dalam rangka menyatakan pendapatnya bahwa tidak sependapat atas sikap yang diambil oleh komisioner KPK. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa di dalam lembaga KPK saat ini, tidak terdapat sinergitas antara para komisioner dengan para pegawai/staff KPK.
Senada dengan berbagai pro dan kontra, redaksi waspada memilih tajuk rencana yang berjudul “KPK Pecundang di Bawah Kepemimpinan Ruki cs”. Dalam hal ini yang pada intinya menyatakan bahwa “… Begitu Ruki masuk, KPK langsung melemah sehingga menjadi pecundang. Ruki dinilai terlalu banyak mengalah pada kehendak pimpinan Polri. KPK dibawah pimpinan Ruki memang terasa beda dengan KPK sebelumnya yang berani menantang maut. KPK dulu tegas dan berani melawan elite politik dan kekuasaan, tanpa kompromi melawan jaringan koruptor, sementara dibawah kepemimpinan Ruki KPK kehilangan taji.” (Waspada, Rabu 4 Maret 2015 : B6)
Melihat realita yang terjadi, maka patut ditelaah berdasarkan paradigma bagaimanakah wibawa KPK paska terjadinya berbagai peristiwa yang dialami ? dan masih mampukah KPK menjawab berbagai ekspektasi publik terkait tindak pidana korupsi ? serta apakah keberadaan KPK masih dipandang cukup signifikan sebagai salah satu lembaga penegak hukum ? atau apakah lembaga penegak hukum yang lain sudah menemukan jati diri sekaligus memiliki integritas untuk menyelesaikan kasus yang dianggap berkelas “kakap” ? sehingga apakah keberadaan KPK sudah tidak diperlukan lagi, sebagaimana spirit lahirnya lembaga KPK ?

Tajam Ke Bawah, Tumpul Ke Atas
Melihat berbagai realita yang terjadi akhir-akhir ini, penulis dan publik tentunya mempertanyakan dimanakah peran Joko Widodo sebagai Presiden RI ke 7 ? oleh karena, Joko Widodo dalam konteks tulisan ini tidak hanya berposisi sebagai Kepala Pemerintahan, tetapi juga berposisi sebagai Kepala Negara. Pada kesempatan yang sama, bukankah Joko Widodo mengkampanyekan ingin menjadikan KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ? serta apakah melalui cara-cara sperti ini telah mendorong KPK menjadi garda terdepan dalam penanganan tindak pidana korupsi ?
Jangan sampai publik memiliki stigmatisasi bahwa benar hukum itu diibaratkan sebagai sebuah “pisau” yang mana hanya tajam dan digunakan untuk masyarakat kelas bawah, tetapi tumpul dan tak berdaya ketika menghadapi masyarakat kelas atas, atau para petinggi negara. Senada dengan pepatah lama yang menyatakan “Gajah berjuang sama gajah, pelanduk mati ditengah-tengah” yang dapat dipahami bahwa ketika orang-orang “besar” berselisih, maka orang-orang “kecil” yang menjadi korban.
Tidak dapat dihindari, paska pelimpahan kasus BG telah menjadi bahan “ujian” yang ditujukan publik kepada institusi Kejaksaan dan Kepolisian, oleh karenanya melalui tulisan ini penulis menghimbau bahwa mari sama-sama  kita kawal penyelesaiannya baik itu pada lembaga Kejaksaan maupun Kepolisian, sekaligus menaruh harapan kepada kedua institusi tersebut dalam menyelesaikan kasus tersebut dapat bersikap secara netral, serta independen dan transparan. semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada harian Waspada, Rabu 11 Maret 2015 


[1]  Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, bekerja sebagai PNS pada Pemkab Aceh Tamiang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar