KPK Mengaku
Kalah !
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
KPK mengaku kalah, begitulah kira-kira untuk
mendeskripsikan headline berita di Harian Waspada, Selasa 3 Maret 2015, yang
berjudul “KPK Ngaku Kalah Kepada BG”. Bukan hal yang keliru ketika media masa
menampilkan headline berita yang sedemikian rupa, karena hal ini didasari atas statement Taufiqurrachman Ruqi (Plt
Ketua KPK) ketika berlangsungnya press
conference di gedung KPK, secara tegas Plt Ketua KPK menyatakan bahwa “KPK Ngaku
Kalah” dan kasus BG akan dilimpahkan kepada lembaga Kejaksaan Agung.
Hal tersebut yang selanjutnya disambut oleh publik
dengan berbagai pro dan kontra, berbagai argumentasi dibangun untuk mendasari
keputusan melimpahkan kasus BG. Dalam hal tersebut tulisan ini memiliki
paradigma semoga hukum tidak hanya dijadikan sebagai alat kekuasan, pada
kesempatan yang lain seyogyanya hukum tidak boleh dijadikan sebagai sarana
permusyawaratan dalam mencapai mufakat, sehingga hukum semestinya dijadikan
sebagai panglima.
BG, Luar Biasa
Penulis mencatat bahwa statement yang disampaikan oleh Plt Ketua KPK, terkait dengan
mengaku kalah sekaligus pelimpahan kasus BG, telah menjadikan statement tersebut sebagai lokomotif
sejarah khususnya mengenai eksistensi lembaga KPK, tidak dapat dipungkiri KPK jilid
1 (dibawah pimpinan Taufiqurrachman Ruqi) dinilai publik telah mengungguli lembaga
penegak hukum lain, sekaligus telah memiliki trust dari publik khususnya dalam rangka penindakan dan
pemberantasan tindak pidana Korupsi.
Turun gunungnya Taufiqurrachman Ruqi (sebagai Plt
Ketua KPK) ternyata tidak seperti ekspektasi yang dibayangkan publik, yang mana
publik tentu mengidamkan bahwa KPK akan tetap “disegani” oleh pihak-pihak yang
patut diduga terindikasi korupsi. Akan tetapi, de facto justru dengan adanya pimpinan baru, KPK secara tegas
melalui komisionernya khusus untuk kasus BG diibaratkan “mengangkat bendera
putih”.
Tidak salah lagi, dapat diasumsikan bahwa BG merupakan
person pertama yang berhasil membuat
KPK “bertekuk lutut”. Pada kesempatan ini, yang menjadi pertanyaan publik
apakah KPK mengaku kalah kepada BG murni atas pertimbangan hukum ? atau patut
diduga apakah KPK mengaku kalah karena ada intervensi sekaligus konspirasi ?
lantas, siapakah yang mampu mengikuti jejak langkah BG selanjutnya ?
Terlepas dari semua friksi yang terjadi, BG telah
menjadi episentrum publik hari-hari belakangan ini, tidak terbilang oleh jari
betapa banyak baik praktisi maupun pengamat hukum yang telah terlibat dalam
“isu” kasus BG, baik yang telah diekspose di media televisi, elektronik, maupun
media cetak. Sampai dengan yang terkini kebijakan KPK untuk melimpahkan perihal
kasus BG.
Pro dan Kontra
Statement Plt Ketua KPK, ternyata tidak serta merta dapat
meredam hegemoni publik yang mengikuti kasus BG, sampai dengan hal yang terkini
penulis mencatat bahwa khususnya praktisi hukum telah menanggapi perihal
tersebut dengan pro dan kontra. Diantara
pro dan kontra tersebut, Junimart Girsang berpandangan bahwa “… KPK tidak punya
kewenangan untuk melimpahkan kasus persoalan BG tersebut kepada instansi
penegak hukum manapun.” (Waspada, Rabu 4 Maret 2015 : A7)
Pada kesempatan yang sama, tidak lama berselang paska press conference yang menyatakan KPK
mengaku kalah, juga terlihat adanya aksi yang dilakukan oleh para pegawai/staff
lembaga KPK dalam rangka menyatakan pendapatnya bahwa tidak sependapat atas
sikap yang diambil oleh komisioner KPK. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa
di dalam lembaga KPK saat ini, tidak terdapat sinergitas antara para komisioner
dengan para pegawai/staff KPK.
Senada dengan berbagai pro dan kontra, redaksi waspada
memilih tajuk rencana yang berjudul “KPK Pecundang di Bawah Kepemimpinan Ruki
cs”. Dalam hal ini yang pada intinya menyatakan bahwa “… Begitu Ruki masuk, KPK
langsung melemah sehingga menjadi pecundang. Ruki dinilai terlalu banyak
mengalah pada kehendak pimpinan Polri. KPK dibawah pimpinan Ruki memang terasa
beda dengan KPK sebelumnya yang berani menantang maut. KPK dulu tegas dan
berani melawan elite politik dan kekuasaan, tanpa kompromi melawan jaringan
koruptor, sementara dibawah kepemimpinan Ruki KPK kehilangan taji.” (Waspada,
Rabu 4 Maret 2015 : B6)
Melihat realita yang terjadi, maka patut ditelaah
berdasarkan paradigma bagaimanakah wibawa KPK paska terjadinya berbagai
peristiwa yang dialami ? dan masih mampukah KPK menjawab berbagai ekspektasi
publik terkait tindak pidana korupsi ? serta apakah keberadaan KPK masih
dipandang cukup signifikan sebagai salah satu lembaga penegak hukum ? atau
apakah lembaga penegak hukum yang lain sudah menemukan jati diri sekaligus
memiliki integritas untuk menyelesaikan kasus yang dianggap berkelas “kakap” ?
sehingga apakah keberadaan KPK sudah tidak diperlukan lagi, sebagaimana spirit
lahirnya lembaga KPK ?
Tajam Ke Bawah, Tumpul Ke
Atas
Melihat berbagai realita yang terjadi akhir-akhir ini,
penulis dan publik tentunya mempertanyakan dimanakah peran Joko Widodo sebagai
Presiden RI ke 7 ? oleh karena, Joko Widodo dalam konteks tulisan ini tidak
hanya berposisi sebagai Kepala Pemerintahan, tetapi juga berposisi sebagai
Kepala Negara. Pada kesempatan yang sama, bukankah Joko Widodo mengkampanyekan
ingin menjadikan KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi ? serta apakah melalui cara-cara sperti ini telah mendorong KPK menjadi
garda terdepan dalam penanganan tindak pidana korupsi ?
Jangan sampai publik memiliki stigmatisasi bahwa benar
hukum itu diibaratkan sebagai sebuah “pisau” yang mana hanya tajam dan
digunakan untuk masyarakat kelas bawah, tetapi tumpul dan tak berdaya ketika
menghadapi masyarakat kelas atas, atau para petinggi negara. Senada dengan
pepatah lama yang menyatakan “Gajah berjuang sama gajah, pelanduk mati
ditengah-tengah” yang dapat dipahami bahwa ketika orang-orang “besar”
berselisih, maka orang-orang “kecil” yang menjadi korban.
Tidak dapat dihindari, paska pelimpahan kasus BG telah
menjadi bahan “ujian” yang ditujukan publik kepada institusi Kejaksaan dan
Kepolisian, oleh karenanya melalui tulisan ini penulis menghimbau bahwa mari
sama-sama kita kawal penyelesaiannya baik
itu pada lembaga Kejaksaan maupun Kepolisian, sekaligus menaruh harapan kepada
kedua institusi tersebut dalam menyelesaikan kasus tersebut dapat bersikap
secara netral, serta independen dan transparan. semoga!
Tulisan ini juga dimuat pada harian Waspada, Rabu 11 Maret 2015
[1]
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, bekerja sebagai
PNS pada Pemkab Aceh Tamiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar