Fenomena “Noda”
Masa Lampau
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Beberapa waktu yang lalu publik masih mengingat betul
adanya pariwara di media televisi, yang hangat dengan tagline nya “jangan takut
kotor, dan berani kotor itu baik”. Dapat dipahami bahwa tagline tersebut ingin
memberikan apresiasi dalam konteks kehidupan, agar sebagai seorang makhluk
sosial setiap individu manusia, berani untuk bertindak dan berbuat sesuatu
dalam menunjang kreativitas dirinya. Dengan demikian, diharapkan manusia pada
satu sisi tidak tersandera dengan proses
kegiatan yang menimbulkan noda / kotor.
Tulisan ini memiliki paradigma yang berbeda dengan
tagline “jangan takut kotor, dan berani kotor itu baik”, khususnya bagi segenap
manusia yang memiliki visi untuk penyelenggaraaan negara. Oleh karena dalam
menyelenggarakan negara, ternyata dibutuhkan manusia-manusia yang dipandang
cukup “bersih” dari noda, baik dari noda masa lampau maupun noda di masa
sekarang.
Fenomena Saat Ini
Dalam rangka menyatukan persepsi, Kamus Besar Bahasa
Indonesia mendefinisikan fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan
pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Adapun noda
didefinisikan sebagai noktah yang menyebabkan kotor. (Depdiknas, 2012 : 390 dan
965)
Berdasarkan definisi tersebut di awal Tahun 2015
banyak fenomena menarik yang dapat ditelaah sekaligus dipahami, khususnya dalam
rangka penyelenggaraan negara. Diantaranya dapat direview ketika para penyelenggara negara mengalami berbagai
peristiwa hukum, dengan indikasi noda yang ditimbulkan pada masa lampau.
Sebagaimana yang diekspose oleh berbagai media masa, dimulai dari kasus BG, BW,
AS, AP, hingga yang terkini adanya indikasi penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh CH dan JB (mantan komisioner, dan mantan jubir KPK).
Menjadi menarik untuk ditelaah bahwa berbagai aparatur
penyelenggara negara yang terindikasi tersandung peristiwa hukum, justru
diantaranya karena noda masa lampau yang masih menempel pada dirinya. Walaupun
pada satu sisi, dalam konteks hukum perihal tersebut sejalan dengan asas
daluwarsa. Tetapi, yang menjadi pertanyaan publik, mengapa seluruh indikasi
noda tersebut baru dilaporkan dan diekspose hari-hari belakangan ini ? mengapa
tidak dilaporkan dan diekspose ketika indikasi noda tersebut sedang terjadi ? lantas,
fenomena apakah yang sedang dialami oleh berbagai penyelenggara negara saat ini
?
Aksiologis Undang-Undang
Mengenai penyelenggara negara, pada dasarnya peraturan
perundang-undangan telah membuat frame,
dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang good and clean Governance. Sebagaimana yang ditegaskan dalam UU
tentang Penyelenggaraan Negara, khususnya pada Pasal 1 ayat (2) menyatakan
bahwa “Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang
menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya”.
Berdasarkan rumusan ayat tersebut, tentunya dapat
ditelaah bahwa dalam rangka melakukan penyelenggaraan negara, tidak cukup hanya
terbebas dari berbagai praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Akan tetapi,
penyelenggara negara juga diwajibkan untuk menghindari dari segala bentuk
perbuatan yang tercela, adanya penegasan mengenai perbuatan tercela semata-mata
untuk menguatkan kewibawaan dari para penyelenggara negara itu sendiri.
Berdasarkan paradigma tersebut, Undang-Undang pada dasarnya ingin memberikan
sisi aksiologisnya kepada seluruh masyarakat.
Tidak hanya sampai disitu, Undang-Undang tentang
Penyelenggara Negara juga memberikan kewenangan kepada publik untuk melakukan
control terhadap para penyelenggara negara. Sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa “Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan
Penyelenggara Negara yang bersih”. Artinya, masyarakat Indonesia memiliki peran
sentral dalam rangka penyelenggaraan negara.
Dalam konteks tulisan ini, ketika peraturan
perundang-undangan sudah mengatur secara tegas tentang frame penyelenggara negara, mengapa masih saja ada para
penyelenggara negara yang notabene tidak dapat menghindarkan dirinya dari
perbuatan yang dianggap tercela ? atau mengapa masih saja terpilih para
penyelenggara negara yang memiliki noda atau perbuatan tercela yang terjadi di
masa lampau ? walaupun pada konteks yang lain, masih melekat pada dirinya asas
hukum, yaitu asas presumption of
innocence (asas peraduga tak bersalah).
Past – Present – Future
Mengenai noda yang terjadi dimasa lampau, ketika
dikaji berdasarkan konsep ketuhanan, maka atas noda tersebut pada dasarnya
dapat diberikan taubat atau pengampunan, dengan catatan yang memiliki noda
bersungguh-sungguh menyesali dan tidak akan mengulangi perbuatan yang dapat
menimbulkan noda tersebut.
Sementara noda yang terjadi dimasa lampau, dikaji dalam
konsep penyelenggara negara, maka penulis berasumsi bahwa hampir dipastikan
tidak ada ruang bagi manusia yang memiliki noda untuk dapat berpartisipasi
dalam rangka penyelenggara negara, terkecuali telah terjadi shock of paradigma baik di tingkat Pemerintah
Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah.
Menelaah realita yang terjadi di awal Tahun 2015,
penulis mengajak seluruh masyarakat agar lebih kritis dan selektif terhadap
individu yang akan menjadi penyelenggara negara, jika perlu tidak ada salahnya dilakukan review terhadap calon penyelenggara
negara, sampai 7 (tujuh) turunan ke atas, agar lahir para penyelenggara negara
yang dipandang cukup bersih, serta memiliki integritas, kredibilitas, dan
kapabilitas.
Pada sisi yang lain, sejarah telah membuktikan
barangsiapa memiliki noda di masa lampau, cepat atau lambat ketika disadari
publik, maka tidak ada cara apapun yang dapat membendungnya. Melalui tulisan
ini penulis menghimbau kepada setiap individu manusia yang memiliki visi ingin
berpartisipasi dalam penyelenggara negara, agar semaksimal mungkin
menghindarkan dirinya dari segala bentuk perbuatan yang dianggap tercela, atau
yang bisa menjadi noda pada kehidupan di masa-masa mendatang. Oleh karena,
manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari perdikat waktu past (lampau) – present (saat ini) – future
(akan datang).
Tulisan ini juga di muat pada harian Waspada, Senin 2 Maret 2015, dengan link http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41543:fenomena-noda-masa-lampau&catid=59:opini&Itemid=215
[1]
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, bekerja sebagai
PNS pada Pemkab Aceh Tamiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar