Senin, 02 Maret 2015

Fenomena "Noda" Masa Lampau

Fenomena “Noda” Masa Lampau
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Beberapa waktu yang lalu publik masih mengingat betul adanya pariwara di media televisi, yang hangat dengan tagline nya “jangan takut kotor, dan berani kotor itu baik”. Dapat dipahami bahwa tagline tersebut ingin memberikan apresiasi dalam konteks kehidupan, agar sebagai seorang makhluk sosial setiap individu manusia, berani untuk bertindak dan berbuat sesuatu dalam menunjang kreativitas dirinya. Dengan demikian, diharapkan manusia pada satu sisi tidak tersandera dengan proses  kegiatan yang menimbulkan noda / kotor.
Tulisan ini memiliki paradigma yang berbeda dengan tagline “jangan takut kotor, dan berani kotor itu baik”, khususnya bagi segenap manusia yang memiliki visi untuk penyelenggaraaan negara. Oleh karena dalam menyelenggarakan negara, ternyata dibutuhkan manusia-manusia yang dipandang cukup “bersih” dari noda, baik dari noda masa lampau maupun noda di masa sekarang.

Fenomena Saat Ini
Dalam rangka menyatukan persepsi, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Adapun noda didefinisikan sebagai noktah yang menyebabkan kotor. (Depdiknas, 2012 : 390 dan 965)
Berdasarkan definisi tersebut di awal Tahun 2015 banyak fenomena menarik yang dapat ditelaah sekaligus dipahami, khususnya dalam rangka penyelenggaraan negara. Diantaranya dapat direview ketika para penyelenggara negara mengalami berbagai peristiwa hukum, dengan indikasi noda yang ditimbulkan pada masa lampau. Sebagaimana yang diekspose oleh berbagai media masa, dimulai dari kasus BG, BW, AS, AP, hingga yang terkini adanya indikasi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh CH dan JB (mantan komisioner, dan mantan jubir KPK).
Menjadi menarik untuk ditelaah bahwa berbagai aparatur penyelenggara negara yang terindikasi tersandung peristiwa hukum, justru diantaranya karena noda masa lampau yang masih menempel pada dirinya. Walaupun pada satu sisi, dalam konteks hukum perihal tersebut sejalan dengan asas daluwarsa. Tetapi, yang menjadi pertanyaan publik, mengapa seluruh indikasi noda tersebut baru dilaporkan dan diekspose hari-hari belakangan ini ? mengapa tidak dilaporkan dan diekspose ketika indikasi noda tersebut sedang terjadi ? lantas, fenomena apakah yang sedang dialami oleh berbagai penyelenggara negara saat ini ?

Aksiologis Undang-Undang
Mengenai penyelenggara negara, pada dasarnya peraturan perundang-undangan telah membuat frame, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang good and clean Governance. Sebagaimana yang ditegaskan dalam UU tentang Penyelenggaraan Negara, khususnya pada Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya”.
Berdasarkan rumusan ayat tersebut, tentunya dapat ditelaah bahwa dalam rangka melakukan penyelenggaraan negara, tidak cukup hanya terbebas dari berbagai praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Akan tetapi, penyelenggara negara juga diwajibkan untuk menghindari dari segala bentuk perbuatan yang tercela, adanya penegasan mengenai perbuatan tercela semata-mata untuk menguatkan kewibawaan dari para penyelenggara negara itu sendiri. Berdasarkan paradigma tersebut, Undang-Undang pada dasarnya ingin memberikan sisi aksiologisnya kepada seluruh masyarakat.
Tidak hanya sampai disitu, Undang-Undang tentang Penyelenggara Negara juga memberikan kewenangan kepada publik untuk melakukan control terhadap para penyelenggara negara. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa “Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih”. Artinya, masyarakat Indonesia memiliki peran sentral dalam rangka penyelenggaraan negara.
Dalam konteks tulisan ini, ketika peraturan perundang-undangan sudah mengatur secara tegas tentang frame penyelenggara negara, mengapa masih saja ada para penyelenggara negara yang notabene tidak dapat menghindarkan dirinya dari perbuatan yang dianggap tercela ? atau mengapa masih saja terpilih para penyelenggara negara yang memiliki noda atau perbuatan tercela yang terjadi di masa lampau ? walaupun pada konteks yang lain, masih melekat pada dirinya asas hukum, yaitu asas presumption of innocence (asas peraduga tak bersalah).

Past – Present – Future  
Mengenai noda yang terjadi dimasa lampau, ketika dikaji berdasarkan konsep ketuhanan, maka atas noda tersebut pada dasarnya dapat diberikan taubat atau pengampunan, dengan catatan yang memiliki noda bersungguh-sungguh menyesali dan tidak akan mengulangi perbuatan yang dapat menimbulkan noda tersebut.
Sementara noda yang terjadi dimasa lampau, dikaji dalam konsep penyelenggara negara, maka penulis berasumsi bahwa hampir dipastikan tidak ada ruang bagi manusia yang memiliki noda untuk dapat berpartisipasi dalam rangka penyelenggara negara, terkecuali telah terjadi shock of paradigma baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah.
Menelaah realita yang terjadi di awal Tahun 2015, penulis mengajak seluruh masyarakat agar lebih kritis dan selektif terhadap individu yang akan menjadi penyelenggara negara,  jika perlu tidak ada salahnya dilakukan review terhadap calon penyelenggara negara, sampai 7 (tujuh) turunan ke atas, agar lahir para penyelenggara negara yang dipandang cukup bersih, serta memiliki integritas, kredibilitas, dan kapabilitas.
Pada sisi yang lain, sejarah telah membuktikan barangsiapa memiliki noda di masa lampau, cepat atau lambat ketika disadari publik, maka tidak ada cara apapun yang dapat membendungnya. Melalui tulisan ini penulis menghimbau kepada setiap individu manusia yang memiliki visi ingin berpartisipasi dalam penyelenggara negara, agar semaksimal mungkin menghindarkan dirinya dari segala bentuk perbuatan yang dianggap tercela, atau yang bisa menjadi noda pada kehidupan di masa-masa mendatang. Oleh karena, manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari perdikat waktu past (lampau) – present (saat ini) – future (akan datang).
Tulisan ini juga di muat pada harian Waspada, Senin 2 Maret 2015, dengan link http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41543:fenomena-noda-masa-lampau&catid=59:opini&Itemid=215



[1]  Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, bekerja sebagai PNS pada Pemkab Aceh Tamiang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar