Aceh Dalam
Hegemoni Syariat Islam
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Ibarat 2 (dua) sisi mata uang, Syariat Islam berada
pada satu sisi dan Aceh berada pada sisi yang lainnya. Artinya, dewasa ini
Syariat Islam dan Aceh adalah sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan. Secara
umum, penulis menggarisbawahi bahwa Aceh adalah daerah otonom pertama yang
memposisikan Syariat Islam sebagai salah satu hukum positif dalam rangka
penyelenggaraan Pemerintahan. Menjadi menarik bahwa Syariat Islam itu memiliki
legitimasi secara konstitusional yang berlaku di Indonesia.
Melalui tulisan ini penulis ingin menegaskan bahwa
Syariat Islam memiliki urgensitas dalam perjalanan ketatanegaraan di Aceh.
Bahkan jika kita merujuk jauh ke belakang, Syariat Islam juga telah mengakar
dalam adat dan budaya Aceh, yang sarat dengan nilai Islam sehingga dalam
pepatah Aceh disebut “Adat bak
poteumeureuhom, hukom bak syiah kuala
(adat berasal dari Pemerintah, dan hukum berasal dari Ulama)”.
Flashback Syariat Islam
Azyumardi Azra menyatakan bahwa keinginan rakyat Aceh
untuk menjalankan dan menerapkan Syariat Islam sudah cukup lama sejak masa Kesultanan
Islam, yaitu pada masa Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, dan Aceh
Darussalam, serta puncak kegemilangan Syariat Islam di Aceh dapat dilihat pada
masa Sultan Iskandar Muda. (Azyumardi Azra, 1998).
Pentingnya Syariat Islam di Aceh, turut disuarakan paska
proklamasi kemerdekaan Indonesia, ketika dalam suatu masa periode 1948 pada
saat berlangsungnya dialog antara Soekarno (Presiden Republik Indonesia) dan
Tgk. M. Daud Beure’ueh (Gubernur Militer Aceh – Langkat – Tanah Karo), hingga
mengerucut pada statement terakhir Tgk. M. Daud Beure’euh dengan tegas
menyatakan bahwa “…bolehlah saya mohon kepada Sdr Presiden bahwa apabila perang
telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan
syariat Islam di dalam daerahnya” (M. Nur El-Ibrahimy, 1986, Tgk. A.K.
Jakobi, 1998, Neta S. Pane, 2001)
Berdasarkan statement Tgk. M. Daud Beure’euh, dapat
dipahami bahwa dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh
hendaknya berpegang teguh pada nilai dan ajaran Islam. Dalam perjalanan
ketatanegaraan di Aceh Syariat Islam diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada
Aceh melalui SK No.1/Missi/1959 (Misi Hardi), dan Syariat Islam baru memiliki
sumber hukum formil melalui UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan : 1977, Hardi : 1983, M. Nur El-Ibrahimy : 1986)
Syariat Islam Dalam Sistem
Hukum Nasional
Dewasa ini, mengenai eksistensi Syariat Islam dalam
sistem hukum nasional, pada dasarnya dapat ditelaah bahwa Syariat Islam yang
diaplikasikan di Aceh memiliki landasan konstitusional, diantaranya berdasarkan
Pasal yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yaitu: Pertama, Pasal 18 ayat
(5), menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan Pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat. Kedua, Pasal 18
ayat (6), menyatakan bahwa Pemerintahan
Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ketiga,
Pasal 18 A ayat (1), menyatakan bahwa Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, atau antara Provinsi dan Kabupaten
dan Kota, diatur melalui Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah. Keempat, Pasal 18 B
ayat (1), menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan Undang-Undang. Kelima, Pasal
18 B ayat (2), menyatakan bahwa Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
Undang-Undang.
Berdasarkan uraian Pasal-Pasal yang dimuat dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa pada dasarnya
Pemerintah Republik Indonesia mengakui dan menghormati pluralisme hukum yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat. Khususnya Syariat Islam yang
diaplikasikan di Aceh, sekaligus hal ini telah mengindikasikan bahwa Syariat
Islam merupakan entitas atau sub sistem dalam sistem hukum nasional.
Seyogyanya bahwa ketika Syariat Islam memiliki
legitimasi dalam sistem hukum nasional, maka tidak perlu ada lagi pihak-pihak
yang mencoba mendiskreditkan penyelenggaraan Syariat Islam di Aceh, terlebih
lagi jika ada pihak yang mencoba “menggerogoti” salah satu keistimewaan Aceh
(pelaksanaan Syariat Islam) dengan cara dikonfrontir dengan “isu” pelanggaran
HAM. Karena tinta sejarah telah menuangkan catatannya bahwa Syariat Islam
adalah sesuatu yang mutlak dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.
Shock of Paradigma
Pada kesempatan ini, penulis tanpa perlu mengulang
kembali berbagai peristiwa yang mengindikasikan terjadinya shock of paradigma dalam rangka penyelenggaraan Syariat Islam di
Aceh, oleh berbagai “oknum” yang pada akhirnya mencoreng wajah “tanoh endatu”.
Justru penulis mencatat bahwa di awal tahun ini (2015) saja, sudah berulang
kali berbagai media masa lokal mengekspose peristiwa-peristiwa yang tidak
sejalan dengan nilai Islam, atau dengan kata lain telah melanggar Syariat Islam
Sekedar mendeskripsikan, bahwa shock of paradigma di awal 2015 dapat ditelaah diantaranya, adanya
pemberitaan bahwa kekerasan seksual meningkat di Aceh, tidak lama berselang kembali
ada pemberitaan tentang tertangkap basah salah satu oknum pejabat di lingkungan
Pemerintah Daerah dataran Gayo, hingga pemberitaan terkini adanya aksi main
hakim oleh sekelompok oknum pemuda yang pada akhirnya justru kembali melanggar
Syariat Islam itu sendiri.
Tanpa perlu saling tunjuk untuk menyalahkan antara
satu sama lain, penulis ingin mengajak seluruh rakyat Aceh khususnya agar
melakukan introspeksi, baik dalam diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan
sosial sehari-hari. Dalam konteks ini selaras dengan adagium lampau, “barangsiapa
mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”. Dengan demikian, adanya
introspeksi yang dilakukan oleh rakyat Aceh, InsyaAllah tidak hanya mengenal
Syariat Islam sebatas kulitnya saja, tetapi juga turut memahami dan menjalankan
Syariat Islam secara kaffah. InsyaAllah
Tulisan ini juga dimuat dalam Harian Waspada, Jum'at 13 Februari 2015
[1]
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, bekerja sebagai
PNS pada Pemkab Aceh Tamiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar