Minggu, 15 Februari 2015

Aceh Dalam Hegemoni Syariat Islam

Aceh Dalam Hegemoni Syariat Islam
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Ibarat 2 (dua) sisi mata uang, Syariat Islam berada pada satu sisi dan Aceh berada pada sisi yang lainnya. Artinya, dewasa ini Syariat Islam dan Aceh adalah sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan. Secara umum, penulis menggarisbawahi bahwa Aceh adalah daerah otonom pertama yang memposisikan Syariat Islam sebagai salah satu hukum positif dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan. Menjadi menarik bahwa Syariat Islam itu memiliki legitimasi secara konstitusional yang berlaku di Indonesia.
Melalui tulisan ini penulis ingin menegaskan bahwa Syariat Islam memiliki urgensitas dalam perjalanan ketatanegaraan di Aceh. Bahkan jika kita merujuk jauh ke belakang, Syariat Islam juga telah mengakar dalam adat dan budaya Aceh, yang sarat dengan nilai Islam sehingga dalam pepatah Aceh disebut “Adat bak poteumeureuhom, hukom bak syiah kuala  (adat berasal dari Pemerintah, dan hukum berasal dari Ulama)”.

Flashback Syariat Islam
Azyumardi Azra menyatakan bahwa keinginan rakyat Aceh untuk menjalankan dan menerapkan Syariat Islam sudah cukup lama sejak masa Kesultanan Islam, yaitu pada masa Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam, serta puncak kegemilangan Syariat Islam di Aceh dapat dilihat pada masa Sultan Iskandar Muda. (Azyumardi Azra, 1998).
Pentingnya Syariat Islam di Aceh, turut disuarakan paska proklamasi kemerdekaan Indonesia, ketika dalam suatu masa periode 1948 pada saat berlangsungnya dialog antara Soekarno (Presiden Republik Indonesia) dan Tgk. M. Daud Beure’ueh (Gubernur Militer Aceh – Langkat – Tanah Karo), hingga mengerucut pada statement terakhir Tgk. M. Daud Beure’euh dengan tegas menyatakan bahwa “…bolehlah saya mohon kepada Sdr Presiden bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syariat Islam di dalam daerahnya” (M. Nur El-Ibrahimy, 1986, Tgk. A.K. Jakobi, 1998, Neta S. Pane, 2001)
Berdasarkan statement Tgk. M. Daud Beure’euh, dapat dipahami bahwa dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh hendaknya berpegang teguh pada nilai dan ajaran Islam. Dalam perjalanan ketatanegaraan di Aceh Syariat Islam diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Aceh melalui SK No.1/Missi/1959 (Misi Hardi), dan Syariat Islam baru memiliki sumber hukum formil melalui UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : 1977, Hardi : 1983, M. Nur El-Ibrahimy : 1986)

Syariat Islam Dalam Sistem Hukum Nasional
Dewasa ini, mengenai eksistensi Syariat Islam dalam sistem hukum nasional, pada dasarnya dapat ditelaah bahwa Syariat Islam yang diaplikasikan di Aceh memiliki landasan konstitusional, diantaranya berdasarkan Pasal yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: Pertama, Pasal 18 ayat (5), menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan Pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Kedua, Pasal 18 ayat (6), menyatakan bahwa  Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ketiga, Pasal 18 A ayat (1), menyatakan bahwa Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, atau antara Provinsi dan Kabupaten dan Kota, diatur melalui Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Keempat, Pasal 18 B ayat (1), menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang. Kelima, Pasal 18 B ayat (2), menyatakan bahwa  Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.
Berdasarkan uraian Pasal-Pasal yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa pada dasarnya Pemerintah Republik Indonesia mengakui dan menghormati pluralisme hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Khususnya Syariat Islam yang diaplikasikan di Aceh, sekaligus hal ini telah mengindikasikan bahwa Syariat Islam merupakan entitas atau sub sistem dalam sistem hukum nasional.
Seyogyanya bahwa ketika Syariat Islam memiliki legitimasi dalam sistem hukum nasional, maka tidak perlu ada lagi pihak-pihak yang mencoba mendiskreditkan penyelenggaraan Syariat Islam di Aceh, terlebih lagi jika ada pihak yang mencoba “menggerogoti” salah satu keistimewaan Aceh (pelaksanaan Syariat Islam) dengan cara dikonfrontir dengan “isu” pelanggaran HAM. Karena tinta sejarah telah menuangkan catatannya bahwa Syariat Islam adalah sesuatu yang mutlak dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.

Shock of Paradigma
Pada kesempatan ini, penulis tanpa perlu mengulang kembali berbagai peristiwa yang mengindikasikan terjadinya shock of paradigma dalam rangka penyelenggaraan Syariat Islam di Aceh, oleh berbagai “oknum” yang pada akhirnya mencoreng wajah “tanoh endatu”. Justru penulis mencatat bahwa di awal tahun ini (2015) saja, sudah berulang kali berbagai media masa lokal mengekspose peristiwa-peristiwa yang tidak sejalan dengan nilai Islam, atau dengan kata lain telah melanggar Syariat Islam
Sekedar mendeskripsikan, bahwa shock of paradigma di awal 2015 dapat ditelaah diantaranya, adanya pemberitaan bahwa kekerasan seksual meningkat di Aceh, tidak lama berselang kembali ada pemberitaan tentang tertangkap basah salah satu oknum pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah dataran Gayo, hingga pemberitaan terkini adanya aksi main hakim oleh sekelompok oknum pemuda yang pada akhirnya justru kembali melanggar Syariat Islam itu sendiri.
Tanpa perlu saling tunjuk untuk menyalahkan antara satu sama lain, penulis ingin mengajak seluruh rakyat Aceh khususnya agar melakukan introspeksi, baik dalam diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan sosial sehari-hari. Dalam konteks ini selaras dengan adagium lampau, “barangsiapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”. Dengan demikian, adanya introspeksi yang dilakukan oleh rakyat Aceh, InsyaAllah tidak hanya mengenal Syariat Islam sebatas kulitnya saja, tetapi juga turut memahami dan menjalankan Syariat Islam secara kaffah. InsyaAllah

Tulisan ini juga dimuat dalam Harian Waspada, Jum'at 13 Februari 2015



[1]  Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, bekerja sebagai PNS pada Pemkab Aceh Tamiang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar