Quo Vadis Pemilukada dan Aceh
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Perjalanan
ketatanegaraan telah melahirkan dinamika dalam perkembangan Pemilukada di
Indonesia, pada masing-masing periodenya Pemilukada telah dijalani dengan
berbagai model dan sistem, baik model pemilihan yang dilakukan oleh lembaga DPRD,
hingga dewasa ini model yang dilaksanakan adalah secara langsung (one man
one vote). Serta juga telah melalui berbagai sistem, baik Pemilukada yang
tidak berposisi sebagai entitas dari Pemilihan Umum, hingga dewasa ini yang
memposisikan Pemilukada sebagai entitas dari Pemilihan Umum.
Namun
demikian, berbagai element bangsa Indonesia pada akhir-akhir ini telah turut
serta berkepentingan dengan friksi dan wacana yang berkembang mengenai proses
pelaksanaan Pemilukada yang akan diimplementasikan pada masa depan, dalam hal
ini proses Pemilukada kedepannya akan dilaksanakan oleh lembaga DPRD. Penting
untuk digarisbawahi, apakah friksi dan wacana proses pemilukada nasional yang
akan dilaksanakan oleh lembaga DPRD memiliki equivalensi dengan Pemilukada di
Aceh ?
Realita
Pemilukada
Pemilihan
umum dari sudut pandang ketatanegaraan merupakan salah satu jalan penting buat
mengakhiri situasi temporair dalam ketatanegaraan, termasuk bidang perlengkapan
negara. Konsekuensi logisnya, dengan berhasilnya pemilihan umum, diharapkan
badan-badan perlengkapan negara yang lama diganti dengan badan-badan negara
sebagai produk pemilihan umum (M. Solly Lubis, 1971:180-181).
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 secara tegas memberikan landasan yang kuat tentang asas
penyelenggaraan pemilu, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 22E ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap
lima tahun sekali”. Muhammad Asfar mencatat bahwa secara
konseptual, terdapat dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan
pemilihan umum yang bersifat demokratis secara bebas dan adil, yaitu : (a). Menciptakan
seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu lembaga
perwakilan rakyat secara adil. (b). Menjalankan pemilihan umum sesuai dengan
aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi. (Muhammad Asfar, 2005:3-4).
Mengenai realita
yang terjadi dalam Pemilukada, pada awalnya tidak berposisi sebagai suatu entitas
dari Pemilihan Umum, akan tetapi setelah lahirnya Undang-undang
No. 22 Tahun 2007 juncto Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, telah memposisikan
Pemilukada sebagai suatu entitas dari Pemilihan Umum, sebagaimana yang ditegaskan
dalam Pasal 1 ayat 4, yang berbunyi “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Laica
Marzuki menyatakan Pemilukada secara langsung merupakan (disamakan) dengan Pemilu,
diantaranya dengan argumentasi sebagai berikut: “... dari sudut pandang
konstitusi, pemilukada langsung adalah pemilihan umum, sebagaimana dimaksud
Pasal 22E ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Tatkala pemilihan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tergolong pemilihan umum (pemilu) dalam makna
general election menurut Pasal 22E ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, mengapa
nian pemilukada langsung tidak termasuk dapalm pasal konstitusi dimaksud ? hal
dimaksud harus diamati dari sudut penafsiran sejarah (historische
interpretatie). Pasal 22E ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kala
perubahan ketiga (3), yang diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI ke-tujuh (7)
pada tanggal 9 November 2001. Disisi lain, Pasal 18 merupakan hasil amandemen
yang kedua (2). Dikala itu, pemilukada langsung belum merupakan gagasan ide
konstitusi dari pembuat perubahan konstitusi. Pembuat perubahan konstitusi
belum merupakan idee drager atas pemilukada langsung”. (Putusan MK No.
072-073/PUU-III/2004:54)
Berdasarkan
berbagai uraian yang pada akhirnya dewasa ini telah mengklasifikasi Pemilukada
sebagai suatu entitas dari Pemilu sekaligus menerapkan model dan sistem
Pemilukada secara langsung (one man one vote) merupakan suatu
perkembangan yang signifikan dalam rangka penyelenggaraan demokrasi di tingkat
lokal. Menurut penulis, praktik Pemilukada yang diterapkan dimasa lalu, yakni
pelaksanaan Pemilukada secara tidak langsung (dilakukan oleh DPRD). Hanya lebih
didominasi oleh tawar-menawar (bargaining) antar fraksi yang ada di
DPRD. Dan walaupun pemilukada secara langsung tidak menutup peluang adanya money
politic, namun jika Pemilukada dilaksanakan secara tidak langsung, maka money
politic hanya terjadi dikalangan elite saja.
Pemilukada
Konteks Nasional
Paska
berakhirnya rezim Orde Baru, dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan,
khususnya Pemerintahan Daerah turut mengalami perubahan. Salah satu perubahan
yang mendasar dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu
diterapkannya model dan sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung (one
man one vote), yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan adagium
Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah).
Proses
pelaksanaan Pemilukada secara langsung dalam konteks nasional melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang lahir pada tanggal 29 September 2004. Mengenai Pemilukada secara
langsung, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan
calon yang dilaksanakan secara demokratis, dan yang berhak mengajukan pasangan
calon ini adalah partai politik atau gabungan partai politik. Sebagaimana yang
ditegaskan dalam Pasal 56 ayat 1, yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.
Dan ayat 2, yang berbunyi “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”.
Pada
periode Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Pemilukada belum sebagai entitas dari
Pemilu. Hal ini sejalan dengan posisi KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) yang
tidak mempunyai struktur hierarkis dengan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Pusat.
Terjadinya perkembangan yang dinamis dalam penyelenggaraan Pemerintahan di
Indonesia, ditandai dengan lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 2007 juncto
Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, telah memposisikan Pemilukada sebagai suatu
entitas dari Pemilihan Umum. Pada sisi yang lain dalam Pemilukada diakomodirnya
calon independen (calon perseorangan) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 59 ayat 1 point
( a dan b) yang berbunyi “Peserta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
adalah (a). pasangan calon yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. (b). pasangan calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”.
Dapat
ditelaah bahwa dalam perkembangan demokrasi ditingkat lokal, Pemerintah telah
memberi ruang yang seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat untuk turut serta
dalam proses Pemilukada. Dengan demikian, dengan adanya pasrtisipasi dari
masyarakat tentunya memiliki spirit, yaitu agar para Kepala Daerah dan Wakil
Daerah yang dipilih oleh masyarakatnya dapat bersentuhan secara langsung dan
nyata dengan masyarakatnya.
Aceh
Sebagai Lokomotif
Menarik untuk
ditelaah, bahwa pada tanggal 18 Agustus 2001, lahir Undang-undang No. 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, penulis
mencatat bahwa salah satu hal yang sangat substansial mengenai Pemilukada
diantaranya pelaksanaan Pemilukada dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 14 ayat 3 point (a), yang berbunyi “pemilihan
pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilaksanakan secara langsung
oleh masyarakat pemilih serentak pada hari yang sama di seluruh wilayah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
Undang-undang No.
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga
mengamanatkan, mengenai teknis Pemilukada di Provinsi Aceh, akan diatur lebih
lanjut melalui Qanun. Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang mengatur Pemilukada
secara langsung merupakan salah satu peraturan organik (Organieke Verordening) dari Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar
1945, yang berbunyi “Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”. Sebagaimana yang diketahui,
bahwa Pasal 18 ayat 4 Undag-Undang Dasar 1945 lahir setelah adanya amandemen
ke-II Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
Adapun lembaga
pemilihan yang berfungsi menyelenggarakan pemilukada Aceh berdasarkan
Undang-undang No. 18 Tahun 2001, adalah Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan
diawasi oleh Komisi Pengawas Pemilihan, yang masing-masing dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagaimana yang
ditegaskan dalam Pasal 13 ayat 1, yang berbunyi “Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan oleh Komisi
Independen Pemilihan dan diawasi oleh Komisi Pengawas Pemilihan, yang
masing-masing dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.”
Dapat ditelaah
bahwa norma yang tertuang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya pada Pasal 14 ayat
3 point (a) tersebut, secara kontekstual menegaskan akan dilaksanakannya suatu
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan dilaksanakan secara langsung di
Aceh oleh masyarakatnya. Pada periode lahirnya Pasal 14 ayat 3 point (1)
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001, tentunya hal ini memiliki dikotomi dengan konteks
serta model Pemilukada di Indonesia yang belum menerapkan konsep Pemilukada
langsung.
Namun demikian,
dikarenakan berbagai faktor dan kondisi yang terjadi di Aceh ketika periode
(lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2001) tersebut, telah memberi dampak tidak
dapat berlangsungnya model dan proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
secara langsung. Akan tetapi, penulis tetap menggaris bawahi, hal ini telah
menunjukkan bahwa Aceh pada dasarnya telah menjadi lokomotif dalam perkembangan
demokrasi di tingkat lokal, khususnya dalam model dan proses pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur. Sekaligus dapat dimaknai bahwa spirit pelaksanaan pemilihan
secara langsung telah diakomodir, hanya saja realitanya belum dapat diimplementasikan.
Pada sisi yang
lain, Aceh menjadi lokomotif juga dapat ditelaah bahwa Pemilukada di Aceh pada
Tahun 2006 telah mengakomodir calon independen (calon perseorangan) dalam
proses Pemilukada secara langsung. Hal ini diamanatkan melalui Undang-Undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 67 ayat 1, yang berbunyi “pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,
Walikota/Wakil Walikota, dapat diajukan oleh: (a) partai politik atau gabungan
partai politik, (b) partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal,
(c) gabungan partai politik dan partai politik lokal, serta (d)
perseorangan/independen”.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, secara normatif dalam Pemilukada Aceh mengenal adanya calon
Kepala Daerah yang maju dari calon independen. Artinya bahwa setiap rakyat Aceh
dapat mengikuti proses pesta demokrasi lokal atau Pemilukada, walaupun tanpa
adanya dukungan legal-formal dari partai politik, baik dari partai politik
nasional, maupun dari partai politik lokal. Calon independen merupakan sebuah
gebrakan dalam sirkulasi politik, tidak dapat dihindari, calon independen dapat
menjadi sebuah alternatif para pemilih untuk memberi hak suaranya pada proses
demokrasi di tingkat lokal tersebut.
Dengan demikian,
posisi Aceh sebagai lokomotif dalam penyelenggaraan Pemerintahan, khususnya
pelaksanaan demokrasi ditingkat lokal dapat ditelaah berdasarkan amanat atas
pelaksanaan Pemilukada secara langsung, sekaligus pengakomodiran calon
independen (calon perseorangan).
Pemilukada
Nasional memiliki equivalensi dengan Pemilukada Aceh ?
Landasan yuridis dari Pemilukada, bersumber dalam Undang-Undang
Dasar 1945 sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 4, yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara
demokratis”.
Dipilihnya frasa “secara demokratis”, turut dijelaskan oleh
Patrialis Akbar dan Lukman Hakim Saifuddin, yang menyatakan bahwa “latar
belakang pemikiran rumusan Pasal 18 ayat 4 saat itu adalah bahwa sistem
pemilihan yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan
(pemilihan dilakukan oleh DPRD) atau melalui sistem pemilihan secara langsung
(pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat). Tujuannya adalah agar ada
fleksibilitas bagi masyarakat dalam menentukan sistem pemilihan Kepala Daerah.
Hal itu terkait erat dengan penghargaan konstitusi terhadap keragaman adat
istiadat dan budaya masyarakat diberbagai daerah yang berbeda-beda. Baik sistem
pemilihan secara langsung, maupun sistem pemilihan secara tidak langsung
sama-sama masuk pada kategori sistem yang demokratis. Berdasarkan 2 (dua)
pandangan ini, untuk kemudian disepakati menggunakan frasa “demokratis”, dalam
artian karena pada ayat selanjutnya, yakni pada ayat tujuh (7) Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang, Undang-undanglah yang nantinya
akan menentukan apakah pemilihan Kepala Daerah itu dilakukan langsung oleh
rakyat atau sebagaimana sebelumnya dilakukan oleh DPRD, yang terpenting prinsip
dasarnya adalah demokratis”.
Dipilihnya frasa “secara demokratis”, dapat ditelaah bahwa hal ini
merupakan salah satu wujud untuk menyelaraskan dengan asas desentralisasi, yang
mana dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia menerapkan desentralisasi
asimetris. Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah ada daerah-daerah yang bersifat istimewa dan khusus. Sejalan dengan
adanya desentralisasi asimetris, maka dalam proses Pemilukada dapat disesuaikan
dengan kondisi yang terdapat pada masing-masing daerah otonom, dengan
mempertimbangkan keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh, memiliki landasan
yuridis berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagaimana yang ditegaskan
dalam Pasal 18 B ayat 1, yang berbunyi “negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan Undang-undang”. Dalam melaksanakan amanat dari Pasal 18
B ayat 1, lahir beberapa peraturan organik. Diantaranya Undang-Undang No. 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh,
yang selanjutnya direvisi menjadi Undang-Undang-Undang No. 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, hingga yang terkini direvisi menjadi Undang-Undang No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, juga memiliki regulasi terkait penyelenggaraan Pemilukada di Provinsi Aceh.
yang turut mengatur mengenai model dan sistem Pemilukada secara langsung,
sekaligus mengakomodir calon independen (calon perseorangan). Bahkan didalam
mengimplementasikan berbagai norma yang mengatur mengenai Pemilukada,
diamanatkan adanya peraturan-peraturan daerah (Qanun) yang secara
spesifik akan menjabarkannya.
Hal ini turut ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
“bahwa pemilukada Aceh mempunyai kekhususan dibanding pemilukada lainnya.
Hal demikian disebabkan adanya Qanun yang juga mengatur proses pemilukada Aceh,
yang mana hal ini tidak terdapat pada daerah-daerah lainnya” (Putusan MK
No. 108/PHPU.D-IX/2011: Point 3.3.2). Berdasarkan regulasi terkait
penyelenggaraan Pemilukada di Provinsi Aceh, dapat ditelaah Undang-Undang No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh berposisi sebagai lex spesialis dari
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Semoga stakeholder
dapat berlaku arif dan bijaksana dalam rangka menyelenggarakan demokrasi di
tingkat lokal, khususnya di Aceh.
*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Aceh, dengan link http://www.harianaceh.co.id/opini/31904/quo-vadis-pemilukada-dan-aceh
[1]
Penulis adalah PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, sekaligus pemerhati hukum
dan politik di Provinsi Aceh. Serta penulis
buku “Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh”.
Dapat dihubungi melalui sosial
media: Cakra Arbas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar