Jumat, 06 Februari 2015

Quo Vadis Pemilukada dan Aceh

Quo Vadis Pemilukada dan Aceh
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Perjalanan ketatanegaraan telah melahirkan dinamika dalam perkembangan Pemilukada di Indonesia, pada masing-masing periodenya Pemilukada telah dijalani dengan berbagai model dan sistem, baik model pemilihan yang dilakukan oleh lembaga DPRD, hingga dewasa ini model yang dilaksanakan adalah secara langsung (one man one vote). Serta juga telah melalui berbagai sistem, baik Pemilukada yang tidak berposisi sebagai entitas dari Pemilihan Umum, hingga dewasa ini yang memposisikan Pemilukada sebagai entitas dari Pemilihan Umum.
Namun demikian, berbagai element bangsa Indonesia pada akhir-akhir ini telah turut serta berkepentingan dengan friksi dan wacana yang berkembang mengenai proses pelaksanaan Pemilukada yang akan diimplementasikan pada masa depan, dalam hal ini proses Pemilukada kedepannya akan dilaksanakan oleh lembaga DPRD. Penting untuk digarisbawahi, apakah friksi dan wacana proses pemilukada nasional yang akan dilaksanakan oleh lembaga DPRD memiliki equivalensi dengan Pemilukada di Aceh ?

Realita Pemilukada
Pemilihan umum dari sudut pandang ketatanegaraan merupakan salah satu jalan penting buat mengakhiri situasi temporair dalam ketatanegaraan, termasuk bidang perlengkapan negara. Konsekuensi logisnya, dengan berhasilnya pemilihan umum, diharapkan badan-badan perlengkapan negara yang lama diganti dengan badan-badan negara sebagai produk pemilihan umum (M. Solly Lubis, 1971:180-181).
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara tegas memberikan landasan yang kuat tentang asas penyelenggaraan pemilu, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Muhammad Asfar mencatat bahwa secara konseptual, terdapat dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilihan umum yang bersifat demokratis secara bebas dan adil, yaitu : (a). Menciptakan seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil. (b). Menjalankan pemilihan umum sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi. (Muhammad Asfar, 2005:3-4).
Mengenai realita yang terjadi dalam Pemilukada, pada awalnya tidak berposisi sebagai suatu entitas dari Pemilihan Umum, akan tetapi setelah lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 2007 juncto Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, telah memposisikan Pemilukada sebagai suatu entitas dari Pemilihan Umum, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 4, yang berbunyi “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Laica Marzuki menyatakan Pemilukada secara langsung merupakan (disamakan) dengan Pemilu, diantaranya dengan argumentasi sebagai berikut: “... dari sudut pandang konstitusi, pemilukada langsung adalah pemilihan umum, sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Tatkala pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tergolong pemilihan umum (pemilu) dalam makna general election menurut Pasal 22E ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, mengapa nian pemilukada langsung tidak termasuk dapalm pasal konstitusi dimaksud ? hal dimaksud harus diamati dari sudut penafsiran sejarah (historische interpretatie). Pasal 22E ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kala perubahan ketiga (3), yang diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI ke-tujuh (7) pada tanggal 9 November 2001. Disisi lain, Pasal 18 merupakan hasil amandemen yang kedua (2). Dikala itu, pemilukada langsung belum merupakan gagasan ide konstitusi dari pembuat perubahan konstitusi. Pembuat perubahan konstitusi belum merupakan idee drager atas pemilukada langsung”. (Putusan MK No. 072-073/PUU-III/2004:54)
Berdasarkan berbagai uraian yang pada akhirnya dewasa ini telah mengklasifikasi Pemilukada sebagai suatu entitas dari Pemilu sekaligus menerapkan model dan sistem Pemilukada secara langsung (one man one vote) merupakan suatu perkembangan yang signifikan dalam rangka penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal. Menurut penulis, praktik Pemilukada yang diterapkan dimasa lalu, yakni pelaksanaan Pemilukada secara tidak langsung (dilakukan oleh DPRD). Hanya lebih didominasi oleh tawar-menawar (bargaining) antar fraksi yang ada di DPRD. Dan walaupun pemilukada secara langsung tidak menutup peluang adanya money politic, namun jika Pemilukada dilaksanakan secara tidak langsung, maka money politic hanya terjadi dikalangan elite saja.

Pemilukada Konteks Nasional
Paska berakhirnya rezim Orde Baru, dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan, khususnya Pemerintahan Daerah turut mengalami perubahan. Salah satu perubahan yang mendasar dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu diterapkannya model dan sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung (one man one vote), yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan adagium Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah).
Proses pelaksanaan Pemilukada secara langsung dalam konteks nasional melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang lahir pada tanggal 29 September 2004. Mengenai Pemilukada secara langsung, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis, dan yang berhak mengajukan pasangan calon ini adalah partai politik atau gabungan partai politik. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 56 ayat 1, yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Dan ayat 2, yang berbunyi “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”.
Pada periode Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Pemilukada belum sebagai entitas dari Pemilu. Hal ini sejalan dengan posisi KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) yang tidak mempunyai struktur hierarkis dengan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Pusat. Terjadinya perkembangan yang dinamis dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia, ditandai dengan lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 2007 juncto Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, telah memposisikan Pemilukada sebagai suatu entitas dari Pemilihan Umum. Pada sisi yang lain dalam Pemilukada diakomodirnya calon independen (calon perseorangan) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 59 ayat 1 point ( a dan b) yang berbunyi “Peserta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah (a).  pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. (b). pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”.
Dapat ditelaah bahwa dalam perkembangan demokrasi ditingkat lokal, Pemerintah telah memberi ruang yang seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat untuk turut serta dalam proses Pemilukada. Dengan demikian, dengan adanya pasrtisipasi dari masyarakat tentunya memiliki spirit, yaitu agar para Kepala Daerah dan Wakil Daerah yang dipilih oleh masyarakatnya dapat bersentuhan secara langsung dan nyata dengan masyarakatnya.

Aceh Sebagai Lokomotif
Menarik untuk ditelaah, bahwa pada tanggal 18 Agustus 2001, lahir Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, penulis mencatat bahwa salah satu hal yang sangat substansial mengenai Pemilukada diantaranya pelaksanaan Pemilukada dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 14 ayat 3 point (a), yang berbunyi “pemilihan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat pemilih serentak pada hari yang sama di seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga mengamanatkan, mengenai teknis Pemilukada di Provinsi Aceh, akan diatur lebih lanjut melalui Qanun. Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang mengatur Pemilukada secara langsung merupakan salah satu peraturan organik (Organieke Verordening) dari Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”. Sebagaimana yang diketahui, bahwa Pasal 18 ayat 4 Undag-Undang Dasar 1945 lahir setelah adanya amandemen ke-II Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
Adapun lembaga pemilihan yang berfungsi menyelenggarakan pemilukada Aceh berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2001, adalah Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan diawasi oleh Komisi Pengawas Pemilihan, yang masing-masing dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 13 ayat 1, yang berbunyi “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan dan diawasi oleh Komisi Pengawas Pemilihan, yang masing-masing dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”
Dapat ditelaah bahwa norma yang tertuang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya pada Pasal 14 ayat 3 point (a) tersebut, secara kontekstual menegaskan akan dilaksanakannya suatu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan dilaksanakan secara langsung di Aceh oleh masyarakatnya. Pada periode lahirnya Pasal 14 ayat 3 point (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001, tentunya hal ini memiliki dikotomi dengan konteks serta model Pemilukada di Indonesia yang belum menerapkan konsep Pemilukada langsung.
Namun demikian, dikarenakan berbagai faktor dan kondisi yang terjadi di Aceh ketika periode (lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2001) tersebut, telah memberi dampak tidak dapat berlangsungnya model dan proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung. Akan tetapi, penulis tetap menggaris bawahi, hal ini telah menunjukkan bahwa Aceh pada dasarnya telah menjadi lokomotif dalam perkembangan demokrasi di tingkat lokal, khususnya dalam model dan proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekaligus dapat dimaknai bahwa spirit pelaksanaan pemilihan secara langsung telah diakomodir, hanya saja realitanya belum dapat diimplementasikan.
Pada sisi yang lain, Aceh menjadi lokomotif juga dapat ditelaah bahwa Pemilukada di Aceh pada Tahun 2006 telah mengakomodir calon independen (calon perseorangan) dalam proses Pemilukada secara langsung. Hal ini diamanatkan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 67 ayat 1, yang berbunyi “pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, dapat diajukan oleh: (a) partai politik atau gabungan partai politik, (b) partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal, (c) gabungan partai politik dan partai politik lokal, serta (d) perseorangan/independen”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, secara normatif dalam Pemilukada Aceh mengenal adanya calon Kepala Daerah yang maju dari calon independen. Artinya bahwa setiap rakyat Aceh dapat mengikuti proses pesta demokrasi lokal atau Pemilukada, walaupun tanpa adanya dukungan legal-formal dari partai politik, baik dari partai politik nasional, maupun dari partai politik lokal. Calon independen merupakan sebuah gebrakan dalam sirkulasi politik, tidak dapat dihindari, calon independen dapat menjadi sebuah alternatif para pemilih untuk memberi hak suaranya pada proses demokrasi di tingkat lokal tersebut.
Dengan demikian, posisi Aceh sebagai lokomotif dalam penyelenggaraan Pemerintahan, khususnya pelaksanaan demokrasi ditingkat lokal dapat ditelaah berdasarkan amanat atas pelaksanaan Pemilukada secara langsung, sekaligus pengakomodiran calon independen (calon perseorangan).

Pemilukada Nasional memiliki equivalensi dengan Pemilukada Aceh ?
Landasan yuridis dari Pemilukada, bersumber dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 4, yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.
Dipilihnya frasa “secara demokratis”, turut dijelaskan oleh Patrialis Akbar dan Lukman Hakim Saifuddin, yang menyatakan bahwa “latar belakang pemikiran rumusan Pasal 18 ayat 4 saat itu adalah bahwa sistem pemilihan yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan (pemilihan dilakukan oleh DPRD) atau melalui sistem pemilihan secara langsung (pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat). Tujuannya adalah agar ada fleksibilitas bagi masyarakat dalam menentukan sistem pemilihan Kepala Daerah. Hal itu terkait erat dengan penghargaan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat diberbagai daerah yang berbeda-beda. Baik sistem pemilihan secara langsung, maupun sistem pemilihan secara tidak langsung sama-sama masuk pada kategori sistem yang demokratis. Berdasarkan 2 (dua) pandangan ini, untuk kemudian disepakati menggunakan frasa “demokratis”, dalam artian karena pada ayat selanjutnya, yakni pada ayat tujuh (7) Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang, Undang-undanglah yang nantinya akan menentukan apakah pemilihan Kepala Daerah itu dilakukan langsung oleh rakyat atau sebagaimana sebelumnya dilakukan oleh DPRD, yang terpenting prinsip dasarnya adalah demokratis”.
Dipilihnya frasa “secara demokratis”, dapat ditelaah bahwa hal ini merupakan salah satu wujud untuk menyelaraskan dengan asas desentralisasi, yang mana dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia menerapkan desentralisasi asimetris. Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ada daerah-daerah yang bersifat istimewa dan khusus. Sejalan dengan adanya desentralisasi asimetris, maka dalam proses Pemilukada dapat disesuaikan dengan kondisi yang terdapat pada masing-masing daerah otonom, dengan mempertimbangkan keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki.
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh, memiliki landasan yuridis berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 18 B ayat 1, yang berbunyi “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang”. Dalam melaksanakan amanat dari Pasal 18 B ayat 1, lahir beberapa peraturan organik. Diantaranya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang selanjutnya direvisi menjadi Undang-Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hingga yang terkini direvisi menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga memiliki regulasi terkait penyelenggaraan Pemilukada di Provinsi Aceh. yang turut mengatur mengenai model dan sistem Pemilukada secara langsung, sekaligus mengakomodir calon independen (calon perseorangan). Bahkan didalam mengimplementasikan berbagai norma yang mengatur mengenai Pemilukada, diamanatkan adanya peraturan-peraturan daerah (Qanun) yang secara spesifik akan menjabarkannya.
Hal ini turut ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “bahwa pemilukada Aceh mempunyai kekhususan dibanding pemilukada lainnya. Hal demikian disebabkan adanya Qanun yang juga mengatur proses pemilukada Aceh, yang mana hal ini tidak terdapat pada daerah-daerah lainnya” (Putusan MK No. 108/PHPU.D-IX/2011: Point 3.3.2). Berdasarkan regulasi terkait penyelenggaraan Pemilukada di Provinsi Aceh, dapat ditelaah Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh berposisi sebagai lex spesialis dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Semoga stakeholder dapat berlaku arif dan bijaksana dalam rangka menyelenggarakan demokrasi di tingkat lokal, khususnya di Aceh.

*Tulisan ini juga dimuat pada Harian Aceh, dengan link http://www.harianaceh.co.id/opini/31904/quo-vadis-pemilukada-dan-aceh



[1]  Penulis adalah PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, sekaligus pemerhati hukum dan politik di Provinsi Aceh. Serta penulis buku “Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh”. Dapat dihubungi melalui sosial media: Cakra Arbas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar