Aceh dan (makna) 4 Desember
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh
sebagai satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait
dengan karakter khas sejarah perjuangan rakyat Aceh yang memiliki ketahanan dan
daya juang tinggi. Berbagai
literatur berulang kali menegaskan bahwasanya Aceh pada suatu masa telah
menjadi modal bagi Republik Indonesia, baik dari sisi ekonomi, maupun modal
dari sisi kedaulatan.
Dinamika Aceh
Daratan Aceh adalah satu-satunya daerah di
Indonesia yang masih utuh, tidak diduduki oleh Belanda. Oleh karenanya Aceh
disebut sebagai “Daerah Modal”, yang berarti daerah untuk meneruskan cita-cita
perjuangan kemerdekaan yang sedang dalam ancaman penjajah. Sebagaimana yang ditegaskan
oleh Presiden Republik Indonesia (Soekarno), pada tanggal 16 Juni 1948 dalam
rapat raksasa di Blang Padang, Banda Aceh. Berikut pernyataan Soekarno: “...Rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang yang paling gigih
menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh menentang
kolonialisme Belanda. Sekarang giliran kita mengusir penjajah Belanda dari bumi
persada tercinta ini. Dimana-mana Belanda sudah mendirikan negara boneka untuk
mengepung Republik Indonesia. Sudah waktunya sekarang pemuda-pemuda Aceh yang
berdarah pahlawan siap melakukan perang sabil untuk mengusir kaum penjajah dari
persada ibu pertiwi tercinta. Aceh adalah daerah modal. Modal dalam meneruskan
cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan modal dalam perjuangan mengusir kaum
penjajah dari halaman rumah kita”. (Tgk A.K. Jakobi, 1992:217-218)
Aceh
sebagai daerah modal, juga dapat ditelusuri dari beberapa faktor, diantaranya: (a). Rakyat Aceh secara antusias membeli
obligasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. (b). Banda Aceh (Kutaraja) juga pernah menjadi
ibukota darurat Republik Indonesia. (c). Rakyat Aceh
mengeluarkan dana berjumlah M$ 20.000.000,- untuk perbelanjaan Pemerintah Republik Indonesia. (d).
Rakyat Aceh juga memberikan sumbangan bagi perjuangan Republik Indonesia, yaitu
pembelian 2 (dua) buah pesawat terbang (pesawat itu diberi nomor registrasi
RI-001 dan diberi nama “Seulawah”). (e). Rakyat Aceh juga telah menyumbangkan 5 (lima) Kg
emas batangan untuk Pemerintah
Republik Indonesia di waktu itu. (M. Nur El Ibrahimy, 1986:43-47 dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1990:xi dan Hasan Saleh, 1992:114-116 dan Teuku Mohammad Ali Panglima Polim, 1996:57-68 dan
Tgk.
A.K. Jakobi, 1998:275-288 dan Ferry Mursydan Baldan, 2007:43 dan Tempo,
2011:60-63 dan Darmansjah Djumala, 2013:20-24)
Berbagai peristiwa tersebut
telah mengindikasikan Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia pada suatu masa memiliki
hubungan yang harmonis, khususnya di masa-masa awal kemerdekaan Republik
Indonesia. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, berbagai hubungan yang
harmonis tersebut berubah menjadi disharmonis, hal ini salah satunya disebabkan
karena inkonsistensinya Pemerintah Republik Indonesia dalam menetapkan
kebijakan untuk Aceh. Hubungan disharmonis ini dapat ditelusuri dari berbagai
rangkaian “konflik” yang berlangsung di Aceh paska Proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia, diantaranya: (a). Perang Cumbok (periode 1945 - 1946), (b).
Peristiwa Tgk. M. Daud Beure’euh (periode 1953 - 1962), (c). Peristiwa Hasan
Tiro (periode 1976 – 2005).
4 Desember 1976 atau 20 Mei 1977 ?
Hubungan disharmonis yang terakhir (sampai
Tahun 2005) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Aceh dipelopori oleh Hasan
Tiro. Bukan rahasia umum lagi, bahwa Hasan Tiro mengambil sikap yakni pada
tanggal 4 Desember 1976 memproklamirkan Aceh Merdeka.
Gerakan perlawanan ini selanjutnya dikenal sebagai ASNLF (Atjeh
Sumatera National Liberation Front), yang oleh rakyat Aceh lebih dikenal
dengan sebutan Atjeh Meurdeuka
kemudian dicap oleh Pemerintah sebagai GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro)
atau GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Juga selanjutnya dikenal dengan adagium “GAM (Gerakan
Aceh Merdeka)”.
Perkembangan paska diproklamirkannya GAM yang dipimpin
oleh Hasan Tiro, tanggal 4 Desember selalu dimaknai dan diperingati, baik
secara khusus oleh para pengikut GAM, maupun oleh rakyat Aceh umumnya. Hal ini
juga terus berlangsung, baik pra maupun paska lahirnya MoU Helsinki. Menarik
untuk kita bertanya, apa makna memperingati tanggal 4 Desember ?
Pada kesempatan yang sama, Al-Chaidar menyebutkan
bahwa Hasan Tiro memilih tanggal 4 Desember 1976 memproklamirkan GAM, hal ini
dilandasi untuk memperingati kematian kakeknya yakni Tgk Ma’at di Tiro yang
syahid pada tanggal 4 Desember 1911. (Al Chaidar, 1999:143)
Akan tetapi, patut juga untuk ditelaah pandangan Neta
S. Pane, dalam hal ini GAM bukan diproklamirkan pada tanggal 4 Desember 1976,
tetapi GAM diproklamirkan pada tanggal 20 Mei 1977, sebagaimana yang disebutkan
bahwa “… pada 20 Mei 1977 diadakan rapat
akbar di kaki Gunung Halimun, di Kabupaten Pidie. Dalam rapat akbar itu
berkumpul sejumlah tokoh dan pimpinan militer eks DI/TII, tokoh Republik Islam
Aceh, maupun pejabat Pemerintah. Setelah melalui dialog yang panjang selama 4
(empat) hari, mereka sepakat membangun kekuatan aliansi Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), maka tanggal 20 Mei 1977 dinyatakan sebagai hari proklamasi dan
kelahiran GAM…”. (Neta S. Pane, 2001:36). Hal senada turut diutarakan oleh
Nazaruddin Syamsuddin, bahwa “…seluruh
pemimpin gerakan yang ada di Sumatera Utara kembali ke Aceh dan masuk ke hutan
pada pertengahan Tahun 1977, hal ini yang menandai awal dari meletusnya
pemberontakan yang sesungguhnya…”. (Nazaruddin Sjamsuddin, 1989:72).
Menarik untuk ditelaah, yang perlu dipertanyakan saat
ini yaitu adanya berbagai bentuk peringatan yang dilakukan (baik oleh para
pengikut GAM, maupun oleh rakyat Aceh) setiap tanggal 4 Desember, merupakan sebagai
suatu bentuk untuk memperingati wafatnya kakek Hasan Tiro (Tgk Ma’at di Tiro)
atau dalam rangka memperingati hari diproklamirkannya GAM !
Terlepas dari diproklamirkannya GAM, baik tanggal 4
Desember 1976 maupun 20 Mei 1977, penulis menyadari bahwa secara umum dari berbagai
latar belakang lahirnya GAM, yang diutarakan oleh berbagai pakar maupun
pengamat. Dapat penulis simpulkan bahwa bermuara pada output yang sama, yaitu adanya suatu ekspresi dari rakyat Aceh yang
menginginkan perihal kebebasan, dalam mendirikan negara Aceh yang berdaulat dan
mandiri. Tentunya hal ini dapat diselaraskan dengan pandangan John Stuart Mill,
bahwa kebebasan adalah membatasi kekuasaan yang harus dipatuhi oleh penguasa,
membatasi tersebut diantaranya jika penguasa melanggar, maka dibenarkan adanya
perlawanan khusus atau pemberontakan umum yang dilakukan oleh warga masyarakat.
(John Stuart Mill, 1996:2-3)
Abu Minimi
Beberapa waktu belakangan ini, publik di Aceh seolah-olah
tersentak atas pernyataan sikap yang dilakukan oleh kelompok bersenjata api
yang dipimpin oleh Nurdin bin Ismail Amat alias Abu Minimi. Tepatnya pada 9
Oktober 2014 ada pernyataan pers via harian Serambi Indonesia, dalam hal ini
Abu Minimi menyatakan bahwa “…kami akan
melawan Pemerintah Aceh sampai darah kami habis, akan tetapi apabila tuntutan
kami dikabulkan, kami kembali ke masyarakat dan senjata kami serahkan ke aparat
kepolisian …tidak bermusuhan dengan aparat keamanan, pihaknya hanya melawan
pemerintah yang menurutnya hanya memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan
kehidupan rakyatnya”. (Serambi Indonesia, 11 Oktober 2014)
Walaupun pernyataan pers tersebut dilandasi dari berbagai
argumentasi, serta berbagai faktor yang melatarbelakanginya, biarlah faktor
alam yang akan menentukan, apakah tanggal pernyataan pers dari Abu Minimi
tersebut suatu hari nanti akan dijadikan sebagai momentum “peringatan” demi
peringatan di Aceh pada hari-hari yang
akan datang ? Lantas, apakah akan ada peringatan serupa lainnya di Aceh dalam rangka memperingati
tanggal-tanggal yang dinilai mempunyai makna historis ? wallahu’alam bishawaf.
Tuisan ini juga dimuat pada Harian Aceh, dengan link http://www.harianaceh.co.id/opini/46434/aceh-dan-makna-4-desember-1976
[1]
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, bekerja sebagai
PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, sekaligus pemerhati hukum dan politik di Provinsi
Aceh. Serta penulis
buku “Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh”.
Dapat dihubungi melalui sosial
media: Cakra Arbas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar