Jumat, 06 Februari 2015

Aceh dan (makna) 4 Desember

Aceh dan (makna) 4 Desember
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan rakyat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Berbagai literatur berulang kali menegaskan bahwasanya Aceh pada suatu masa telah menjadi modal bagi Republik Indonesia, baik dari sisi ekonomi, maupun modal dari sisi kedaulatan.

Dinamika Aceh
Daratan Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang masih utuh, tidak diduduki oleh Belanda. Oleh karenanya Aceh disebut sebagai “Daerah Modal”, yang berarti daerah untuk meneruskan cita-cita perjuangan kemerdekaan yang sedang dalam ancaman penjajah. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Presiden Republik Indonesia (Soekarno), pada tanggal 16 Juni 1948 dalam rapat raksasa di Blang Padang, Banda Aceh. Berikut pernyataan Soekarno: “...Rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang yang paling gigih menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh menentang kolonialisme Belanda. Sekarang giliran kita mengusir penjajah Belanda dari bumi persada tercinta ini. Dimana-mana Belanda sudah mendirikan negara boneka untuk mengepung Republik Indonesia. Sudah waktunya sekarang pemuda-pemuda Aceh yang berdarah pahlawan siap melakukan perang sabil untuk mengusir kaum penjajah dari persada ibu pertiwi tercinta. Aceh adalah daerah modal. Modal dalam meneruskan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan modal dalam perjuangan mengusir kaum penjajah dari halaman rumah kita”. (Tgk A.K. Jakobi, 1992:217-218)
Aceh sebagai daerah modal, juga dapat ditelusuri dari beberapa faktor, diantaranya: (a). Rakyat Aceh secara antusias membeli obligasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. (b). Banda Aceh (Kutaraja) juga pernah menjadi ibukota darurat Republik Indonesia. (c). Rakyat Aceh mengeluarkan dana berjumlah M$ 20.000.000,- untuk perbelanjaan Pemerintah Republik Indonesia. (d). Rakyat Aceh juga memberikan sumbangan bagi perjuangan Republik Indonesia, yaitu pembelian 2 (dua) buah pesawat terbang (pesawat itu diberi nomor registrasi RI-001 dan diberi nama “Seulawah”). (e). Rakyat Aceh juga telah menyumbangkan 5 (lima) Kg emas batangan untuk Pemerintah Republik Indonesia di waktu itu. (M. Nur El Ibrahimy, 1986:43-47 dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1990:xi dan Hasan Saleh, 1992:114-116 dan Teuku Mohammad Ali Panglima Polim, 1996:57-68 dan Tgk. A.K. Jakobi, 1998:275-288 dan Ferry Mursydan Baldan, 2007:43 dan Tempo, 2011:60-63 dan Darmansjah Djumala, 2013:20-24)
Berbagai peristiwa tersebut telah mengindikasikan Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia pada suatu masa memiliki hubungan yang harmonis, khususnya di masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, berbagai hubungan yang harmonis tersebut berubah menjadi disharmonis, hal ini salah satunya disebabkan karena inkonsistensinya Pemerintah Republik Indonesia dalam menetapkan kebijakan untuk Aceh. Hubungan disharmonis ini dapat ditelusuri dari berbagai rangkaian “konflik” yang berlangsung di Aceh paska Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, diantaranya: (a). Perang Cumbok (periode 1945 - 1946), (b). Peristiwa Tgk. M. Daud Beure’euh (periode 1953 - 1962), (c). Peristiwa Hasan Tiro (periode 1976 – 2005).

4 Desember 1976 atau  20 Mei 1977 ?
Hubungan disharmonis yang terakhir (sampai Tahun 2005) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Aceh dipelopori oleh Hasan Tiro. Bukan rahasia umum lagi, bahwa Hasan Tiro mengambil sikap yakni pada tanggal 4 Desember 1976 memproklamirkan Aceh Merdeka. Gerakan perlawanan ini selanjutnya dikenal sebagai ASNLF (Atjeh Sumatera National Liberation Front), yang oleh rakyat Aceh lebih dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdeuka kemudian dicap oleh Pemerintah sebagai GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) atau GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Juga selanjutnya dikenal dengan adagium “GAM (Gerakan Aceh Merdeka)”.
Perkembangan paska diproklamirkannya GAM yang dipimpin oleh Hasan Tiro, tanggal 4 Desember selalu dimaknai dan diperingati, baik secara khusus oleh para pengikut GAM, maupun oleh rakyat Aceh umumnya. Hal ini juga terus berlangsung, baik pra maupun paska lahirnya MoU Helsinki. Menarik untuk kita bertanya, apa makna memperingati tanggal  4 Desember ?
Pada kesempatan yang sama, Al-Chaidar menyebutkan bahwa Hasan Tiro memilih tanggal 4 Desember 1976 memproklamirkan GAM, hal ini dilandasi untuk memperingati kematian kakeknya yakni Tgk Ma’at di Tiro yang syahid pada tanggal 4 Desember 1911. (Al Chaidar, 1999:143)
Akan tetapi, patut juga untuk ditelaah pandangan Neta S. Pane, dalam hal ini GAM bukan diproklamirkan pada tanggal 4 Desember 1976, tetapi GAM diproklamirkan pada tanggal 20 Mei 1977, sebagaimana yang disebutkan bahwa “… pada 20 Mei 1977 diadakan rapat akbar di kaki Gunung Halimun, di Kabupaten Pidie. Dalam rapat akbar itu berkumpul sejumlah tokoh dan pimpinan militer eks DI/TII, tokoh Republik Islam Aceh, maupun pejabat Pemerintah. Setelah melalui dialog yang panjang selama 4 (empat) hari, mereka sepakat membangun kekuatan aliansi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka tanggal 20 Mei 1977 dinyatakan sebagai hari proklamasi dan kelahiran GAM…”. (Neta S. Pane, 2001:36). Hal senada turut diutarakan oleh Nazaruddin Syamsuddin, bahwa “…seluruh pemimpin gerakan yang ada di Sumatera Utara kembali ke Aceh dan masuk ke hutan pada pertengahan Tahun 1977, hal ini yang menandai awal dari meletusnya pemberontakan yang sesungguhnya…”. (Nazaruddin Sjamsuddin, 1989:72).
Menarik untuk ditelaah, yang perlu dipertanyakan saat ini yaitu adanya berbagai bentuk peringatan yang dilakukan (baik oleh para pengikut GAM, maupun oleh rakyat Aceh) setiap tanggal 4 Desember, merupakan sebagai suatu bentuk untuk memperingati wafatnya kakek Hasan Tiro (Tgk Ma’at di Tiro) atau dalam rangka memperingati hari diproklamirkannya GAM !
Terlepas dari diproklamirkannya GAM, baik tanggal 4 Desember 1976 maupun 20 Mei 1977, penulis menyadari bahwa secara umum dari berbagai latar belakang lahirnya GAM, yang diutarakan oleh berbagai pakar maupun pengamat. Dapat penulis simpulkan bahwa bermuara pada output yang sama, yaitu adanya suatu ekspresi dari rakyat Aceh yang menginginkan perihal kebebasan, dalam mendirikan negara Aceh yang berdaulat dan mandiri. Tentunya hal ini dapat diselaraskan dengan pandangan John Stuart Mill, bahwa kebebasan adalah membatasi kekuasaan yang harus dipatuhi oleh penguasa, membatasi tersebut diantaranya jika penguasa melanggar, maka dibenarkan adanya perlawanan khusus atau pemberontakan umum yang dilakukan oleh warga masyarakat. (John Stuart Mill, 1996:2-3)

Abu Minimi
Beberapa waktu belakangan ini, publik di Aceh seolah-olah tersentak atas pernyataan sikap yang dilakukan oleh kelompok bersenjata api yang dipimpin oleh Nurdin bin Ismail Amat alias Abu Minimi. Tepatnya pada 9 Oktober 2014 ada pernyataan pers via harian Serambi Indonesia, dalam hal ini Abu Minimi menyatakan bahwa “…kami akan melawan Pemerintah Aceh sampai darah kami habis, akan tetapi apabila tuntutan kami dikabulkan, kami kembali ke masyarakat dan senjata kami serahkan ke aparat kepolisian …tidak bermusuhan dengan aparat keamanan, pihaknya hanya melawan pemerintah yang menurutnya hanya memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan kehidupan rakyatnya”. (Serambi Indonesia, 11 Oktober 2014)
Walaupun pernyataan pers tersebut dilandasi dari berbagai argumentasi, serta berbagai faktor yang melatarbelakanginya, biarlah faktor alam yang akan menentukan, apakah tanggal pernyataan pers dari Abu Minimi tersebut suatu hari nanti akan dijadikan sebagai momentum “peringatan” demi peringatan di Aceh  pada hari-hari yang akan datang ? Lantas, apakah akan ada peringatan serupa  lainnya di Aceh dalam rangka memperingati tanggal-tanggal yang dinilai mempunyai makna historis ? wallahu’alam bishawaf.
Tuisan ini juga dimuat pada Harian Aceh, dengan link  http://www.harianaceh.co.id/opini/46434/aceh-dan-makna-4-desember-1976



[1]  Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, bekerja sebagai PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, sekaligus pemerhati hukum dan politik di Provinsi Aceh. Serta penulis buku “Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh”. Dapat dihubungi melalui sosial media: Cakra Arbas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar