Jumat, 06 Februari 2015

Apa Kabar Janji Indonesia Untuk Aceh ?

Apa Kabar Janji Indonesia Untuk Aceh ?
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Hari-hari belakangan ini publik di Indonesia seakan terlena mengikuti drama lama namun dengan tema yang baru, khususnya mengenai peristiwa hukum yang menimpa para petinggi Lembaga Negara. Sejalan dengan berbagai peristiwa hukum tersebut, patut juga ditelaah dalam rangka review 100 (seratus) hari Pemerintahan Joko Widodo dan Jusu Kalla. Melalui tulisan ini penulis ingin mengajak seluruh masyarakat dan segenap stakeholder yang berkepentingan di Aceh, agar menelaah perjalanan Pemerintahan saat ini dari paradigma yang lain. Khususnya berdasarkan paradigma mengenai perihal janji-janji dalam konteks politik hukum, oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah dan masyarkat Aceh.

Janji Yang Pernah Diingkari
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejarah perjalanan ketatanegaraan di Indonesia telah menorehkan tintanya, yang mana pada masing-masing era Pemerintahan selalu saja ada inkonsistensi untuk menepati janji-janji dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Jika dalam hal ini penulis terpaksa menyinggung hal-hal yang telah terbenam dalam sejarah, sama sekali  tidak bermaksud hendak membangkit-bangkitkan batang terendam, jauh panggang dari api. Akan tetapi, hal ini merupakan pengajian sejarah semata yang harus kita telaah untuk dapat memahami secara jelas persoalan yang sedang dihadapi.
Penulis mencatat hal ini diawali ketika Soekarno berjanji di awal kemerdekaan Republik Indonesia untuk memberikan Aceh sebagai daerah otonom, tetapi hal ini baru dapat direalisasikan pada Tahun 1956 melalui UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Bagi Provinsi Aceh. Diujung Pemerintahannya Soekarno kembali mengulang janjinya melalui Perdana Menteri (Hardi), bahwa untuk meredam berbagai konflik yang masih berlansung di bumi Serambi Mekkah, salah satu pendekatan yang dilakukan adalah dengan memberikan status Aceh sebagai daerah otonom yang bersifat istimewa, melalui SK No.1/Missi/1959, tetapi hal ini juga baru dapat direalisasikan dalam tempo 40 (empat puluh) Tahun kemudian, melalui lahirnya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Lihat dalam Departemen Pendikan dan Kebudayaan : 1977, dan Hardi : 1983, dan M. Nur El-Ibrahimy : 1986)
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menegaskan pentingnya mengulang sejarah masa lalu, sebagimana penggalan pidato Soekarno pada saat HUT Republik Indonesia ke-21 (Tahun 1966) diantaranya bahwa “…bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya … janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari pada masa yang akan datang”.

Janji Yang Saat Ini Dinanti
Dalam konteks perkembangan politik hukum, Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memerlukan berbagai peraturan turunan (Organieke Verordening), dalam rangka mengimplementasikannya. Penulis patut menyayangkan, bahwa sampai akhir kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (Presiden dan Wakil Presiden periode 2004-2009), serta sampai akhir masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono (Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014) masih ada beberapa peraturan turunan (Organieke Verordening) dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang belum direalisasikan.
Adapun berbagai peraturan turunan tersebut diantaranya: Pertama. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur (Pasal 43 ayat 6), Kedua. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan Pegawai Negeri Sipil Aceh/Kabupaten/Kota (Pasal 124), Ketiga. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi (Pasal 160 ayat 5), Keempat. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang nama dan gelar pejabat pemerintahan Aceh (Pasal 251 ayat 3), Kelima. Rancangan Peraturan Presiden tentang pengalihan kantor Badan Pertanahan Nasional (Pasal 253 ayat 2), Keenam. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang penyerahan, prasarana, pendanaan, personil, dan dokumen yang berkaitan dengan Pelabuhan dan Bandar Udara Umum (Pasal 264), Ketujuh. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional (Pasal 270).
Penulis menelaah bahwa masih adanya berbagai peraturan turunan yang belum direalisasi meskipun saat ini telah memasuki Tahun ke- 9 (sembilan) paska lahirnya UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi shock of paradigma (ketergoncangan paradigma), bagi stakeholder yang berkepentingan di Aceh. Seyogyanya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat saling bersikap kooperatif dengan memperhatikan dan menimbang perihal yang semestinya sudah diimplementasikan.

Inkonsistensi Pemerintah Pusat Terhadap Aceh
20 Oktober 2014, telah membuka lembaran baru sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Ketujuh untuk periode 2014-2019. Adanya pemimpin baru tentu berbanding lurus dengan berbagai harapan baru  sekaligus ekspektasi yang dicita-citakan oleh segenap masyarakat Aceh.
Tidak lama berselang, masyarakat Aceh pun serasa diberikan “angin surga” oleh Wapres (Jusuf Kalla), sebagaimana yang diekspose oleh berbagai media cetak terbitan lokal, bahwa “Jusuf Kalla berjanji selesaikan RPP turunan UU Pemerintahan Aceh akhir tahun ini (2014)”. Pada posisi ini masyarakat penuh keyakinan bahwa kehadiran pemimpin yang baru benar-benar akan membawa dampak positif bagi penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.
Hari berganti hari hingga sampai pada hari terakhir di Tahun 2014, ternyata janji Jusuf Kalla untuk menuntaskan seluruh RPP turunan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak jua terealisasi. Bahkan yang lebih miris lagi, sampai minggu terakhir di bulan Januari 2015 mengenai janji tersebut tidak terdengar “kabar burungnya”. Menelaah realita tersebut, tidak ada salahnya penulis mengutip jargon yang berkembang dewasa ini, bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah berposisi sebagai PHP (Pemberi Harapan Palsu) untuk masyarakat Aceh.
Sampai kapan Pemerintah Pusat ingin mempermainkan Aceh melalui janji-janjinya ? bukankah sejarah telah membuktikan, adanya inkonsistensi Pemerintah Pusat dalam menetapkan kebijakannya untuk Aceh, hal ini secara integral akan memberikan dampak negatif dalam perkembangan situasi dan kondisi di Aceh ? Tidak kalah pentingnya, secara umum kita juga perlu untuk menyimak bagaimanakah situasi dan kondisi Aceh kedepannya, apakah pada periode Joko Widodo dan Jusuf Kalla, situasi dan kondisi Aceh akan tetap kondusif, damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat !!! Wallahu’alam bishawaf.
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 4 Februari 2015, dengan link http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41041:apa-kabar-janji-untuk-aceh&catid=59:opini&Itemid=215




[1]  Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, bekerja sebagai PNS pada Pemkab Aceh Tamiang. Dapat dihubungi melalui media sosial: Cakra Arbas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar