Apa Kabar Janji
Indonesia Untuk Aceh ?
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Hari-hari belakangan ini publik di Indonesia seakan
terlena mengikuti drama lama namun dengan tema yang baru, khususnya mengenai
peristiwa hukum yang menimpa para petinggi Lembaga Negara. Sejalan
dengan berbagai peristiwa hukum tersebut, patut juga ditelaah dalam rangka review
100 (seratus) hari Pemerintahan Joko Widodo dan Jusu Kalla. Melalui tulisan ini penulis ingin mengajak seluruh
masyarakat dan segenap stakeholder
yang berkepentingan di Aceh, agar menelaah perjalanan Pemerintahan saat ini
dari paradigma yang lain. Khususnya berdasarkan paradigma mengenai perihal
janji-janji dalam konteks politik hukum, oleh Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah dan masyarkat Aceh.
Janji Yang Pernah Diingkari
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejarah perjalanan
ketatanegaraan di Indonesia telah menorehkan tintanya, yang mana pada
masing-masing era Pemerintahan selalu saja ada inkonsistensi untuk menepati
janji-janji dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Jika dalam hal
ini penulis terpaksa menyinggung hal-hal yang telah terbenam dalam sejarah,
sama sekali tidak bermaksud hendak
membangkit-bangkitkan batang terendam, jauh panggang dari api. Akan tetapi, hal
ini merupakan pengajian sejarah semata yang harus kita telaah untuk dapat
memahami secara jelas persoalan yang sedang dihadapi.
Penulis mencatat hal ini diawali ketika Soekarno
berjanji di awal kemerdekaan Republik Indonesia untuk memberikan Aceh sebagai
daerah otonom, tetapi hal ini baru dapat direalisasikan pada Tahun 1956 melalui
UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Bagi Provinsi Aceh.
Diujung Pemerintahannya Soekarno kembali mengulang janjinya melalui Perdana
Menteri (Hardi), bahwa untuk meredam berbagai konflik yang masih berlansung di
bumi Serambi Mekkah, salah satu pendekatan yang dilakukan adalah dengan
memberikan status Aceh sebagai daerah otonom yang bersifat istimewa, melalui SK
No.1/Missi/1959, tetapi hal ini juga baru dapat direalisasikan dalam tempo 40
(empat puluh) Tahun kemudian, melalui lahirnya UU No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Lihat dalam
Departemen Pendikan dan Kebudayaan : 1977, dan Hardi : 1983, dan M. Nur
El-Ibrahimy : 1986)
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menegaskan
pentingnya mengulang sejarah masa lalu, sebagimana penggalan pidato Soekarno
pada saat HUT Republik Indonesia ke-21 (Tahun 1966) diantaranya bahwa “…bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai sejarah bangsanya … janganlah melihat ke masa depan dengan mata
buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari
pada masa yang akan datang”.
Janji Yang Saat Ini Dinanti
Dalam konteks perkembangan politik hukum, Undang-Undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memerlukan berbagai peraturan
turunan (Organieke Verordening),
dalam rangka mengimplementasikannya. Penulis patut menyayangkan, bahwa sampai
akhir kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (Presiden dan Wakil
Presiden periode 2004-2009), serta sampai akhir masa kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Boediono (Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014)
masih ada beberapa peraturan turunan (Organieke
Verordening) dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
yang belum direalisasikan.
Adapun berbagai peraturan turunan tersebut diantaranya:
Pertama. Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang tata
cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur (Pasal 43 ayat 6), Kedua. Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan Pegawai Negeri
Sipil Aceh/Kabupaten/Kota (Pasal 124), Ketiga.
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan sumber daya alam minyak dan
gas bumi (Pasal 160 ayat 5), Keempat.
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang nama dan gelar pejabat pemerintahan Aceh
(Pasal 251 ayat 3), Kelima. Rancangan
Peraturan Presiden tentang pengalihan kantor Badan Pertanahan Nasional (Pasal
253 ayat 2), Keenam. Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang penyerahan, prasarana, pendanaan, personil, dan
dokumen yang berkaitan dengan Pelabuhan dan Bandar Udara Umum (Pasal 264), Ketujuh. Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional (Pasal 270).
Penulis menelaah bahwa masih adanya berbagai peraturan
turunan yang belum direalisasi meskipun saat ini telah memasuki Tahun ke- 9
(sembilan) paska lahirnya UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, hal
ini mengindikasikan bahwa telah terjadi shock
of paradigma (ketergoncangan paradigma), bagi stakeholder yang berkepentingan di Aceh. Seyogyanya Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Aceh dapat saling bersikap kooperatif dengan memperhatikan
dan menimbang perihal yang semestinya sudah diimplementasikan.
Inkonsistensi Pemerintah
Pusat Terhadap Aceh
20 Oktober 2014, telah membuka lembaran baru sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Ketujuh untuk periode
2014-2019. Adanya pemimpin baru tentu berbanding lurus dengan berbagai harapan
baru sekaligus ekspektasi yang
dicita-citakan oleh segenap masyarakat Aceh.
Tidak lama berselang, masyarakat Aceh pun serasa
diberikan “angin surga” oleh Wapres (Jusuf Kalla), sebagaimana yang diekspose
oleh berbagai media cetak terbitan lokal, bahwa “Jusuf Kalla berjanji selesaikan RPP turunan UU Pemerintahan Aceh akhir tahun ini (2014)”. Pada posisi ini masyarakat penuh keyakinan bahwa
kehadiran pemimpin yang baru benar-benar akan membawa dampak positif bagi
penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.
Hari berganti hari hingga sampai pada hari terakhir di
Tahun 2014, ternyata janji Jusuf Kalla untuk menuntaskan seluruh RPP turunan UU
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak jua terealisasi. Bahkan yang
lebih miris lagi, sampai minggu terakhir di bulan Januari 2015 mengenai janji
tersebut tidak terdengar “kabar burungnya”. Menelaah realita tersebut, tidak
ada salahnya penulis mengutip jargon yang berkembang dewasa ini, bahwa
Pemerintah Republik Indonesia telah berposisi sebagai PHP (Pemberi Harapan
Palsu) untuk masyarakat Aceh.
Sampai kapan Pemerintah Pusat ingin mempermainkan Aceh
melalui janji-janjinya ? bukankah sejarah telah membuktikan, adanya
inkonsistensi Pemerintah Pusat dalam menetapkan kebijakannya untuk Aceh, hal
ini secara integral akan memberikan dampak negatif dalam perkembangan situasi
dan kondisi di Aceh ? Tidak kalah pentingnya, secara umum kita juga perlu untuk
menyimak bagaimanakah situasi dan kondisi Aceh kedepannya, apakah pada periode
Joko Widodo dan Jusuf Kalla, situasi dan kondisi Aceh akan tetap kondusif,
damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat !!! Wallahu’alam bishawaf.
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Waspada, Rabu 4 Februari 2015, dengan link http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41041:apa-kabar-janji-untuk-aceh&catid=59:opini&Itemid=215
[1]
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, bekerja sebagai
PNS pada Pemkab Aceh Tamiang. Dapat dihubungi melalui media sosial: Cakra Arbas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar