Pengulangan
Peristiwa (POLRI - KPK) Dalam Hukum
dan Politik
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Awal Tahun 2015, publik Indonesia kembali
dipertontonkan oleh pemberitaan di media masa mengenai elite-elite
penyelenggara negara yang tertimpa peristiwa hukum. Dimulai pada tanggal 13
Januari 2015, ketika KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Tersangka,
hingga yang terkini tepatnya pada tanggal 23 Januari 2015, POLRI (melalui
Bareskrim) menetapkan Bambang Widjojanto (BW) sebagai Tersangka.
Berbagai rentetan peristiwa inilah yang mendasari
asumsi masyarakat awam, bahwa beberapa peristiwa hukum tersebut terdapat benang
merah, atau adanya saling keterkaitan antara satu dan lainnya. Lantas, benarkah
asumsi yang berkembang dalam pikiran masyarakat tersebut ?
Pengulangan Peristiwa (POLRI
- KPK)
Apa yang terjadi di bulan Januari ini dalam konteks
penegakan hukum, tidak dapat dipisahkan dari hegemoni keberadaan Lembaga Negara
(POLRI - KPK), walaupun indikasi peristiwa hukum tidak mengatasnamakan Lembaga
Negara, tetapi person yang ditetapkan
sebagai Tersangka, melekat pada dirinya kedudukan sebagai salah satu
penyelenggaraan negara khususnya dalam hal penegakan hukum.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa ini bukanlah
peristiwa pertama antara person yang
ada di POLRI maupun KPK yang sama-sama saling tersandung peristiwa hukum.
Publik di Indonesia tentu masih mengingat betul, bagaimana di Tahun 2009 ada trending topic yang beredar luas
dimasyarakat, yaitu “Cicak vs Buaya”. Sekedar mendeskripsikan, bahwa peristiwa
ini melibatkan antara Komjen Susno Duaji (SD) dengan para pimpinan KPK Bibid
Samad (BS) dan Chandra Hamzah (CH).
Tidak lama berselang, bukannya belajar dari pengalaman
“Cicak vs Buaya” masyarakat kembali dipertontonkan mengenai aksi-aksi dari para
penegak hukum, yang sepatutnya menjadi suri tauladan bagi instansi yang ada di
bawahnya, tetapi malah justru sebaliknya. Hal ini dapat ditelaah berdasarkan
apa yang terjadi di Tahun 2012, ketika Irjen Djoko Susilo (DS) tertimpa
peristiwa hukum, maka dalam rentang waktu yang tidak lama berselang, adanya
salah satu penyidik KPK yang ditetapkan Tersangka oleh POLRI, yaitu Kompol
Novel Baswedan (NB).
Pada satu sisi, menelaah berbagai peristiwa hukum yang
menimpa penyelenggara negara tentunya masyarakat juga harus menyadari bahwa
berbagai peristiwa ini bukanlah hal yang tanpa alasan, melainkan didasarkan
pada alat bukti yang sah. Masih pada kesempatan yang sama masyarakat juga patut
berbangga, ternyata hukum di Indonesia tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Artinya, siapapun orangnya dan apapun kedudukannya serta sebanyak apapun harta
yang dimilikinya, selalu ada saja kemungkinan untuk tertimpa peristiwa hukum.
Akan tetapi, dari sudut pandang yang lain masyarakat
juga mulai gerah dan bosan dengan berbagai adegan-adegan dari penyelenggara
negara yang saling menunjukkan power
antara satu sama lain. Mengapa Lembaga Negara yang konsen terhadap penegakan
hukum justru tidak dapat saling berkoordinasi ? justru mengapa harus
sebaliknya, Lembaga Negara tersebut saling menjatuhkan antara satu dan lainya ?
bukankah esensi dari keberadaan Lembaga Negara tersebut untuk mengakkan hukum ?
Hukum dan Politik
Becermin dari berbagai peristiwa hukum yang melibatkan
person dalam Lembaga Negara, masyarakat selalu
mengindikasikan perihal tersebut tidak dapat dipisahkan dari nuansa politis.
Dalam hal ini penulis ingin mengutarakan pandangan Mahfud MD, yang menyatakan
bahwa hukum dan politik akan saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat melalui
3 (tiga) faktor, diantaranya:
Pertama, Hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa
kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan
hukum. Kedua, Politik determinan atas
hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, Hukum dan politik sebagai
subsistem kemasyarakatan, berada pada posisi yang derajat determinasinya
seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum produk
keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus
tunduk pada aturan-aturan hukum. (Mahfud MD, 2011 : 16)
Lebih lanjut Bernard L Tanya mengungkapkan posisi hukum dalam politik
hukum dapat ditelaah dengan beberapa unsur, yaitu:
Pertama, Hukum berposisi sebagai instrumen, ia merupakan alat
yang dipakai untuk mewujudkan tujuan. Mutu hukum penting karena harus mengatur
dan sekaligus mengarahkan banyak hal yang dianggap “minus”. Kapabilitasnya juga
harus terjamin karena harus mampu menggerakkan perubahan dari yang “minus”
menjadi “plus”. Kedua, Hukum sebagai
pembawa misi, menjadi wadah yang menampung segala keinginan dan aspirasi
mengenai berbagai hal yang ingin ditata dan dicapai. Ketiga, Hukum adalah piranti managemen, karena menata kepentingan-kepentingan
secara adil, menetapkan apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan, mengatur hak dan kewajiban individu/kelompok/lembaga, menyiapkan
sanksi, dan dilengkapi lembaga/aparat penegaknya. (Bernard L. Tanya, 2011 : 11)
Paradigma Penyelenggaraan
Negara
Belajar dari berbagai peritiwa yang terus mengalami
pengulangan dari masing-masing masanya, maka dalam hal ini penulis ingin
mengajak seluruh stakeholder yang
berkepentingan, khususnya Lembaga Negara yang konsen pada penegakan hukum. Hendaknya
didalam penyelenggaraan negara memiliki paradigma yang sama, dan saling
berkoordinasi, serta saling support antara satu dan lainnya. Dalam hal ini mengutip
dari pandangan M. Solly Lubis, bahwa ada
3 (tiga) bentuk paradigma dalam konsep bernegara, yaitu:
Pertama, Paradigma filosofis (philosophical paradigma), yakni berupa nilai-nilai filosofis yang
terdapat mengakar sebagai satu sistem nilai dalam masyarakat bangsa, yang
secara bernegara, semula diabstraksikan oleh founding fathers dari sistem budaya bangsa. Selanjutnya diulangkan
menjadi ideologi atau dasar negara, seterusnya diderivasi dan dijabarkan ke
dalam sistem kehidupan nasional, hingga tercermin dalam sistem kehidupan
termasuk semua subsistem kehidupan nasional tersebut. Kedua, Paradigma Yuridis (juridical
paradigma), yakni segala sesuatunya berdasarkan konstitusi. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan acuan hukum tertinggi dan
membawahi aturan hukum lainnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 juga memiliki political
messages yakni amanat-amanat kebijakan dalam pasal-pasalnya. Ketiga, Paradigma politis (political paradigma) yakni berupa
derivat dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, berupa rumusan kebijakan mengenai pengelolaan Pemerintahan dan
pembangunan nasional. (M. Solly Lubis, 2011 : 81)
Semoga dengan adanya koordinasi, saling support antara
satu Lembaga Negara dan lainnya, serta dengan berparadigma yang sama dalam
penyelenggaraan negara, masyarakat
Indonesia tidak lagi diperlihatkan mengenai adegan-adegan yang sama di
masa-masa yang akan datang, dan yang lebih penting adalah seluruh masyarakat
Indonesia wajib mendukung serta mengawal setiap pemberantasan tindak pidana
korupsi yang ditangani oleh Lembaga Negara apapun. (semoga)
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Aceh, dengan link http://www.harianaceh.co.id/opini/80226/pengulangan-peristiwa-polri-vs-kpk-dalam-hukum-dan-politik
[1]
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, bekerja sebagai
PNS pada Pemkab Aceh Tamiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar