Jumat, 06 Februari 2015

Pengulangan Peristiwa (POLRI - KPK) Dalam Hukum dan Politik

Pengulangan Peristiwa (POLRI - KPK) Dalam Hukum dan Politik
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Awal Tahun 2015, publik Indonesia kembali dipertontonkan oleh pemberitaan di media masa mengenai elite-elite penyelenggara negara yang tertimpa peristiwa hukum. Dimulai pada tanggal 13 Januari 2015, ketika KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Tersangka, hingga yang terkini tepatnya pada tanggal 23 Januari 2015, POLRI (melalui Bareskrim) menetapkan Bambang Widjojanto (BW) sebagai Tersangka.
Berbagai rentetan peristiwa inilah yang mendasari asumsi masyarakat awam, bahwa beberapa peristiwa hukum tersebut terdapat benang merah, atau adanya saling keterkaitan antara satu dan lainnya. Lantas, benarkah asumsi yang berkembang dalam pikiran masyarakat tersebut ?

Pengulangan Peristiwa (POLRI - KPK)
Apa yang terjadi di bulan Januari ini dalam konteks penegakan hukum, tidak dapat dipisahkan dari hegemoni keberadaan Lembaga Negara (POLRI - KPK), walaupun indikasi peristiwa hukum tidak mengatasnamakan Lembaga Negara, tetapi person yang ditetapkan sebagai Tersangka, melekat pada dirinya kedudukan sebagai salah satu penyelenggaraan negara khususnya dalam hal penegakan hukum.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa ini bukanlah peristiwa pertama antara person yang ada di POLRI maupun KPK yang sama-sama saling tersandung peristiwa hukum. Publik di Indonesia tentu masih mengingat betul, bagaimana di Tahun 2009 ada trending topic yang beredar luas dimasyarakat, yaitu “Cicak vs Buaya”. Sekedar mendeskripsikan, bahwa peristiwa ini melibatkan antara Komjen Susno Duaji (SD) dengan para pimpinan KPK Bibid Samad (BS) dan Chandra Hamzah (CH).
Tidak lama berselang, bukannya belajar dari pengalaman “Cicak vs Buaya” masyarakat kembali dipertontonkan mengenai aksi-aksi dari para penegak hukum, yang sepatutnya menjadi suri tauladan bagi instansi yang ada di bawahnya, tetapi malah justru sebaliknya. Hal ini dapat ditelaah berdasarkan apa yang terjadi di Tahun 2012, ketika Irjen Djoko Susilo (DS) tertimpa peristiwa hukum, maka dalam rentang waktu yang tidak lama berselang, adanya salah satu penyidik KPK yang ditetapkan Tersangka oleh POLRI, yaitu Kompol Novel Baswedan (NB).
Pada satu sisi, menelaah berbagai peristiwa hukum yang menimpa penyelenggara negara tentunya masyarakat juga harus menyadari bahwa berbagai peristiwa ini bukanlah hal yang tanpa alasan, melainkan didasarkan pada alat bukti yang sah. Masih pada kesempatan yang sama masyarakat juga patut berbangga, ternyata hukum di Indonesia tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Artinya, siapapun orangnya dan apapun kedudukannya serta sebanyak apapun harta yang dimilikinya, selalu ada saja kemungkinan untuk tertimpa peristiwa hukum.
Akan tetapi, dari sudut pandang yang lain masyarakat juga mulai gerah dan bosan dengan berbagai adegan-adegan dari penyelenggara negara yang saling menunjukkan power antara satu sama lain. Mengapa Lembaga Negara yang konsen terhadap penegakan hukum justru tidak dapat saling berkoordinasi ? justru mengapa harus sebaliknya, Lembaga Negara tersebut saling menjatuhkan antara satu dan lainya ? bukankah esensi dari keberadaan Lembaga Negara tersebut untuk mengakkan hukum ?

Hukum dan Politik
Becermin dari berbagai peristiwa hukum yang melibatkan person dalam  Lembaga Negara, masyarakat selalu mengindikasikan perihal tersebut tidak dapat dipisahkan dari nuansa politis. Dalam hal ini penulis ingin mengutarakan pandangan Mahfud MD, yang menyatakan bahwa hukum dan politik akan saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat melalui 3 (tiga) faktor, diantaranya:
Pertama, Hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, Politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan, berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. (Mahfud MD, 2011 : 16)
Lebih lanjut Bernard L Tanya  mengungkapkan posisi hukum dalam politik hukum dapat ditelaah dengan beberapa unsur, yaitu:
Pertama, Hukum berposisi sebagai instrumen, ia merupakan alat yang dipakai untuk mewujudkan tujuan. Mutu hukum penting karena harus mengatur dan sekaligus mengarahkan banyak hal yang dianggap “minus”. Kapabilitasnya juga harus terjamin karena harus mampu menggerakkan perubahan dari yang “minus” menjadi “plus”. Kedua, Hukum sebagai pembawa misi, menjadi wadah yang menampung segala keinginan dan aspirasi mengenai berbagai hal yang ingin ditata dan dicapai. Ketiga, Hukum adalah piranti managemen, karena menata kepentingan-kepentingan secara adil, menetapkan apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, mengatur hak dan kewajiban individu/kelompok/lembaga, menyiapkan sanksi, dan dilengkapi lembaga/aparat penegaknya. (Bernard L. Tanya, 2011 : 11)

Paradigma Penyelenggaraan Negara
Belajar dari berbagai peritiwa yang terus mengalami pengulangan dari masing-masing masanya, maka dalam hal ini penulis ingin mengajak seluruh stakeholder yang berkepentingan, khususnya Lembaga Negara yang konsen pada penegakan hukum. Hendaknya didalam penyelenggaraan negara memiliki paradigma yang sama, dan saling berkoordinasi, serta saling support antara satu dan lainnya. Dalam hal ini mengutip dari pandangan M. Solly Lubis,  bahwa ada 3 (tiga) bentuk paradigma dalam konsep bernegara, yaitu:
Pertama, Paradigma filosofis (philosophical paradigma), yakni berupa nilai-nilai filosofis yang terdapat mengakar sebagai satu sistem nilai dalam masyarakat bangsa, yang secara bernegara, semula diabstraksikan oleh founding fathers dari sistem budaya bangsa. Selanjutnya diulangkan menjadi ideologi atau dasar negara, seterusnya diderivasi dan dijabarkan ke dalam sistem kehidupan nasional, hingga tercermin dalam sistem kehidupan termasuk semua subsistem kehidupan nasional tersebut. Kedua, Paradigma Yuridis (juridical paradigma), yakni segala sesuatunya berdasarkan konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan acuan hukum tertinggi dan membawahi aturan hukum lainnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memiliki political messages yakni amanat-amanat kebijakan dalam pasal-pasalnya. Ketiga, Paradigma politis (political paradigma) yakni berupa derivat dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berupa rumusan kebijakan mengenai pengelolaan Pemerintahan dan pembangunan nasional. (M. Solly Lubis, 2011 : 81)
Semoga dengan adanya koordinasi, saling support antara satu Lembaga Negara dan lainnya, serta dengan berparadigma yang sama dalam penyelenggaraan  negara, masyarakat Indonesia tidak lagi diperlihatkan mengenai adegan-adegan yang sama di masa-masa yang akan datang, dan yang lebih penting adalah seluruh masyarakat Indonesia wajib mendukung serta mengawal setiap pemberantasan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Lembaga Negara apapun. (semoga)

Tulisan ini juga dimuat pada Harian Aceh, dengan link http://www.harianaceh.co.id/opini/80226/pengulangan-peristiwa-polri-vs-kpk-dalam-hukum-dan-politik 





[1]  Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, bekerja sebagai PNS pada Pemkab Aceh Tamiang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar