Jumat, 06 Februari 2015

Aceh, Tsunami, dan Jokowi

Aceh, Tsunami, dan Jokowi
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Aceh memiliki peranan yang sangat strategis sebagai suatu entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari daerah inilah denyut dukungan kemerdekaan Indonesia pertama kali muncul, bahkan pada masanya Aceh juga dikenal sebagai daerah “modal”. Bagaimanapun Aceh dan Republik Indonesia tidak bisa dipisahkan, keduanya merupakan suatu kesatuan utuh sekaligus sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Aceh sebagai entitas NKRI
Aceh dewasa ini berposisi sebagai daerah otonom di ujung barat Indonesia, tentunya hal ini tidak dapat dipisahkan dari perjalanan ketatanegaraan di Indonesia. Berbagai dinamika telah memberikan warna bagi daerah Aceh, baik posisi Aceh sebagai “modal” maupun Aceh yang beberapa dekade terakhir dikenal sebagai daerah “konflik”. Output dari berbagai dinamika tersebut akhirnya tetap mempertegas bahwa Aceh sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini dapat ditelusuri dari perkembangan politik hukum yang terjadi dalam dekade belakangan ini, yang mana pada tanggal 15 Agustus 2005 Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, saling menyepakati lahirnya MoU Helsinki. Sebagaimana yang ditegaskan pada pembukaan MoU Helsinki, yang berbunyi “..para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia”.
Tidak hanya sampai disitu, Aceh sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga dapat ditelusuri dari amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat 2 yaitu “Aceh adalah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Berdasarkan amanat dari MoU Helsinki dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka seyogyanya seluruh stakeholder yang berkepentingan di Aceh, dalam rangka menjalankan roda pemerintahan sekaligus melaksanakan tertib kenegaraan dan kemasyarakatan, hendaknya memiliki paradigma yang sama, yakni paradigma Aceh sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tsunami, 26 Desember 2004
Minggu, 26 Desember 2004, sekitar pukul 08.00 wib, di Aceh terjadi Gempa Bumi yang kemudian disusul gelombang Tsunami. Rangkaian peristiwa tersebut telah memakan banyak korban jiwa, serta menghancurkan berbagai infrastruktur, disertai sistem Pemerintahan tidak dapat dijalankan secara normal. Situasi Aceh yang porak poranda mendorong Pemerintah Republik Indonesia maupun bagi GAM (ketika itu belum lahir MoU Helsinki) saling tergugah untuk menanggalkan ideologi masing-masing dan mencoba mencari terobosan penyelesaian agar penderitaan rakyat Aceh dapat segera diakhiri, sehingga para korban gempa dan Tsunami dapat segera ditolong.
Tidak dapat dipungkiri, Tsunami telah menjadi salah satu landasan bagi terciptanya perdamaian di Aceh. Tsunami turut menstimulan lahirnya MoU Helsinki (Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM), walaupun lahirnya MoU Helsinki memiliki berbagai landasan, baik itu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan politis, tetapi dengan terjadinya Tsunami MoU Helsinki telah memiliki landasan lainnya, yaitu landasan alamiah.
Faktor Tsunami ini menjadi salah satu dasar yang mempercepat berlangsungnya perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM, karena apabila tidak dilakukan perjanjian dengan pihak GAM, tentu akan berdampak bagi upaya rekonstruksi Aceh paska Tsunami. Sebagaimana yang diutarakan Staf Ahli Wakil Presiden (Prof. Dr. Djohermansyah Djohan) bahwa: “… pemicu dari perjanjian Helsinki adalah terjadinya Tsunami di Aceh. Tsunami telah mendorong kedua belah pihak, pihak Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla serta GAM menyadari bahwa untuk membangun Aceh pasca Tsunami perlu perjanjian sebagai syarat bagi pembangunan Aceh”. (Ikrar Nusa Bakti, 2008:115)



Political will (Joko Widodo & Jusuf Kalla)
Tanggal 20 Oktober 2014, telah membuka lembaran baru sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019. Adanya pemimpin baru tentu berbanding lurus dengan berbagai harapan baru yang dicita-citakan oleh segenap rakyat Indonesia.
Jauh hari sebelum pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, rakyat Aceh telah lebih dahulu menggantungkan harapan baru melalui kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (selaku Presiden dan Wakil Presiden periode 2004-2009). Berbagai harapan baru tersebut terangkum dalam output agar dapat segera menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta permanen untuk menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Harapan tersebut akhirnya dapat diransformasikan pada tanggal 15 Agustus 2005 melalui MoU Helsinki.
Praktis paska lahirnya MoU Helsinki, kehidupan rakyat Aceh secara berangsur-angsur dapat merasakan adanya perubahan menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Tidak hanya sampai pada MoU Helsinki, political will dari kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla juga ditransformasikan pada tanggal 1 Agustus 2006 melalui lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Layaknya suatu peraturan perundang-undangan, maka Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga memerlukan berbagai peraturan turunan (Organieke Verordening), dalam rangka mengimplementasikannya. Penulis patut menyayangkan, bahwa sampai akhir kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (Presiden dan Wakil Presiden periode 2004-2009), sampai akhir masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono (Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014) masih ada beberapa peraturan turunan (Organieke Verordening) dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang belum terselesaikan.
Adapun berbagai peraturan turunan tersebut diantaranya: (a). Rancangan Peraturan Pemerintah tentang kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, (b). Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi di wilayah kewenangan Aceh, (c). Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengalihan kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor pertanahan Kabupaten/Kota menjadi             perangkat daerah Aceh dan perangkat daerah Kabupaten/Kota, (d). Pembentukan lembaga Peradilan HAM, (e). Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Sejalan dengan pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019, maka sudah selayaknya segenap lapisan rakyat Aceh, menaruh harapan kepada Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Oleh karenanya, akan sama-sama kita ikuti bagaimana peranan political will dari kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam menyelesaikan berbagai peraturan turunan tersebut, sembari berharap agar peraturan turunan tersebut dapat diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Tidak kalah pentingnya, secara umum kita juga perlu untuk menyimak bagaimanakah situasi dan kondisi Aceh kedepannya, apakah pada periode Joko Widodo dan Jusuf Kalla, situasi dan kondisi Aceh akan tetap kondusif, damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat ? Oleh karena, sejarah telah membuktikan, adanya inkonsistensi Pemerintah Republik Indonesia dalam menetapkan kebijakannya untuk Aceh, hal ini akan memberikan dampak negatif dalam perkembangan situasi dan kondisi di Aceh. Wallahu’alam bishawaf.

Tulisan ini juga dimuat pada Harian Aceh, dengan link  http://www.harianaceh.co.id/opini/50833/aceh-tsunami-dan-jokowi






[1]  Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, bekerja sebagai PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, sekaligus pemerhati hukum dan politik di Provinsi Aceh. Serta penulis buku “Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh”. Dapat dihubungi melalui sosial media: Cakra Arbas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar