Aceh, Tsunami,
dan Jokowi
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Aceh
memiliki peranan yang sangat strategis sebagai suatu entitas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dari daerah inilah denyut dukungan kemerdekaan
Indonesia pertama kali muncul, bahkan pada masanya Aceh juga dikenal sebagai
daerah “modal”. Bagaimanapun
Aceh dan Republik Indonesia tidak bisa dipisahkan, keduanya merupakan suatu
kesatuan utuh sekaligus sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Aceh sebagai entitas NKRI
Aceh dewasa ini berposisi sebagai daerah otonom di
ujung barat Indonesia, tentunya hal ini tidak dapat dipisahkan dari perjalanan
ketatanegaraan di Indonesia. Berbagai dinamika telah memberikan warna bagi
daerah Aceh, baik posisi Aceh sebagai “modal” maupun Aceh yang beberapa dekade
terakhir dikenal sebagai daerah “konflik”. Output
dari berbagai dinamika tersebut akhirnya tetap mempertegas bahwa Aceh sebagai
entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini dapat
ditelusuri dari perkembangan politik hukum yang terjadi dalam dekade belakangan
ini, yang mana pada tanggal 15 Agustus 2005 Pemerintah Republik Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka, saling menyepakati lahirnya MoU Helsinki. Sebagaimana
yang ditegaskan pada pembukaan MoU Helsinki, yang berbunyi “..para pihak bertekad untuk menciptakan
kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses
yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik
Indonesia”.
Tidak hanya sampai disitu, Aceh sebagai entitas dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga dapat ditelusuri dari amanat
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagaimana bunyi
Pasal 1 ayat 2 yaitu “Aceh adalah
provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Berdasarkan amanat dari MoU Helsinki dan Undang-Undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka seyogyanya seluruh stakeholder yang berkepentingan di Aceh,
dalam rangka menjalankan roda pemerintahan sekaligus melaksanakan tertib
kenegaraan dan kemasyarakatan, hendaknya memiliki paradigma yang sama, yakni
paradigma Aceh sebagai entitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tsunami, 26 Desember 2004
Minggu, 26 Desember 2004, sekitar pukul
08.00 wib, di Aceh terjadi Gempa Bumi yang kemudian disusul gelombang Tsunami.
Rangkaian peristiwa tersebut telah memakan banyak korban jiwa, serta
menghancurkan berbagai infrastruktur, disertai sistem Pemerintahan tidak dapat
dijalankan secara normal. Situasi Aceh yang porak poranda mendorong Pemerintah
Republik Indonesia maupun bagi GAM (ketika itu belum lahir MoU Helsinki) saling
tergugah untuk menanggalkan ideologi masing-masing dan mencoba mencari
terobosan penyelesaian agar penderitaan rakyat Aceh dapat segera diakhiri, sehingga
para korban gempa dan Tsunami dapat segera ditolong.
Tidak dapat dipungkiri, Tsunami telah
menjadi salah satu landasan bagi terciptanya perdamaian di Aceh. Tsunami turut
menstimulan lahirnya MoU Helsinki (Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik
Indonesia dan GAM), walaupun lahirnya MoU Helsinki memiliki berbagai landasan,
baik itu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan politis, tetapi
dengan terjadinya Tsunami MoU Helsinki telah memiliki landasan lainnya, yaitu
landasan alamiah.
Faktor Tsunami ini menjadi salah satu
dasar yang mempercepat berlangsungnya perundingan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan GAM, karena apabila tidak dilakukan perjanjian dengan pihak GAM,
tentu akan berdampak bagi upaya rekonstruksi Aceh paska Tsunami. Sebagaimana
yang diutarakan Staf Ahli Wakil Presiden (Prof. Dr. Djohermansyah Djohan)
bahwa: “… pemicu dari perjanjian Helsinki
adalah terjadinya Tsunami di Aceh. Tsunami telah mendorong kedua belah pihak,
pihak Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla serta GAM menyadari bahwa untuk
membangun Aceh pasca Tsunami perlu perjanjian sebagai syarat bagi pembangunan
Aceh”. (Ikrar Nusa Bakti, 2008:115)
Political will (Joko Widodo
& Jusuf Kalla)
Tanggal 20 Oktober 2014, telah membuka lembaran baru
sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni pelantikan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk
periode 2014-2019. Adanya pemimpin baru tentu berbanding lurus dengan berbagai
harapan baru yang dicita-citakan oleh segenap rakyat Indonesia.
Jauh hari sebelum pelantikan Joko Widodo dan Jusuf
Kalla, rakyat Aceh telah lebih dahulu menggantungkan harapan baru melalui
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (selaku Presiden dan
Wakil Presiden periode 2004-2009). Berbagai harapan baru tersebut terangkum
dalam output agar dapat segera
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta permanen
untuk menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat.
Harapan tersebut akhirnya dapat diransformasikan pada tanggal 15 Agustus 2005
melalui MoU Helsinki.
Praktis paska lahirnya MoU Helsinki, kehidupan rakyat
Aceh secara berangsur-angsur dapat merasakan adanya perubahan menuju keadaan
yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Tidak hanya sampai pada
MoU Helsinki, political will dari
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla juga ditransformasikan
pada tanggal 1 Agustus 2006 melalui lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.
Layaknya suatu peraturan perundang-undangan, maka
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga memerlukan
berbagai peraturan turunan (Organieke
Verordening), dalam rangka mengimplementasikannya. Penulis patut
menyayangkan, bahwa sampai akhir kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Jusuf Kalla (Presiden dan Wakil Presiden periode 2004-2009), sampai akhir masa
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono (Presiden dan Wakil Presiden
periode 2009-2014) masih ada beberapa peraturan turunan (Organieke Verordening) dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh yang belum terselesaikan.
Adapun berbagai peraturan turunan tersebut diantaranya:
(a). Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di
Aceh, (b). Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi di wilayah
kewenangan Aceh, (c). Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengalihan kantor
wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor pertanahan Kabupaten/Kota
menjadi perangkat daerah Aceh
dan perangkat daerah Kabupaten/Kota, (d). Pembentukan lembaga Peradilan HAM,
(e). Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Sejalan dengan pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019,
maka sudah selayaknya segenap lapisan rakyat Aceh, menaruh harapan kepada
Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Oleh karenanya, akan sama-sama kita
ikuti bagaimana peranan political will
dari kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam menyelesaikan berbagai
peraturan turunan tersebut, sembari berharap agar peraturan turunan tersebut
dapat diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Tidak kalah pentingnya, secara umum kita juga perlu
untuk menyimak bagaimanakah situasi dan kondisi Aceh kedepannya, apakah pada
periode Joko Widodo dan Jusuf Kalla, situasi dan kondisi Aceh akan tetap
kondusif, damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat ? Oleh karena,
sejarah telah membuktikan, adanya inkonsistensi Pemerintah Republik Indonesia
dalam menetapkan kebijakannya untuk Aceh, hal ini akan memberikan dampak
negatif dalam perkembangan situasi dan kondisi di Aceh. Wallahu’alam bishawaf.
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Aceh, dengan link http://www.harianaceh.co.id/opini/50833/aceh-tsunami-dan-jokowi
[1]
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, bekerja sebagai
PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, sekaligus pemerhati hukum dan politik di Provinsi
Aceh. Serta penulis
buku “Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh”.
Dapat dihubungi melalui sosial
media: Cakra Arbas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar