Jumat, 06 Februari 2015

Qaidah Fiqh yang 'pertama'


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang masalah
Qaidah secara bahasa adalah asas, yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu, bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya, sedangkan menurut terminology, dalam kitab at-ta`rifat : ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya.
Pentingnya kita dalam memahami kaidah-kaidah fiqh tersebut buat mengetahui asal/dasar dalam suatu hukum, oleh karenanya kami sebagai pemakalah akan membahas mengenai Qaidah fiqh yang pertama.

B.   Rumusan masalah
Berdasarkan  dari latar belakang masalah ini, kami sebagai pemakalah mengidentifikasi permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini :
1.   Pengertian Qaidah yang pertama ?
2.   Sumber Qaidah yang pertama ?
3.   Cabang-cabangnya ?
4.   Tujuan dan syarat ?
5.   Serta contoh aplikasinya ?

C.   Metode penulisan
Dalam penulisan makalah ini, kami menggunakan metode penulisan, antara lain :
1.   Metode Induktif, yaitu metode yang disusun dengan di awali penjelasan dan di akhiri dengan sebuah kesimpulan.
2.   Studi kepustakaan, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mencari sumber tulisan yang ada pada buku-buku atau sejenisnya, kemudian dipelajari dan kemudian dipahami.

BAB II
PEMBAHASAN

A.          Pengertian Qaidah pertama[1]
Qaidah pertama:
 " الاموربمقاصدها "
Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya. Dengan kata lain, bahwa  setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatannya, dan lain sebagainya bergantung pada niatnya. Dengan kata lain, niat dan motif yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai status hukum amal yang ia dilakukan.
B.          Sumber Qaidah pertama[2]
Sumber pengambilan qaidah ini antara lain :
1.   Firman Allah swt dalam surat Al-Bayyinah : 5 :
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ
:Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

2.   Hadist yang diriwayatkan Bukhari :
انما الاعمال بنيات وانمالكل امرىءمانوى
:Artinya:
Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya. Dan seseunguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang ia niati.

3.   Hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Abu Hurairah :
انما بعث النا س على نيا تهم
:Artinya:
Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.

C.          Cabang-cabangnya[3]
Beberapa qaidah cabang yang bersumber dari qaidah itu, antara lain :
1.   Qaidah
“suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan(tidak membatalkan)”.

2.   Qaidah
“suatu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahanya membatalkan perbuatan tersebut”.

3.   Qaidah
“Suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka kesalahannya membahayakan”.

4.   Qaidah
“Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadzh umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafadh yang khusus”.

5.   Qaidah
“maksud dari suatu lafadzh adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam suatu tempat, yaitu dalam sumpah dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian maksud lafadzh menurut niat hakim”.

6.   Qaidah
“yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadzh atau bentuk-bentuk perkataan”.

Selain itu ada pula qaidah-qaidah yang dikeluarkan oleh madzhab-madzhab fiqh :
1.   Qaidah dari Hanafiyah
“Pengkhususannya yang umum dengan disertai niat dapat diterima secara hukum berdasarkan agama dan bukan berdasarkan peradilan”.

2.   Qaidah dari Syafi`iyah
“Niat dalam bersumpah mengkhususkan lafadzh yang bersifat umum dan tidak mengumumkan lafadzh yang bersifat khusus”.

3.   Qaidah dari Malikyah dan Hambali
“Sesungguhnya niat dapat mengumumkan yang khusus dan mengkhususkan yang umum”.

D.          Tujuan dan syarat disyariatkannya niat[4]
Tujuan utama disyariatkannya niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadat dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkatan ibadat satu sama lain. Seseorang yang tinggal di masjid memiliki dua kemungkinan: pertama, i’tikaf; dan kedua, menumpang beristirahat. I’tikaf  harus dengan niat agar mendapat pahala bagi yang melakukannya; sedangkan yang kedua tidak perlu niat dan karena itulah, pelaku tidak mendapat pahala. Hanafiah mengatakan[5]:
لاثواب الابالنية
“Tidak ada ganjaran kecuali dengan niat”

Penjelasan dari contoh di atas menunjukkan bahwa tujuan niat adalah:
a.   Untuk membedakan antara ibadah dan adat.
b.   Untuk membedakan tingkatan atau kualitas kebaikan yang dilakukan seseorang.
c.    Untuk menentukan sah tidaknya ibadah tertentu.

Jalal al-Din al-suyuthi menentukan syarat niat, yaitu[6]:
a.   Islam.
b.   Tamyiz.
c.    Al-‘ilm bi al-manwi.
d.   Al-la ya’ti bi manaf.

E.          Contoh aplikasi[7]
Di antara contoh aplikasi yang sesuai dengan qaidah-qaidah di atas adalah :
1.       Seseorang akan melakukan shalat dzuhur, niatnya menunaikan shalat ashar, maka shalatnya tidak sah.
2.       Seseorang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseorang, dan maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad saja.






















Daftar Pustaka

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2005

Syafe`I, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999

__________, Dasar-dasar pembinaan hukum fiqh Islam, Jakarta: T.tp, T.th



[1] Rachmat Syafe`I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 274
[2] Ibid., h, 274
[3] Ibid., h. 276
[4] ……………………, Dasar-dasar pembinaan hukum Fiqh islam, (Jakarta: T.tp), h. 490
[5] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 123
[6] Ibid., h. 126 
[7] Rachmat Syafe`I, Ilmu Ushul Fiqh, h. 279 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar