BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Qaidah secara bahasa adalah asas, yaitu
yang menjadi dasar berdirinya sesuatu, bisa juga diartikan sebagai dasar
sesuatu dan fondasinya, sedangkan menurut terminology, dalam kitab at-ta`rifat
: ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya.
Pentingnya kita dalam memahami
kaidah-kaidah fiqh tersebut buat mengetahui asal/dasar dalam suatu hukum, oleh
karenanya kami sebagai pemakalah akan membahas mengenai Qaidah fiqh yang
pertama.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah ini, kami sebagai
pemakalah mengidentifikasi permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini :
1.
Pengertian Qaidah yang pertama ?
2.
Sumber Qaidah yang pertama ?
3.
Cabang-cabangnya ?
4.
Tujuan dan syarat ?
5.
Serta contoh aplikasinya ?
C.
Metode penulisan
Dalam penulisan makalah ini, kami
menggunakan metode penulisan, antara lain :
1.
Metode Induktif, yaitu metode yang
disusun dengan di awali penjelasan dan di akhiri dengan sebuah kesimpulan.
2.
Studi kepustakaan, yaitu metode yang
dilakukan dengan cara mencari sumber tulisan yang ada pada buku-buku atau
sejenisnya, kemudian dipelajari dan kemudian dipahami.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qaidah pertama[1]
Qaidah
pertama:
" الاموربمقاصدها "
Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara
bergantung pada tujuannya. Dengan kata lain, bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta
hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatannya, dan lain sebagainya bergantung
pada niatnya. Dengan kata lain, niat dan motif yang terkandung dalam hati
sanubari seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria yang
menentukan nilai status hukum amal yang ia dilakukan.
Sumber pengambilan qaidah ini antara lain :
1.
Firman Allah
swt dalam surat Al-Bayyinah : 5 :
!$tBur
(#ÿrâÉDé&
wÎ)
(#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC
ã&s!
tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$#
(#qè?÷sãur no4qx.¨9$#
4 y7Ï9ºsur
ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$#
ÇÎÈ
:Artinya:
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
2.
Hadist yang diriwayatkan Bukhari :
انما
الاعمال بنيات وانمالكل امرىءمانوى
:Artinya:
Sesungguhnya
segala amal bergantung pada niatnya. Dan seseunguhnya bagi seseorang hanyalah
apa yang ia niati.
3.
Hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah dan
Abu Hurairah :
انما بعث النا س على
نيا تهم
:Artinya:
Sesungguhnya
manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.
C.
Cabang-cabangnya[3]
Beberapa
qaidah cabang yang bersumber dari qaidah itu, antara lain :
1.
Qaidah
“suatu amal yang tidak disyaratkan
untuk dijelaskan, baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan
ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan(tidak membatalkan)”.
2.
Qaidah
“suatu amal yang disyaratkan
penjelasannya, maka kesalahanya membatalkan perbuatan tersebut”.
3.
Qaidah
“Suatu amal yang harus dijelaskan
secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena apabila
disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka kesalahannya
membahayakan”.
4.
Qaidah
“Niat dalam sumpah mengkhususkan
lafadzh umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafadh yang khusus”.
5.
Qaidah
“maksud dari suatu lafadzh adalah
menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam suatu tempat, yaitu dalam
sumpah dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian maksud lafadzh menurut niat
hakim”.
6.
Qaidah
“yang dimaksud dalam akad adalah maksud
atau makna bukan lafadzh atau bentuk-bentuk perkataan”.
Selain
itu ada pula qaidah-qaidah yang dikeluarkan oleh madzhab-madzhab fiqh :
1.
Qaidah dari Hanafiyah
“Pengkhususannya yang umum dengan
disertai niat dapat diterima secara hukum berdasarkan agama dan bukan
berdasarkan peradilan”.
2.
Qaidah dari Syafi`iyah
“Niat dalam bersumpah mengkhususkan
lafadzh yang bersifat umum dan tidak mengumumkan lafadzh yang bersifat khusus”.
3.
Qaidah dari Malikyah dan Hambali
“Sesungguhnya niat dapat mengumumkan
yang khusus dan mengkhususkan yang umum”.
D.
Tujuan dan syarat disyariatkannya niat[4]
Tujuan
utama disyariatkannya niat adalah untuk membedakan antara
perbuatan-perbuatan ibadat dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkatan
ibadat satu sama lain. Seseorang yang tinggal di masjid memiliki dua
kemungkinan: pertama, i’tikaf; dan kedua, menumpang beristirahat. I’tikaf
harus dengan niat agar mendapat
pahala bagi yang melakukannya; sedangkan yang kedua tidak perlu niat dan karena
itulah, pelaku tidak mendapat pahala. Hanafiah mengatakan[5]:
لاثواب
الابالنية
“Tidak ada
ganjaran kecuali dengan niat”
Penjelasan dari contoh di atas
menunjukkan bahwa tujuan niat adalah:
a.
Untuk
membedakan antara ibadah dan adat.
b.
Untuk
membedakan tingkatan atau kualitas kebaikan yang dilakukan seseorang.
c.
Untuk
menentukan sah tidaknya ibadah tertentu.
Jalal
al-Din al-suyuthi menentukan syarat niat, yaitu[6]:
a.
Islam.
b.
Tamyiz.
c.
Al-‘ilm bi al-manwi.
d.
Al-la ya’ti bi manaf.
E.
Contoh aplikasi[7]
Di
antara contoh aplikasi yang sesuai dengan qaidah-qaidah di atas adalah :
1.
Seseorang akan melakukan shalat dzuhur,
niatnya menunaikan shalat ashar, maka shalatnya tidak sah.
2.
Seseorang bersumpah tidak akan
berbicara dengan seseorang, dan maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya hanya
berlaku pada Ahmad saja.
Daftar
Pustaka
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu
Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2005
Syafe`I, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh,
Bandung: Pustaka Setia, 1999
__________, Dasar-dasar pembinaan
hukum fiqh Islam, Jakarta: T.tp, T.th
[1] Rachmat Syafe`I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,
1999), h. 274
[2] Ibid., h, 274
[3] Ibid., h. 276
[4] ……………………, Dasar-dasar pembinaan hukum Fiqh islam, (Jakarta:
T.tp), h. 490
[5] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 123
[6] Ibid., h. 126
[7] Rachmat Syafe`I, Ilmu Ushul Fiqh, h. 279
Tidak ada komentar:
Posting Komentar