Hukum, Moral,
dan Realita Terkini
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
Rabu,
14 Januari 2015 masyarakat Indonesia telah disuguhkan oleh berbagai sudut
pandang pemberitaan dari media masa, khususnya mengenai beberapa kebijakan yang
bersinggungan dengan hukum baik ditingkat Pemerintahan Daerah maupun pada
Pemerintahan Pusat. Dalam
konteks Pemerintahan Daerah dapat diamati berdasarkan dilantiknya Sekretaris
Daerah (Sekda) Provinsi Sumatera Utara. Serta dalam konteks Pemerintahan Pusat
dapat diamati berdasarkan pelaksanaan fit
and proper test bagi calon KAPOLRI oleh Komisi III DPR RI.
Moral dan Hukum
Pada dasarnya berbagai kebijakan mengenai pelantikan
Sekda Provinsi Sumatera Utara dan pelaksanaan fit and proper test bagi calon KAPOLRI adalah hal yang wajar dalam
dinamika penyelenggaraan Pemerintahan. Akan tetapi, hal ini menjadi menarik dan
hangat diperbincangkan ditengah-tengah masyarakat, ketika Sekda yang hendak
dilantik dan pelaksanaan fit and proper
test bagi calon KAPOLRI sedang
berposisi tersangkut dalam berbagai peristiwa hukum.
Bukan rahasia umum lagi bahwa berbagai media masa
telah mengekspose baik Sekda yang dilantik maupun calon KAPOLRI, sama-sama
sedang menghadapi peristiwa hukum, diantaranya sebagaimana yang dimuat dalam Harian
Analisa, edisi Rabu, 14 Januari 2015, salah satu berjudul “Hari ini,
Sekdaprovsu Dilantik – Hakim Tolak Eksepsi Hasban Ritonga” dan satunya lagi
berjudul “KPK Tetapkan Calon Kapolri Sebagai Tersangka Suap”.
Penulis meyakini bahwa mengenai peristiwa ini tentunya
akan ada perbedaan pandangan dikalangan para pakar dan akademisi hukum,
khususnya terkait salah satu asas hukum (asas praduga tak bersalah). Akan
tetapi, penulis pada kesempatan ini mengajak untuk menelaah dari paradigma yang
lain, yakni mengenai korelasi antara Hukum dan Moral, dalam hal ini penulis
mengutip pandangan Tan Kamelo yang menyebutkan
bahwa “Moral dan hukum merupakan 2 (dua) tiang dalam tatanan tertib
sosial (social order), yang secara vertikal menempati posisi yang berbeda
dengan septa perart yang dibawanya.
Moral akan menjadi daya gerak substantif dari kehidupan hukum. Pembentukan
hukum harus didasarkan pada moral, demikian juga pelaksanaannya. Tanpa moral hukum akan tergolek atau tidak
sempurna daya kerjanya”. (Tan Kamelo dalam Muhammad Abduh, 2004 : 285)
Pentingnya moral dalam hukum juga turut diutarakan
oleh Amiruddin A. Wahab, bahwa yang terutama diperlukan untuk mengatur
kehidupan manusia agar aman, damai, tertib dan bahwa ia tidak cukup dengan
mengandalkan norma hukum saja, tetapi harus diimbangi dengan norma moral yang
bertujuan agar hidup manusia itu suci lahir dan bathin. (Amiruddin Abdul Wahab
dalam Muhammad Abduh, 2004 : 59)
Pada kesempatan yang sama, hukum memerlukan moralitas
karena hukum adalah alat keadaban manusia, dari sudut pandang ini bisa melakukan
refleksi secara proporsional mengenai bagaimana hukum seharusnya bersifat dan
bertugas. (Yovita A. Mangesti dan Bernard L Tanya, 2014 : 14) Berdasarkan uraian tersebut dapat ditelaah bahwa moral
tidak dapat dipisahkan dalam hukum, khususnya mengenai integritas dari
penyelenggaraan Pemerintahan, baik ditingkat Daerah maupun Pusat.
Review Era Pemerintahan Saat
Ini dan Sebelumnya
Kejadian yang terjadi pada periode Pemerintahan saat
ini, maka patut pula kita komparasikan dengan berbagai peristiwa serupa yang
terjadi pada Pemerintahan sebelumnya (Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono),
karena dengan adanya komparasi tersebut masyarakat dapat menilai, apakah
periode Pemerintahan saat ini lebih baik dari Pemerintahan sebelumnya ? atau
malah lebih jelek dari Pemerintahan sebelumnya ?
Pada Pemerintahan sebelumnya, juga bukan tidak terjadi
berbagai peristiwa mengenai calon
pejabat maupun pejabat negara yang terindikasi sedang mengalami peristiwa
hukum. Akan tetapi, jika kita mengingat kembali dan melakukan flashback, tentunya masyarakat masih
terngiang. Jangankan seseorang yang akan dilantik pada posisi jabatan negara
tertentu, bahkan para pejabat negara yang sedang menduduki jabatan tertentu,
yang kemudian tersandung dengan berbagai peristiwa hukum, maka sang pejabat
tersebut dengan legowo, suka tidak suka akan melepaskan jabatan yang sedang
diembannya.
Tentunya masyarakat masih terngiang bagaimana ketika
seorang Andi Malaranggeng (Menpora) ketika itu menghadapi peristiwa hukum
dengan ditetapkan sebagai Tersangka, maka seketika itu pula Andi Malaranggeng
dengan tegas akan melepaskan jabatannya. Dapat ditelaah bahwa pada satu sisi
hal ini dilakukan semata-mata untuk menghindari conflict of interest, sekaligus untuk mempertahankan kewibawaan
dari roda Pemerintahan.
Lantas, dengan adanya berbagai peristiwa terkini yang
sedang terjadi pada Pemerintahan saat ini, maka kita juga dapat memahami.
Ternyata pada Pemerintahan saat ini, seseorang yang sedang mengalami peristiwa
hukum tetap bersikukuh ingin mendapatkan posisi jabatan negara yang akan
dicapainya. Hal ini tentunya secara tidak langsung akan mengindikasikan bahwa
bagaimana lagi jika seorang pejabat negara yang sedang memiliki jabatan
tertentu kemudian tersandung peristiwa hukum, maka dapat dipastikan pejabat tersebut
tidak akan legowo untuk melepaskan jabatannya.
Penulis berpandangan bahwa atas berlangsungnya friksi
pada beberapa hari belakangan ini, maka Top Eksekutif yang semestinya
bertanggung jawab baik dalam konteks Pemerintahan Daerah maupun Pemerintah Pusat,
dalam hal ini adalah Presiden Joko Widodo, karena Presiden Joko Widodo dalam
Ketatanegaraan di Indonesia, berposisi sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan. Dalam konteks Kepala Pemerintahan, apa yang terjadi dengan calon
Sekda Provinsi Sumatera Utara merupakan atas persetujuan dari seorang Top
Eksekutif, yang kemudian dijabarkan melalui kaki tangannya dalam hal ini
Menteri Dalam Negeri. Artinya, sangat rancu bila seorang Top Eksekutif tidak
menyadari hal-hal yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemerintahan baik di
Daerah maupun di Pusat.
Walaupun Pemerintahan saat ini masih berumur jagung,
namun bercermin pada berbagai peristiwa hukum tersebut, kita kembali teringat
dengan “jargon-jargon” baik yang dilakukan oleh Joko Widodo ketika melakukan
kampanye pemilihan Presiden Tahun 2014, maupun sesaat setelah pelantikan
dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia ke 7 (ketujuh). Bahwa inilah
saatnya rakyat Indonesia melakukan revolusi
mental. Lantas saat ini, yang patut seluruh masyarakat Indonesia mempertanyakan,
apakah revolusi mental yang dimaksud oleh Joko Widodo dilakukan melalui
cara-cara seperti ini !!! (semoga tidak)
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Analisa, Selasa 20 Januari 2015, dengan link : http://analisadaily.com/news/read/hukum-moral-dan-realita-terkini/100128/2015/01/20
[1]
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, bekerja sebagai
PNS pada Pemkab Aceh Tamiang. Serta penulis
buku “Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh”.
Dapat dihubungi melalui sosial
media: Cakra Arbas.
Terimakasih pak, sangat membantu untuk menambah wawasan☺
BalasHapus