Jumat, 06 Februari 2015

Hukum, Moral, dan Realita Terkini

Hukum, Moral, dan Realita Terkini
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]

Rabu, 14 Januari 2015 masyarakat Indonesia telah disuguhkan oleh berbagai sudut pandang pemberitaan dari media masa, khususnya mengenai beberapa kebijakan yang bersinggungan dengan hukum baik ditingkat Pemerintahan Daerah maupun pada Pemerintahan Pusat. Dalam konteks Pemerintahan Daerah dapat diamati berdasarkan dilantiknya Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumatera Utara. Serta dalam konteks Pemerintahan Pusat dapat diamati berdasarkan pelaksanaan fit and proper test bagi calon KAPOLRI oleh Komisi III DPR RI.

Moral dan Hukum
Pada dasarnya berbagai kebijakan mengenai pelantikan Sekda Provinsi Sumatera Utara dan pelaksanaan fit and proper test bagi calon KAPOLRI adalah hal yang wajar dalam dinamika penyelenggaraan Pemerintahan. Akan tetapi, hal ini menjadi menarik dan hangat diperbincangkan ditengah-tengah masyarakat, ketika Sekda yang hendak dilantik dan pelaksanaan fit and proper test  bagi calon KAPOLRI sedang berposisi tersangkut dalam berbagai peristiwa hukum.
Bukan rahasia umum lagi bahwa berbagai media masa telah mengekspose baik Sekda yang dilantik maupun calon KAPOLRI, sama-sama sedang menghadapi peristiwa hukum, diantaranya sebagaimana yang dimuat dalam Harian Analisa, edisi Rabu, 14 Januari 2015, salah satu berjudul “Hari ini, Sekdaprovsu Dilantik – Hakim Tolak Eksepsi Hasban Ritonga” dan satunya lagi berjudul “KPK Tetapkan Calon Kapolri Sebagai Tersangka Suap”.
Penulis meyakini bahwa mengenai peristiwa ini tentunya akan ada perbedaan pandangan dikalangan para pakar dan akademisi hukum, khususnya terkait salah satu asas hukum (asas praduga tak bersalah). Akan tetapi, penulis pada kesempatan ini mengajak untuk menelaah dari paradigma yang lain, yakni mengenai korelasi antara Hukum dan Moral, dalam hal ini penulis mengutip pandangan Tan Kamelo yang menyebutkan  bahwa “Moral dan hukum merupakan 2 (dua) tiang dalam tatanan tertib sosial (social order), yang secara vertikal menempati posisi yang berbeda dengan septa perart yang dibawanya. Moral akan menjadi daya gerak substantif dari kehidupan hukum. Pembentukan hukum harus didasarkan pada moral, demikian juga pelaksanaannya.  Tanpa moral hukum akan tergolek atau tidak sempurna daya kerjanya”. (Tan Kamelo dalam Muhammad Abduh, 2004 : 285)
Pentingnya moral dalam hukum juga turut diutarakan oleh Amiruddin A. Wahab, bahwa yang terutama diperlukan untuk mengatur kehidupan manusia agar aman, damai, tertib dan bahwa ia tidak cukup dengan mengandalkan norma hukum saja, tetapi harus diimbangi dengan norma moral yang bertujuan agar hidup manusia itu suci lahir dan bathin. (Amiruddin Abdul Wahab dalam Muhammad Abduh, 2004 : 59)
Pada kesempatan yang sama, hukum memerlukan moralitas karena hukum adalah alat keadaban manusia, dari sudut pandang ini bisa melakukan refleksi secara proporsional mengenai bagaimana hukum seharusnya bersifat dan bertugas. (Yovita A. Mangesti dan Bernard L Tanya, 2014 : 14) Berdasarkan uraian tersebut dapat ditelaah bahwa moral tidak dapat dipisahkan dalam hukum, khususnya mengenai integritas dari penyelenggaraan Pemerintahan, baik ditingkat Daerah maupun Pusat.

Review Era Pemerintahan Saat Ini dan Sebelumnya
Kejadian yang terjadi pada periode Pemerintahan saat ini, maka patut pula kita komparasikan dengan berbagai peristiwa serupa yang terjadi pada Pemerintahan sebelumnya (Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono), karena dengan adanya komparasi tersebut masyarakat dapat menilai, apakah periode Pemerintahan saat ini lebih baik dari Pemerintahan sebelumnya ? atau malah lebih jelek dari Pemerintahan sebelumnya ?
Pada Pemerintahan sebelumnya, juga bukan tidak terjadi berbagai peristiwa  mengenai calon pejabat maupun pejabat negara yang terindikasi sedang mengalami peristiwa hukum. Akan tetapi, jika kita mengingat kembali dan melakukan flashback, tentunya masyarakat masih terngiang. Jangankan seseorang yang akan dilantik pada posisi jabatan negara tertentu, bahkan para pejabat negara yang sedang menduduki jabatan tertentu, yang kemudian tersandung dengan berbagai peristiwa hukum, maka sang pejabat tersebut dengan legowo, suka tidak suka akan melepaskan jabatan yang sedang diembannya.
Tentunya masyarakat masih terngiang bagaimana ketika seorang Andi Malaranggeng (Menpora) ketika itu menghadapi peristiwa hukum dengan ditetapkan sebagai Tersangka, maka seketika itu pula Andi Malaranggeng dengan tegas akan melepaskan jabatannya. Dapat ditelaah bahwa pada satu sisi hal ini dilakukan semata-mata untuk menghindari conflict of interest, sekaligus untuk mempertahankan kewibawaan dari roda Pemerintahan.
Lantas, dengan adanya berbagai peristiwa terkini yang sedang terjadi pada Pemerintahan saat ini, maka kita juga dapat memahami. Ternyata pada Pemerintahan saat ini, seseorang yang sedang mengalami peristiwa hukum tetap bersikukuh ingin mendapatkan posisi jabatan negara yang akan dicapainya. Hal ini tentunya secara tidak langsung akan mengindikasikan bahwa bagaimana lagi jika seorang pejabat negara yang sedang memiliki jabatan tertentu kemudian tersandung peristiwa hukum, maka dapat dipastikan pejabat tersebut tidak akan legowo untuk melepaskan jabatannya.
Penulis berpandangan bahwa atas berlangsungnya friksi pada beberapa hari belakangan ini, maka Top Eksekutif yang semestinya bertanggung jawab baik dalam konteks Pemerintahan Daerah maupun Pemerintah Pusat, dalam hal ini adalah Presiden Joko Widodo, karena Presiden Joko Widodo dalam Ketatanegaraan di Indonesia, berposisi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam konteks Kepala Pemerintahan, apa yang terjadi dengan calon Sekda Provinsi Sumatera Utara merupakan atas persetujuan dari seorang Top Eksekutif, yang kemudian dijabarkan melalui kaki tangannya dalam hal ini Menteri Dalam Negeri. Artinya, sangat rancu bila seorang Top Eksekutif tidak menyadari hal-hal yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemerintahan baik di Daerah maupun di Pusat.
Walaupun Pemerintahan saat ini masih berumur jagung, namun bercermin pada berbagai peristiwa hukum tersebut, kita kembali teringat dengan “jargon-jargon” baik yang dilakukan oleh Joko Widodo ketika melakukan kampanye pemilihan Presiden Tahun 2014, maupun sesaat setelah pelantikan dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia ke 7 (ketujuh). Bahwa inilah saatnya rakyat Indonesia melakukan revolusi mental. Lantas saat ini, yang patut seluruh masyarakat Indonesia mempertanyakan, apakah revolusi mental yang dimaksud oleh Joko Widodo dilakukan melalui cara-cara seperti ini !!! (semoga tidak)
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Analisa, Selasa 20 Januari 2015, dengan link : http://analisadaily.com/news/read/hukum-moral-dan-realita-terkini/100128/2015/01/20  



[1]  Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, bekerja sebagai PNS pada Pemkab Aceh Tamiang. Serta penulis buku “Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh”. Dapat dihubungi melalui sosial media: Cakra Arbas.

1 komentar: