Aceh
dan MoU Helsinki
Oleh:
Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
(Tulisan ini didedikasikan dalam rangka
memperingati 8 Tahun paska Penandatanganan Nota Kesepahaman Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka / MoU Helsinki, 15-8-2005 s/d
15-8-2013)
MoU Helsinki yang di tandatangani di Finlandia pada
tanggal 15 Agustus 2005 adalah Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, untuk selanjutnya penulis akan menggunakan
istilah MoU Helsinki di dalam tulisan ini.
Tidak diragukan lagi, baik oleh aktor sejarah yang
terlibat (formal/informal) maupun melalui karya-karya ilmiah, serta melalui
tulisan-tulisan terdahulu (media cetak/elektronik), keseluruhannya
mengakumulasi pada satu keadaan, dimana MoU Helsinki telah dilahirkan melalui
proses yang panjang dan tentunya memiiki friksi tersendiri di masanya.
Kebijakan
Soft Power untuk Aceh
Mengutip dari buku “Soft Power Untuk Aceh”
oleh Darmansjah Djumala, disebutkan bahwa soft power sebagai sesuatu kekuatan
immaterial yang lebih menekankan pada citra non kekerasan, dibandingkan dengan
hard power yang lebih mengedepankan tindakan militer dan sanksi. Selanjutnya
kebijakan soft power dilakukan melalui mempengaruhi pihak lain dengan cara
membangun citra positif dan mengaplikasikan nilai-nilai yang hidup di
masyarakat tersebut, sumber-sumber
kekuatan untuk membangun citra positif dapat dilakukan melalui promosi
nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan, cita-cita politik (seperti
demokrasi), dan ide besar yang terkandung dalam kebijakan politik. (Darmansjah
Djumala, 2013:3)
Tentunya dalam konteks Aceh, soft power dapat
dilihat melalui proses lahirnya MoU Helsinki, dimana kedua belah pihak
(Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka), saling berkomitmen
untuk bekerja sama sehingga pada suatu periode, saling menyepakati untuk
melahirkan suatu kesepahaman bagi kedua belah pihak (Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka), yang selanjutnya tertuang dalam MoU
Helsinki.
Dapat kita pahami bahwa kedua belah pihak (Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) memiliki i’tikad baik, terlihat
dari niat untuk meniadakan kepentingan masing-masing (sepihak), dan memiliki
keinginan untuk duduk bersama menyelesaikan permasalahan Aceh dengan
langkah-langkah yang lebih responsive dan humanistic (tentunya semua ini
dilakukan dengan satu konsepsi yang sama yakni demi kepentinga rakyat Aceh pada
khususnya).
Penulis menelaah bahwa cara yang ditempuh oleh kedua
belah pihak (Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) tergolong
dalam prinsip kompromi, yang mana dalam kompromi tidak mungkin dapat berlaku
“win-lose solution”, karena pada hakikatnya terdapat prinsip take and give.
Menyepakati Lahirnya MoU Helsinki
15 Agustus 2005, merupakan hari yang penuh bersejarah,
baik itu bagi masyarakat Aceh tersendiri, maupun masyarakat Indonesia pada
umumnya, terlebih lagi untuk Indonesia sebagai suatu entitas didalam konteks
global. Mengapa demikian ? karena dengan lahirnya MoU Helsinki, maka telah
dimulai suatu babak peradaban kemanusiaan baru yang akan diimplementasikan di
Provinsi Aceh.
Penulis mencatat bahwa setidaknya ada 3 (tiga) landasan
yang menjadikan lahirnya MoU Helsinki, yaitu : (1) landasan filosofis, tentunya
bermuara dari falsafah bangsa Indonesia, dalam hal ini Pancasila, sebagaimana
yang ditegaskan di dalam sila ke 2 yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”, seyogyanya dengan penandatanganan MoU Helsinki
diharapkan hakikat dari keadilan sosial dapat di implementasikan dengan sepenuh
hati, khususnya dapat dirasakan oleh rakyat Aceh. (2) landasan politis, adanya
pemerintahan baru oleh Presiden dan Wakil Presiden ketika itu (Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla), tidak dapat dipungkiri rezim pemerintahan yang baru
telah membawa dampak positif di dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam
proses demokrasi di tingkat lokal, dimana political will menjadi salah satu
faktor dominan, karena pemerintah pada dasarnya memiliki otoritas terhadap
penyelesaian kesalahpahaman yang sedang berlangsung di Aceh ketika itu. (3)
landasan yuridis, TAP MPR RI No. VI/2002, yang
mengamanatkan penyelesaian Aceh dilakukan secara bermartabat, hal ini penulis
ibaratkan dengan kalimat (the last but not least) yang mana sebagaimana
landasan yang terakhir, tapi bukan sebagai posisi yang terakhir, sebagaimana
yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara berdasar atas hukum (rechtsstaat),
sehingga segala sesuatu perbuatan yang akan dilakukan harus memiliki landasan
hukum (legitimasi).
MoU Helsinki dan Aceh kini
Aceh kini (Aceh dimasa sekarang ini) paska MoU
Helsinki tidak dapat dipungkiri telah jauh berbeda dengan Aceh pra MoU Helsinki
(baik dalam hal ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politik), hal ini tentunya
dapat dirasakan oleh seluruh element yang berkepentingan di Provinsi Aceh. Namun
demikian, penulis mencatat bahwa dewasa ini ada beberapa friksi (khususnya di
dalam perkembangan hukum dan politik di Provinsi Aceh) yang melibatkan MoU
Helsinki sebagai pemicunya, sebagaimana yang pernah “hangat” menjadi
pembicaraan diantaranya:
(1) terkait dengan keberadaan “calon independen”,
yang dengan seketika menjadi “tema” yang menarik untuk ditelaah ketika itu
(ketika itu, calon independen yang tertuang dalam MoU Helsinki dihadapkan
dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh), dalam hal
ini sebagaimana bunyi poin 1.2 yaitu “Dengan penandatanganan Nota Kesepemahaman ini, rakyat Aceh
akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang
dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya”.
Pengakomodiran calon independen juga diamanatkan melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, dalam hal ini sebagaimana bunyi pasal 256 yaitu “ketentuan
yang mengatur calon independen (perseorangan) dalam pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 67 ayat 1 huruf d (calon independen) berlaku dan hanya
dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-undang ini diundangkan”.
Yang selanjutnya Mahkamah
Konstitusi mengambil peranan dalam friksi pemilukada Aceh Tahun 2011 yang
diimplementasikan pada Tahun 2012, melalui Putusan MK No.35/VII-PUU/2010,
dengan salah satu amar putusan menyatakan bahwa “Pasal 256 Undang-undang No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945, dan Pasal 256 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Menurut pendapat penulis, terkait atas
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, hal ini telah menunjukkan adanya
penguatan atas sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia, dan terkait atas
calon independen, hal ini memang tidak adanya larangan pada konstitusi
Indonesia, sehingga dengan pengakomodiran calon independen, maka hakikat dari
pelaksanaan demokrasi dapat terlaksana secara nyata.
(2) terkait dengan keberadaan “bendera dan lambang
Aceh”, (sekali lagi terlihat bahwa MoU Helsinki dihadapkan dengan Undang-undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh), dalam hal ini sebagaimana bunyi
poin 1.1.5 yaitu “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah
termasuk bendera, lambang, dan himne”. Disisi lain, MoU Helsinki juga
mengamanatkan bahwa paska penandatanganan MoU Helsinki, diwajibkan kepada
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk tidak menunjukkan emblem atau simbol militer,
sebagaimana bunyi poin 4.2 yaitu “GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000
pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan
emblem atau simbol militer setelah penandatanganan nota kesepahaman ini”. Kewenangan untuk membentuk bendera Aceh, juga
diamanatkan melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
dalam hal ini sebagaimana bunyi pasal 246 ayat (4) yaitu “ketentuan lebih
lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat 2
diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan”.
Hal ini penulis artikan bahwa, kewenangan yang dimiliki pemerintah Aceh untuk
membentuk bendera, bukanlah suatu kewenangan yang bebas dan mutlak, karena
pemerintah Aceh harus tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (selanjutnya peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait teknis
mengenai bendera yakni, Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang
Daerah bahwa bendera daerah tidak boleh mempunyai kesamaan dengan organisasi
terlarang/gerakan separatis, sebagaimana bunyi pasal 6 ayat (4) yaitu “Desain
logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau
organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam negara kesatuan Republik
Indonesia”. Selanjutnya juga ada penjelasan dari pasal 6 ayat (4) yaitu “yang
dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau
organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya
logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi
Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan
separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh
gerakan separatis di Provinsi Maluku”. Penulis menelaah, bahwa dengan
adanya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bendera daerah,
semestinya para stakeholder dalam membuat suatu keputusan, tidak
melupakan kehadiran dari peraturan perundang-undangan tersebut, agar nantinya
suatu keputusan yang lahir dari stakeholder akan memiliki legitimasi
yang sah secara hukum).
MoU Helsinki dan paradigma yang seharusnya
Mengutip dari perkuliahan dengan Prof. DR. M. Solly
Lubis, SH, bahwa paradigma ialah parameter/rujukan/kriteria/reference yang
menjadi dasar, mendasari pemikiran (thinking) dan mendasari tindakan (action).
Dalam paradigma juga berhimpun/bersarang beberapa nilai (value), nilai
adalah sesuatu yang dianggap baik dan luhur, sehingga setiap orang selalu
mendambakan, atau ingin menikmatinya.
Bersikap
paradigmatic, tentunya akan mewakili dari bentuk-bentuk paradigma, yakni philosophical
paradigma (paradigma filosofis, yakni Pancasila), yuridical paradigma
(paradigma hukum, yakni aturan hukum), serta political paradigma
(paradigma politik, yakni kebijakan). Khususnya paradigma hukum, dengan
bersikap paradigmatic diharapkan setiap keputusan yang dibuat oleh Pemerintah
Aceh (Eksekutif dan Legislatif), senantiasa harus memiliki legitimasi, untuk
menghindari hal-hal yang bersifat semu dan bias.
Penulis ingin mengajak seluruh stakeholder
yang berkepentingan di Aceh untuk merujuk pada satu paradigma yang sama, bahwa MoU
Helsinki, bukan sebagai suatu produk perjanjian internasional, yang mana secara
serta merta butir-butir nya dapat langsung diaplikasikan, melainkan MoU
Helsinki hanya sebagai suatu embrio, sehingga dalam pelaksanaan butir-butir MoU
Helsinki wajib dijabarkan melalui peraturan perundang-undangan yang ada dan
berlaku dalam konteks Negara Republik Indonesia, sehingga nantinya pelaksanaan
butir-butir MoU Helsinki akan memiliki dasar hukum (legitimasi).
Seluruh stakeholder yang berkepentingan di
Aceh, semestinya dapat melepaskan “ego” pribadi/kelompok untuk membangun Aceh
yang lebih baik, sebagaimana yang turut ditegaskan pula dalam pembukaan MoU
Helsinki yaitu “Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga
pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis
dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia”. Dengan
demikian semestinya MoU Helsinki dapat menjadi rujukan untuk menyejahterakan
rakyat Aceh, bukan sebagai pemecah belah kesatuan dan persatuan rakyat Aceh.
Semoga, MoU Helsinki dapat diimplementasikan dari paradigma yang sama, semoga!
[1]
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, dan PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, sekaligus pemerhati hukum dan politik
di Provinsi Aceh, dan penulis buku “Jalan Terjal Calon Independen Pada
Pemilukada di Provinsi Aceh”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar