Sabtu, 17 Agustus 2013

Aceh dan MoU Helsinki

Aceh dan MoU Helsinki
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.[1]
(Tulisan ini didedikasikan dalam rangka memperingati 8 Tahun paska Penandatanganan Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka / MoU Helsinki, 15-8-2005 s/d 15-8-2013)


MoU Helsinki yang di tandatangani di Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 adalah Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, untuk selanjutnya penulis akan menggunakan istilah MoU Helsinki di dalam tulisan ini.
Tidak diragukan lagi, baik oleh aktor sejarah yang terlibat (formal/informal) maupun melalui karya-karya ilmiah, serta melalui tulisan-tulisan terdahulu (media cetak/elektronik), keseluruhannya mengakumulasi pada satu keadaan, dimana MoU Helsinki telah dilahirkan melalui proses yang panjang dan tentunya memiiki friksi tersendiri di masanya.

Kebijakan Soft Power untuk Aceh
Mengutip dari buku “Soft Power Untuk Aceh” oleh Darmansjah Djumala, disebutkan bahwa soft power sebagai sesuatu kekuatan immaterial yang lebih menekankan pada citra non kekerasan, dibandingkan dengan hard power yang lebih mengedepankan tindakan militer dan sanksi. Selanjutnya kebijakan soft power dilakukan melalui mempengaruhi pihak lain dengan cara membangun citra positif dan mengaplikasikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat tersebut,  sumber-sumber kekuatan untuk membangun citra positif dapat dilakukan melalui promosi nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan, cita-cita politik (seperti demokrasi), dan ide besar yang terkandung dalam kebijakan politik. (Darmansjah Djumala, 2013:3)
Tentunya dalam konteks Aceh, soft power dapat dilihat melalui proses lahirnya MoU Helsinki, dimana kedua belah pihak (Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka), saling berkomitmen untuk bekerja sama sehingga pada suatu periode, saling menyepakati untuk melahirkan suatu kesepahaman bagi kedua belah pihak (Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka), yang selanjutnya tertuang dalam MoU Helsinki.
Dapat kita pahami bahwa kedua belah pihak (Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) memiliki i’tikad baik, terlihat dari niat untuk meniadakan kepentingan masing-masing (sepihak), dan memiliki keinginan untuk duduk bersama menyelesaikan permasalahan Aceh dengan langkah-langkah yang lebih responsive dan humanistic (tentunya semua ini dilakukan dengan satu konsepsi yang sama yakni demi kepentinga rakyat Aceh pada khususnya).
Penulis menelaah bahwa cara yang ditempuh oleh kedua belah pihak (Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) tergolong dalam prinsip kompromi, yang mana dalam kompromi tidak mungkin dapat berlaku “win-lose solution”, karena pada hakikatnya terdapat prinsip take and give.

Menyepakati Lahirnya MoU Helsinki
15 Agustus 2005, merupakan hari yang penuh bersejarah, baik itu bagi masyarakat Aceh tersendiri, maupun masyarakat Indonesia pada umumnya, terlebih lagi untuk Indonesia sebagai suatu entitas didalam konteks global. Mengapa demikian ? karena dengan lahirnya MoU Helsinki, maka telah dimulai suatu babak peradaban kemanusiaan baru yang akan diimplementasikan di Provinsi Aceh.
Penulis mencatat bahwa setidaknya ada 3 (tiga) landasan yang menjadikan lahirnya MoU Helsinki, yaitu : (1) landasan filosofis, tentunya bermuara dari falsafah bangsa Indonesia, dalam hal ini Pancasila, sebagaimana yang ditegaskan di dalam sila ke 2 yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, seyogyanya dengan penandatanganan MoU Helsinki diharapkan hakikat dari keadilan sosial dapat di implementasikan dengan sepenuh hati, khususnya dapat dirasakan oleh rakyat Aceh. (2) landasan politis, adanya pemerintahan baru oleh Presiden dan Wakil Presiden ketika itu (Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla), tidak dapat dipungkiri rezim pemerintahan yang baru telah membawa dampak positif di dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam proses demokrasi di tingkat lokal, dimana political will menjadi salah satu faktor dominan, karena pemerintah pada dasarnya memiliki otoritas terhadap penyelesaian kesalahpahaman yang sedang berlangsung di Aceh ketika itu. (3) landasan yuridis, TAP MPR RI No. VI/2002, yang mengamanatkan penyelesaian Aceh dilakukan secara bermartabat, hal ini penulis ibaratkan dengan kalimat (the last but not least) yang mana sebagaimana landasan yang terakhir, tapi bukan sebagai posisi yang terakhir, sebagaimana yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), sehingga segala sesuatu perbuatan yang akan dilakukan harus memiliki landasan hukum (legitimasi).

MoU Helsinki dan Aceh kini
Aceh kini (Aceh dimasa sekarang ini) paska MoU Helsinki tidak dapat dipungkiri telah jauh berbeda dengan Aceh pra MoU Helsinki (baik dalam hal ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politik), hal ini tentunya dapat dirasakan oleh seluruh element yang berkepentingan di Provinsi Aceh. Namun demikian, penulis mencatat bahwa dewasa ini ada beberapa friksi (khususnya di dalam perkembangan hukum dan politik di Provinsi Aceh) yang melibatkan MoU Helsinki sebagai pemicunya, sebagaimana yang pernah “hangat” menjadi pembicaraan diantaranya:
(1) terkait dengan keberadaan “calon independen”, yang dengan seketika menjadi “tema” yang menarik untuk ditelaah ketika itu (ketika itu, calon independen yang tertuang dalam MoU Helsinki dihadapkan dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh), dalam hal ini sebagaimana bunyi poin 1.2 yaitu “Dengan penandatanganan Nota Kesepemahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya”. Pengakomodiran calon independen juga diamanatkan melalui  Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam hal ini sebagaimana bunyi pasal 256 yaitu “ketentuan yang mengatur calon independen (perseorangan) dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat 1 huruf d (calon independen) berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-undang ini diundangkan”. Yang selanjutnya Mahkamah Konstitusi mengambil peranan dalam friksi pemilukada Aceh Tahun 2011 yang diimplementasikan pada Tahun 2012, melalui Putusan MK No.35/VII-PUU/2010, dengan salah satu amar putusan menyatakan bahwa “Pasal 256 Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan Pasal 256 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Menurut pendapat penulis, terkait atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, hal ini telah menunjukkan adanya penguatan atas sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia, dan terkait atas calon independen, hal ini memang tidak adanya larangan pada konstitusi Indonesia, sehingga dengan pengakomodiran calon independen, maka hakikat dari pelaksanaan demokrasi dapat terlaksana secara nyata.
(2) terkait dengan keberadaan “bendera dan lambang Aceh”, (sekali lagi terlihat bahwa MoU Helsinki dihadapkan dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh), dalam hal ini sebagaimana bunyi poin 1.1.5 yaitu “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne”. Disisi lain, MoU Helsinki juga mengamanatkan bahwa paska penandatanganan MoU Helsinki, diwajibkan kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk tidak menunjukkan emblem atau simbol militer, sebagaimana bunyi poin 4.2 yaitu “GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan nota kesepahaman ini”.  Kewenangan untuk membentuk bendera Aceh, juga diamanatkan melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam hal ini sebagaimana bunyi pasal 246 ayat (4) yaitu “ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan”. Hal ini penulis artikan bahwa, kewenangan yang dimiliki pemerintah Aceh untuk membentuk bendera, bukanlah suatu kewenangan yang bebas dan mutlak, karena pemerintah Aceh harus tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. (selanjutnya peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait teknis mengenai bendera yakni, Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah bahwa bendera daerah tidak boleh mempunyai kesamaan dengan organisasi terlarang/gerakan separatis, sebagaimana bunyi pasal 6 ayat (4) yaitu “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam negara kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya juga ada penjelasan dari pasal 6 ayat (4) yaitu “yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku”. Penulis menelaah, bahwa dengan adanya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bendera daerah, semestinya para stakeholder dalam membuat suatu keputusan, tidak melupakan kehadiran dari peraturan perundang-undangan tersebut, agar nantinya suatu keputusan yang lahir dari stakeholder akan memiliki legitimasi yang sah secara hukum).

MoU Helsinki dan paradigma yang seharusnya
Mengutip dari perkuliahan dengan Prof. DR. M. Solly Lubis, SH, bahwa paradigma ialah parameter/rujukan/kriteria/reference yang menjadi dasar, mendasari pemikiran (thinking) dan mendasari tindakan (action). Dalam paradigma juga berhimpun/bersarang beberapa nilai (value), nilai adalah sesuatu yang dianggap baik dan luhur, sehingga setiap orang selalu mendambakan, atau ingin menikmatinya.
Bersikap paradigmatic, tentunya akan mewakili dari bentuk-bentuk paradigma, yakni philosophical paradigma (paradigma filosofis, yakni Pancasila), yuridical paradigma (paradigma hukum, yakni aturan hukum), serta political paradigma (paradigma politik, yakni kebijakan). Khususnya paradigma hukum, dengan bersikap paradigmatic diharapkan setiap keputusan yang dibuat oleh Pemerintah Aceh (Eksekutif dan Legislatif), senantiasa harus memiliki legitimasi, untuk menghindari hal-hal yang bersifat semu dan bias.
Penulis ingin mengajak seluruh stakeholder yang berkepentingan di Aceh untuk merujuk pada satu paradigma yang sama, bahwa MoU Helsinki, bukan sebagai suatu produk perjanjian internasional, yang mana secara serta merta butir-butir nya dapat langsung diaplikasikan, melainkan MoU Helsinki hanya sebagai suatu embrio, sehingga dalam pelaksanaan butir-butir MoU Helsinki wajib dijabarkan melalui peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku dalam konteks Negara Republik Indonesia, sehingga nantinya pelaksanaan butir-butir MoU Helsinki akan memiliki dasar hukum (legitimasi).
Seluruh stakeholder yang berkepentingan di Aceh, semestinya dapat melepaskan “ego” pribadi/kelompok untuk membangun Aceh yang lebih baik, sebagaimana yang turut ditegaskan pula dalam pembukaan MoU Helsinki yaitu “Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia”. Dengan demikian semestinya MoU Helsinki dapat menjadi rujukan untuk menyejahterakan rakyat Aceh, bukan sebagai pemecah belah kesatuan dan persatuan rakyat Aceh. Semoga, MoU Helsinki dapat diimplementasikan dari paradigma yang sama, semoga!







[1]  Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dan PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, sekaligus pemerhati hukum dan politik di Provinsi Aceh, dan penulis buku “Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar