Sabtu, 17 Agustus 2013

MoU Helsinki dan Sistem Hukum

    MoU (Memorandum of Understanding) dan Perbandingan Sistem Hukum
 Oleh: Cakra Arbas, SH.I, M.H


A.  MoU (Memorandum of Understanding)
Istilah Memorandum of Understanding berasal dari dua kata, yaitu memorandum dan understanding. Dalam Black’s Law Dictionary[1] diartikan memorandum adalah “dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa datang” (is to serve as the basis of future formal contract). Sedangkan understanding diartikan sebagai “pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun secara tertulis” (an implied agreement resulting from the express term of another agreement, whether written or oral).
Istilah lain yang sering juga dipakai untuk M.O.U ini, terutama oleh negara-negara Eropa adalah apa yang disebut dengan Head Agreement, Cooperation Agreement, dan Gentlement Agreement yang sebenarnya mempunyai arti yang sama saja dengan arti yang dikandung oleh istilah MoU[2]. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dirumuskan pengertian MoU adalah dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun lisan. Secara gramatikal MoU biasa diartikan sebagai nota kesepahaman[3].
Suatu nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) adalah suatu persetujuan (agreement) antara dua atau lebih pihak, bilateral atau multilateral, dalam bentuk suatu dokumen hukum. MoU tidak sepenuhnya mengikat secara hukum dalam cara sebagaimana suatu kontrak mengikat secara hukum para pihak terlibat didalamnya, tetapi MoU lebih kuat dan lebih resmi dari pada suatu persetujuan jantan (gentlemen's agreement) atau persetujuan lisan tradisional. Bahkan suatu MoU digunakan sebagai suatu sinonim umum untuk suatu surat minat (letter of intent/LoI), terutama dalam hukum swasta di Amerika Serikat. Suatu LoI mengungkapkan suatu kepentingan dalam melaksanakan suatu layanan atau mengambil bagian dalam suatu kegiatan, tapi secara hukum tak mewajibkan pihak manapun.
Beberapa pendapat memberi arti yang berbeda pula tentang MoU, misalnya Munir Fuady[4] mengartikan MoU adalah “perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu MoU berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai lain-lain aspek dari MoU relatif sama dengan perjanjian-perjanjian lain”.
Disisi lain, Erman Rajagukguk[5] mengartikan MoU sebagai “dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari MoU harus dimasukkan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”. Sehingga dari keseluruhan pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur MoU, yaitu[6]:
1.     Bersifat sebagai perjanjian pendahuluan.
2.     Dibuat oleh para pihak yang merupakan subjek hukum.
3.     Wilayah keberlakuan yang bisa meliputi regional, nasional, maupun internasional.
4.     Substansi MoU adalah kerjasama dalam berbagai aspek.
5.     Jangka waktunya tertentu.

MoU sebenarnya tidak dikenal dalam hukum Indonesia, tetapi sering dipergunakan dalam praktik. MoU dianggap sebagai kontrak yang simpel dan tidak disusun secara formal, serta dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan[7]. MoU memiliki banyak keuntungan praktis bila dibandingkan dengan perjanjian (treaty). Ketika berhadapan dengan isu-isu sensitif atau pribadi, suatu MoU dapat dibuat secara rahasia, sementara suatu perjanjian tidak. Suatu MoU juga dapat diberlakukan dalam suatu cara lebih tepat-waktu dari pada suatu perjanjian, karena MoU tidak memerlukan ratifikasi atau pengesahan atas keabsahannya secara hukum. Selain itu, suatu MoU dapat diubah atau dimodifikasi tanpa negosiasi berkepanjangan. Ini khususnya sangat berguna, kecuali dalam situasi multilateral. Dalam hal fakta yang terjadi, kebanyakan persetujuan internasional dan persetujuan penerbangan transnasional adalah menggunakan suatu jenis MoU[8].
Adapun yang merupakan ciri-ciri dari suatu MoU adalah sebagai berikut[9]:
1. Isinya ringkas, bahkan sering satu halaman saja
2. Berisikan hal yang pokok saja
3.  Hanya berisikan pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci.
4. Mempunyai jangka waktu berlakunya, misalnya 1 bulan, 6 bulan atau setahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka M.O.U tersebut akan batal, kecuali diperpanjang dengan para pihak.
5. Biasanya dibuat dalam bentuk di bawah tangan saja tanpa adanya materai.
6. Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk.

Suatu MoU adalah dokumen yang memberikan persetujuan bilateral atau multilateral antara para pihak. MoU mengungkapkan suatu konvergensi keinginan atau kemauan antara para pihak, yang menunjukkan suatu garis umum dimaksud dari tindakan. MoU sering digunakan dalam kasus-kasus dimana para pihak tak menginkan suatu komitmen hukum atau dalam situasi-situasi dimana para pihak tak dapat menciptakan suatu persetujuan bisa-ditegakkan secara hukum. MoU adalah suatu alternatif lebih resmi daripada suatu persetujuan jantan (gentlemen's agreement) atau persetujuan lisan tradisional. MoU mengandung pengungkapan kesepakatan antara dua pihak atau lebih, dan untuk keberlakuannya harus ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak ditemukan ketentuan yang khusus mengatur tentang MoU, namun bila diperhatikan substansi dari MoU sebagai perjanjian pendahuluan, maka dapat disimpulkan bahwa MoU tunduk pada ketentuan perikatan pada umumnya dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, karena bagaimanapun ada unsur kesepakatan dalam pembuatan MoU. Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu “bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”[10].
MoU dibuat dengan memiliki tujuan-tujuan tertentu antara lain, yaitu sebagai berikut[11]:
1.  Untuk menghindari kesulitan pembatalan suatu agreement nantinya, dalam hal prospek bisnisnya belum jelas benar, dan apakah kerjasama selanjutnya akan ditindaklanjuti, sehingga dibuatlah MoU yang mudah dibatalkan.
2.  Penandatanganan kontrak masih lama karena masih dilakukan negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, maka dibuatlah MoU yang akan berlaku sementara waktu.
3.  Adanya keraguan para pihak dan masih perlu waktu untuk pikir-pikir dalam hal penandatanganan suatu kontrak, sehingga untuk sementara dibuatlah MoU.
4.  MoU dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif teras dari suatu perusahaan, sehingga untuk suatu perjanjian yang lebih rinci harus dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf yang lebih rendah namun lebih menguasai secara teknis.

Mengingat substansi MoU di mana adanya kesepakatan kehendak untuk membuatnya, maka dikatakan MoU mempunyai kekuatan mengikat untuk dilaksanakan layaknya sebuah perjanjian pada umumnya. Akan tetapi bila salah satu pihak tidak memenuhi isi memorandum, pihak lain tidak mempersoalkan hal tersebut. Sehingga para ahli pun belum memiliki jawaban yang pasti tentang kekuatan mengikat MoU.
Ray Wijaya[12] mengemukakan pendapatnya tentang kekuatan mengikat MoU tersebut yaitu bahwa pertama, MoU hanya merupakan suatu gentlement agreement yang tidak mempunyai akibat hukum, dan kedua, MoU merupakan suatu bukti awal telah terjadi atau tercapai saling pengertian mengenai masalah-masalah pokok.
Penggunaan MoU dalam praktik hukum di masyarakat sebagaimana disinggung di atas seringkali tidak tepat, paling tidak penggunaannya oleh masyarakat awam. Masyarakat kebanyakan masih menyamakan MoU dengan perjanjian, sehingga dalam hal pihak lain tidak melaksanakan apa yang termuat dalam MoU maka padanya seakan-akan dapat menggugat pihak lain tersebut. Kalau ditinjau secara isi materi muatan yang ada di MoU seringkali secara substansial sudah merupakan perjanjian, namun dalam kenyataannya yang dipakai adalah istilah MoU. Adanya berpotensi menimbulkan dampak yuridis yang berkepanjangan, sehingga bisa menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat.
Adapu fakta yang menarik dari penggunaan MoU di Indonesia, diantaranya MoU Helsinki (nota kesepahaman antara pemerintah RI dengan GAM), yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Berawal dari sini, penataan Aceh kedepan dilanjutkan. Walaupun MoU tidak termasuk kedalam hierarki perundang-undangan Republik Indonesia, MoU merupakan pondasi pembangunan Aceh yang damai dan berkelanjutan. MoU mengamantkan terbentuknya Undang-undang yang mengatur tentang Aceh. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006 (point 1.1.1 MoU Helsinki).
Sebagai konsekwensi dari lahirnya MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melahirkan sebuah Undang-undang yang mengatur tentang Aceh (Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh), yang prinsipnya telah diatur dalam point berikutnya dalam MoU Helsinki (Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi, sebagaimana yang ditegaskan pada point 1.1.2 MoU Helsinki).
Untuk selanjutnya, hal ini menjadi menarik karena dalam perkembangan politik hukum di Aceh, juga tentunya perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh, MoU Helsinki telah menjadi cita hukum (Rechtsidee) bagi seluruh stakeholder yang berkepentingan di Aceh. menurut penulis, hal ini perlu untuk ditindaklanjuti dikarenakan Aceh masih berada dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (juga hal tersebut diamanatkan oleh MoU Helsinki). Oleh karenanya, penulis berkepentingan untuk menggaris bawahi bahwa ketika Aceh masih berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka harus tunduk pula oleh Konstitusi Indonesia.
Khusus mengenai cita hukum (Rechtsidee), bahwa cita hukum Indonesia tetap bersumber dari Pancasila. Dengan demikian, semestinya Aceh dalam perkembangan politik hukum, maupun peraturan perundang-undangan, juga harus menerapkan Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee) yang bersifat fundament (mendasar), sehingga nantinya seluruh keputusan dan kebijakan yang diterapkan di Aceh tidak bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Oleh karenanya penulis berpendapat bahwa, walaupun MoU tidak dikenal dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun di Aceh MoU Helsinki dapat menjadi cita hukum (Rechtsidee), karena MoU Helsinki sendiri telah menjadi lokomotif bagi perkembangan perdamaian dan peradaban di Aceh, dengan catatan tidak bertentangan dengan Pancasila.

B.  Perbandingan Sistem Hukum antara Civil Law dan Common Law
MoU sebagaimana tersebut di atas merupakan hasil dari produk hukum yang berasal dari tradisi Anglo Saxon. Di tinjau secara keilmuan hukum, MoU merupakan janji untuk mengadakan perjanjian, dengan demikian pada dasarnya belum mempunyai kekuatan mengikat layaknya perjanjian itu sendiri. Penggunaan istilah MoU dalam tradisi Eropa Kontinental dengan mengkaitkan dengan teori kebenaran lebih tepat, serta masuk ke dalam teori kebenaran pragmatis karena didasarkan pada manfaat secara praktis dan kehadirannya dirasakan mendatangkan manfaat[13].
Sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) berkembang di negara-negara Eropa. Sistem hukum ini bersumber dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus abad 5 (527 – 565). Prinsip utama atau prinsip dasar sistem hukum Eropa Kontinental ialah bahwa hukum itu memperoleh kekuasaan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi, kepastian hukumlah yang menjadi tujuan hukum. Kepastian hukum dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis, misalnya Undang-undang.
Dalam sistem hukum ini, terkenal suatu adagium yang berbunyi “tidak ada hukum selain undang-undang”. Dengan kata lain, hukum selalu diidentifikasikan dengan undang-undang (hukum adalah undang-undang).
Sistem hukum Anglo Saxon (Common Law) mula – mula berkembang di negara Inggris, dan dikenal dgn istilah Common Law atau Unwriten Law (hukum tidak tertulis). Sistem hukum ini dianut di negara-negara anggota persemakmuran Inggris, Amerika Utara,Kanada, Amerika Serikat.
Menalaah keberadaan MoU dalam sistem hukum Indonesia, Walaupun MoU tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, namun demikian penulis melihat bahwa adanya kebijakan dari pemerintah untuk mengadopsi MoU yang notabene merupakan produk hukum dari sistem hukum Anglo saxon (Common Law) untuk diterapkan kedalam sistem hukum nasional saat ini, tentunya dengan pertimbangan yang didasarkan pada manfaat secara praktis dan kehadirannya dirasakan mendatangkan manfaat.
MoU merupakan bentuk dari sistem hukum Common Law, oleh karenanya tidak dapat dipisahkan dari teori sistem yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman[14], yaitu:
1.     Struktur Hukum (Legal Structure)
2.     Substansi Hukum (Legal Substance)
3.     Budaya Hukum (Legal Culture)

Lawrence M. Friedman[15] juga menerangkan bahwa, sistem  hukum mempunyai fungsi pokok, yaitu sebagai “kontrol sosial” yang pada dasarnya berupa pemberlakuan peraturan mengenai perilaku yang benar. Fungsi lain dari hukum adalah menciptakan norma-norma itu sendiri, bahan-bahan mentah bagi kontrol sosial, kekuatan-kekuatan sosial melontarkan tekanan-tekanan, tekanan tersebut akan “membentuk” hukum, namun institusi-institusi yang ada pada sistem hukum mengambil tekanan/tuntutan dan mengubahnya menjadi peraturan, prinsip, dan instruksi-instruksi bagi penduduk pada umumnya.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa MoU sejatinya adalah keinginan dari para pihak untuk saling menyepakati hal-hal yang dianggap perlu dan dapat mengatur, yang selanjutnya akan diterapkan didalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berikut ini, melalui tabel akan digambarkan perbedaan antara Civil Law dan Common Law, yaitu[16]:

Pembeda
Civil Law
Common Law
Sumber Hukum
1.      Undang – undang dibentuk oleh legslatif (statutes)
2.      Peraturan – peraturan hukum
3.      Kebiasaan (custom) yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat
1.      Putusan hakim / putusan pengadilan / yurisprudensi (judicial decisions)
2.      Peraturan hukum tertulis (undang – undang), peraturan administrasi dan kebiasaan
Bentuk
1.      mengenal sistem peradilan administras
2.      menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi
3.      tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah



1.      hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara
2.      dikembangkan melalui praktek prosedur hukum
3.      dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
Kodifikasi hukum
Dikenal dengan adanya kodifikasi hukum
Tidak ada kodifikasi
Keputusan hakim
tidak dianggap sebagai kaidah atau sumber hukum
keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti.
Pandangan hakim
lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu
pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
Kategoris
bangunan hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban
kategorisasi fundamental tidak dikenal.Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.
Dasar hukum
Kodifikasi hukum
Yurisprudensi / keputusan hakim
Peran hakim
Tidak bebas menciptakan hukum baru karena hakim hanya berperan menetapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya
Bertugas menafsirakan dan menetapkan peraturan, menciptakan kaidah hukum baru yang mengatur tata kehidupan masyarakat, menciptakan prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim dalam memutuskan perkara







[1]     Henry Campbell, “Black’s Law Dictionary”, (USA: West Publishing Company, 1990).
[2]     Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 90.
[3]     Salim HS, “Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding /MoU”. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 46.
[4]     Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 91.
[5]     Erman Rajagukguk,  “Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia”,  (Jakarta: Universitas Inonesia, 1994), hlm 4.
[6]     Ibid., hlm. 47.
[7]     Salim HS, “Hukum Kontrak. Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 124.
[8]     Dwika Sudrajat, “MoU dan Kontrak”, http://dwikasudrajat.blogspot.com/2012/03/mou-memorandum-of-understanding.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
[9]     Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 92.

[10]  Salim HS, “Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding /MoU”. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 48.
[11]   Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 91-92.
[12]  I. G. Ray Wijaya, “Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktik”, (Jakarta: Kasaint Blanc, 2003), hlm. 102.
[13]  Rahmat S. Sokonagoro, “Menggali makna peristilahan hukum dalam bahasa hukum Indonesia”, http://www.sokonagoro.com/7-menggali-makna-peristilahan-hukum-dalam-bahasa-hukum-indonesia.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
[14]  Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 12-19. Lihat juga dalam, Lawrence M. Friedman, “Hukum Amerika Sebuah Pengantar”, (Jakarta: Tata Nusa, 2001), hlm. 8-10.
[15]   Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 20. 
[16]  Tabel ini disadur dari: Linda, “Perbedaan sistem hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon”,http: // chancut- unyuw. blogspot. com/ 2012 /02 /perbedaan –sistem –hukum -kontinental-dan_23.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar