MoU (Memorandum
of Understanding) dan
Perbandingan Sistem Hukum
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, M.H
A.
MoU (Memorandum of Understanding)
Istilah
Memorandum of Understanding berasal dari dua kata, yaitu memorandum
dan understanding. Dalam Black’s Law Dictionary[1] diartikan memorandum
adalah “dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa datang”
(is to serve as the basis of future formal contract). Sedangkan understanding
diartikan sebagai “pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap
hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun secara tertulis”
(an implied agreement resulting from the express term of another agreement,
whether written or oral).
Istilah
lain yang sering juga dipakai untuk M.O.U ini, terutama oleh negara-negara
Eropa adalah apa yang disebut dengan Head Agreement, Cooperation
Agreement, dan Gentlement Agreement yang sebenarnya mempunyai arti
yang sama saja dengan arti yang dikandung oleh istilah MoU[2]. Berdasarkan pengertian
tersebut, dapat dirumuskan pengertian MoU adalah dasar penyusunan kontrak pada
masa datang yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara
tertulis maupun lisan. Secara gramatikal MoU biasa diartikan sebagai nota
kesepahaman[3].
Suatu nota kesepahaman (memorandum
of understanding/MoU) adalah suatu persetujuan (agreement) antara
dua atau lebih pihak, bilateral atau multilateral, dalam bentuk suatu dokumen
hukum. MoU tidak sepenuhnya mengikat secara hukum dalam cara sebagaimana suatu
kontrak mengikat secara hukum para pihak terlibat didalamnya, tetapi MoU lebih
kuat dan lebih resmi dari pada suatu persetujuan jantan (gentlemen's
agreement) atau persetujuan lisan tradisional. Bahkan suatu MoU digunakan
sebagai suatu sinonim umum untuk suatu surat minat (letter of intent/LoI),
terutama dalam hukum swasta di Amerika Serikat. Suatu LoI mengungkapkan suatu
kepentingan dalam melaksanakan suatu layanan atau mengambil bagian dalam suatu
kegiatan, tapi secara hukum tak mewajibkan pihak manapun.
Beberapa
pendapat memberi arti yang berbeda pula tentang MoU, misalnya Munir Fuady[4] mengartikan MoU adalah
“perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam
perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu MoU berisikan
hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai lain-lain aspek dari MoU relatif sama
dengan perjanjian-perjanjian lain”.
Disisi
lain, Erman Rajagukguk[5] mengartikan MoU sebagai
“dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian
dibuat. Isi dari MoU harus dimasukkan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai
kekuatan mengikat”. Sehingga dari keseluruhan pengertian tersebut dapat
disimpulkan unsur-unsur MoU, yaitu[6]:
1. Bersifat sebagai perjanjian pendahuluan.
2. Dibuat oleh para pihak yang merupakan subjek hukum.
3. Wilayah keberlakuan yang bisa meliputi regional, nasional, maupun
internasional.
4. Substansi MoU adalah kerjasama dalam berbagai aspek.
5. Jangka waktunya tertentu.
MoU sebenarnya tidak dikenal dalam hukum
Indonesia, tetapi sering dipergunakan dalam praktik. MoU dianggap sebagai
kontrak yang simpel dan tidak disusun secara formal, serta dianggap sebagai
pembuka suatu kesepakatan[7]. MoU memiliki banyak keuntungan praktis bila
dibandingkan dengan perjanjian (treaty). Ketika berhadapan dengan
isu-isu sensitif atau pribadi, suatu MoU dapat dibuat secara rahasia, sementara
suatu perjanjian tidak. Suatu MoU juga dapat diberlakukan dalam suatu cara
lebih tepat-waktu dari pada suatu perjanjian, karena MoU tidak memerlukan
ratifikasi atau pengesahan atas keabsahannya secara hukum. Selain itu, suatu MoU
dapat diubah atau dimodifikasi tanpa negosiasi berkepanjangan. Ini khususnya
sangat berguna, kecuali dalam situasi multilateral. Dalam hal fakta yang
terjadi, kebanyakan persetujuan internasional dan persetujuan penerbangan
transnasional adalah menggunakan suatu jenis MoU[8].
Adapun yang merupakan
ciri-ciri dari suatu MoU adalah sebagai berikut[9]:
1. Isinya ringkas, bahkan sering satu halaman saja
2. Berisikan hal yang pokok saja
3. Hanya berisikan pendahuluan saja, yang akan
diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci.
4. Mempunyai jangka waktu berlakunya, misalnya 1
bulan, 6 bulan atau setahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak
ditindaklanjuti dengan penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka
M.O.U tersebut akan batal, kecuali diperpanjang dengan para pihak.
5.
Biasanya dibuat dalam bentuk di bawah tangan saja tanpa adanya materai.
6.
Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk.
Suatu MoU adalah dokumen
yang memberikan persetujuan bilateral atau multilateral antara para pihak. MoU
mengungkapkan suatu konvergensi keinginan atau kemauan antara para pihak, yang
menunjukkan suatu garis umum dimaksud dari tindakan. MoU sering digunakan dalam
kasus-kasus dimana para pihak tak menginkan suatu komitmen hukum atau dalam
situasi-situasi dimana para pihak tak dapat menciptakan suatu persetujuan bisa-ditegakkan
secara hukum. MoU adalah suatu alternatif lebih resmi daripada suatu
persetujuan jantan (gentlemen's agreement) atau persetujuan lisan tradisional.
MoU mengandung pengungkapan kesepakatan antara dua pihak atau lebih, dan untuk
keberlakuannya harus ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat.
Dalam
berbagai peraturan perundang-undangan tidak ditemukan ketentuan yang khusus
mengatur tentang MoU, namun bila diperhatikan substansi dari MoU sebagai
perjanjian pendahuluan, maka dapat disimpulkan bahwa MoU tunduk pada ketentuan
perikatan pada umumnya dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, karena bagaimanapun ada
unsur kesepakatan dalam pembuatan MoU. Selain itu dapat pula dilihat dalam
Pasal 1338 KUH Perdata yaitu “bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”[10].
MoU
dibuat dengan memiliki tujuan-tujuan tertentu antara lain, yaitu sebagai
berikut[11]:
1. Untuk menghindari
kesulitan pembatalan suatu agreement nantinya, dalam hal prospek bisnisnya
belum jelas benar, dan apakah kerjasama selanjutnya akan ditindaklanjuti,
sehingga dibuatlah MoU yang mudah dibatalkan.
2. Penandatanganan kontrak
masih lama karena masih dilakukan negosiasi yang alot. Karena itu, daripada
tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, maka
dibuatlah MoU yang akan berlaku sementara waktu.
3. Adanya keraguan para
pihak dan masih perlu waktu untuk pikir-pikir dalam hal penandatanganan suatu
kontrak, sehingga untuk sementara dibuatlah MoU.
4. MoU dibuat dan
ditandatangani oleh pihak eksekutif teras dari suatu perusahaan, sehingga untuk
suatu perjanjian yang lebih rinci harus dirancang dan dinegosiasi khusus oleh
staf yang lebih rendah namun lebih menguasai secara teknis.
Mengingat
substansi MoU di mana adanya kesepakatan kehendak untuk membuatnya, maka
dikatakan MoU mempunyai kekuatan mengikat untuk dilaksanakan layaknya sebuah
perjanjian pada umumnya. Akan tetapi bila salah satu pihak tidak memenuhi isi memorandum,
pihak lain tidak mempersoalkan hal tersebut. Sehingga para ahli pun belum
memiliki jawaban yang pasti tentang kekuatan mengikat MoU.
Ray
Wijaya[12] mengemukakan pendapatnya
tentang kekuatan mengikat MoU tersebut yaitu bahwa pertama, MoU hanya merupakan
suatu gentlement agreement yang tidak mempunyai akibat hukum, dan kedua, MoU
merupakan suatu bukti awal telah terjadi atau tercapai saling pengertian
mengenai masalah-masalah pokok.
Penggunaan
MoU dalam praktik hukum di masyarakat sebagaimana disinggung di atas seringkali
tidak tepat, paling tidak penggunaannya oleh masyarakat awam. Masyarakat
kebanyakan masih menyamakan MoU dengan perjanjian, sehingga dalam hal pihak
lain tidak melaksanakan apa yang termuat dalam MoU maka padanya seakan-akan
dapat menggugat pihak lain tersebut. Kalau ditinjau secara isi materi muatan
yang ada di MoU seringkali secara substansial sudah merupakan perjanjian, namun
dalam kenyataannya yang dipakai adalah istilah MoU. Adanya berpotensi
menimbulkan dampak yuridis yang berkepanjangan, sehingga bisa menimbulkan
ketidakadilan dalam masyarakat.
Adapu
fakta yang menarik dari penggunaan MoU di Indonesia, diantaranya MoU Helsinki (nota
kesepahaman antara pemerintah RI dengan GAM), yang tertuang dalam Memorandum
of Understanding (MoU) Helsinki. Berawal dari sini, penataan Aceh kedepan
dilanjutkan. Walaupun MoU tidak termasuk kedalam hierarki perundang-undangan
Republik Indonesia, MoU merupakan pondasi pembangunan Aceh yang damai dan berkelanjutan.
MoU mengamantkan terbentuknya Undang-undang yang mengatur tentang Aceh.
Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh akan diundangkan
dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret
2006 (point 1.1.1 MoU Helsinki).
Sebagai
konsekwensi dari lahirnya MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia melalui Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) melahirkan sebuah Undang-undang yang mengatur tentang Aceh
(Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh), yang prinsipnya
telah diatur dalam point berikutnya dalam MoU Helsinki (Aceh akan melaksanakan
kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan
dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar
negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal,
kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan
kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi, sebagaimana
yang ditegaskan pada point 1.1.2 MoU Helsinki).
Untuk
selanjutnya, hal ini menjadi menarik karena dalam perkembangan politik hukum di
Aceh, juga tentunya perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Aceh, MoU Helsinki telah menjadi cita hukum (Rechtsidee) bagi seluruh
stakeholder yang berkepentingan di Aceh. menurut penulis, hal ini perlu untuk
ditindaklanjuti dikarenakan Aceh masih berada dalam konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia (juga hal tersebut diamanatkan oleh MoU Helsinki). Oleh
karenanya, penulis berkepentingan untuk menggaris bawahi bahwa ketika Aceh
masih berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka harus
tunduk pula oleh Konstitusi Indonesia.
Khusus
mengenai cita hukum (Rechtsidee), bahwa cita hukum Indonesia tetap
bersumber dari Pancasila. Dengan demikian, semestinya Aceh dalam perkembangan
politik hukum, maupun peraturan perundang-undangan, juga harus menerapkan
Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee) yang bersifat fundament
(mendasar), sehingga nantinya seluruh keputusan dan kebijakan yang diterapkan
di Aceh tidak bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia, yakni Pancasila.
Oleh karenanya penulis berpendapat bahwa, walaupun MoU tidak dikenal dalam
hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun di Aceh MoU Helsinki
dapat menjadi cita hukum (Rechtsidee), karena MoU Helsinki sendiri telah
menjadi lokomotif bagi perkembangan perdamaian dan peradaban di Aceh, dengan
catatan tidak bertentangan dengan Pancasila.
B. Perbandingan Sistem Hukum antara Civil
Law dan Common Law
MoU
sebagaimana tersebut di atas merupakan hasil dari produk hukum yang berasal
dari tradisi Anglo Saxon. Di tinjau secara keilmuan hukum, MoU merupakan janji
untuk mengadakan perjanjian, dengan demikian pada dasarnya belum mempunyai
kekuatan mengikat layaknya perjanjian itu sendiri. Penggunaan istilah MoU dalam
tradisi Eropa Kontinental dengan mengkaitkan dengan teori kebenaran lebih
tepat, serta masuk ke dalam teori kebenaran pragmatis karena didasarkan pada manfaat
secara praktis dan kehadirannya dirasakan mendatangkan manfaat[13].
Sistem hukum Eropa Kontinental
(Civil Law) berkembang di negara-negara Eropa. Sistem hukum ini
bersumber dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa
pemerintahan Kaisar Yustinianus abad 5 (527 – 565). Prinsip utama atau prinsip
dasar sistem hukum Eropa Kontinental ialah bahwa hukum itu memperoleh kekuasaan
mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun
secara sistematis dalam kodifikasi, kepastian hukumlah yang menjadi tujuan
hukum. Kepastian hukum dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam
pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis, misalnya Undang-undang.
Dalam sistem hukum ini,
terkenal suatu adagium yang berbunyi “tidak ada hukum selain undang-undang”. Dengan
kata lain, hukum selalu diidentifikasikan dengan undang-undang (hukum adalah
undang-undang).
Sistem hukum Anglo Saxon (Common
Law) mula – mula berkembang di negara Inggris, dan dikenal dgn istilah Common
Law atau Unwriten Law (hukum tidak tertulis). Sistem hukum ini
dianut di negara-negara anggota persemakmuran Inggris, Amerika Utara,Kanada,
Amerika Serikat.
Menalaah keberadaan MoU
dalam sistem hukum Indonesia, Walaupun MoU tidak dikenal dalam sistem hukum
Indonesia, namun demikian penulis melihat bahwa adanya kebijakan dari
pemerintah untuk mengadopsi MoU yang notabene merupakan produk hukum dari
sistem hukum Anglo saxon (Common Law) untuk diterapkan kedalam sistem
hukum nasional saat ini, tentunya dengan pertimbangan yang didasarkan pada manfaat secara praktis dan kehadirannya dirasakan
mendatangkan manfaat.
MoU merupakan bentuk dari
sistem hukum Common Law, oleh karenanya tidak dapat dipisahkan dari
teori sistem yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman[14], yaitu:
1.
Struktur Hukum (Legal Structure)
2.
Substansi Hukum (Legal Substance)
3.
Budaya Hukum (Legal Culture)
Lawrence M. Friedman[15] juga
menerangkan bahwa, sistem hukum
mempunyai fungsi pokok, yaitu sebagai “kontrol sosial” yang pada dasarnya
berupa pemberlakuan peraturan mengenai perilaku yang benar. Fungsi lain dari
hukum adalah menciptakan norma-norma itu sendiri, bahan-bahan mentah bagi
kontrol sosial, kekuatan-kekuatan sosial melontarkan tekanan-tekanan, tekanan
tersebut akan “membentuk” hukum, namun institusi-institusi yang ada pada sistem
hukum mengambil tekanan/tuntutan dan mengubahnya menjadi peraturan, prinsip,
dan instruksi-instruksi bagi penduduk pada umumnya.
Dengan demikian, dapat
dilihat bahwa MoU sejatinya adalah keinginan dari para pihak untuk saling
menyepakati hal-hal yang dianggap perlu dan dapat mengatur, yang selanjutnya
akan diterapkan didalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berikut ini, melalui tabel
akan digambarkan perbedaan antara Civil Law dan Common Law, yaitu[16]:
Pembeda
|
Civil Law
|
Common Law
|
Sumber Hukum
|
1. Undang – undang dibentuk oleh
legslatif (statutes)
2. Peraturan – peraturan hukum
3. Kebiasaan (custom) yang hidup dan
diterima sebagai hukum oleh masyarakat
|
1. Putusan hakim / putusan pengadilan
/ yurisprudensi (judicial decisions)
2. Peraturan hukum tertulis (undang –
undang), peraturan administrasi dan kebiasaan
|
Bentuk
|
1. mengenal sistem peradilan
administras
2. menjadi modern karena pengkajian
yang dilakukan oleh perguruan tinggi
3. tidak dibutuhkan lembaga untuk
mengoreksi kaidah
|
1. hanya mengenal satu peradilan
untuk semua jenis perkara
2. dikembangkan melalui praktek
prosedur hukum
3. dibutuhkan suatu lembaga untuk
mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk
melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi
ketegaran.
|
Kodifikasi hukum
|
Dikenal
dengan adanya kodifikasi hukum
|
Tidak ada
kodifikasi
|
Keputusan hakim
|
tidak
dianggap sebagai kaidah atau sumber hukum
|
keputusan
hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti.
|
Pandangan hakim
|
lebih
tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu
|
pandangan
hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
|
Kategoris
|
bangunan
hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang
kewajiban
|
kategorisasi
fundamental tidak dikenal.Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya
terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan
pada kaidah yang sangat kongrit.
|
Dasar hukum
|
Kodifikasi
hukum
|
Yurisprudensi
/ keputusan hakim
|
Peran hakim
|
Tidak
bebas menciptakan hukum baru karena hakim hanya berperan menetapkan dan
menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya
|
Bertugas
menafsirakan dan menetapkan peraturan, menciptakan kaidah hukum baru yang
mengatur tata kehidupan masyarakat, menciptakan prinsip hukum baru yang
berguna sebagai pegangan bagi hakim dalam memutuskan perkara
|
[1] Henry
Campbell, “Black’s Law Dictionary”, (USA: West Publishing Company, 1990).
[2]
Munir Fuady, “Hukum Bisnis
dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 90.
[3] Salim
HS, “Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding /MoU”.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 46.
[4] Munir
Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997), hlm. 91.
[5]
Erman Rajagukguk, “Kontrak Dagang Internasional dalam
Praktik di Indonesia”, (Jakarta:
Universitas Inonesia, 1994), hlm 4.
[6] Ibid.,
hlm. 47.
[7]
Salim HS, “Hukum Kontrak.
Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.
124.
[8]
Dwika Sudrajat, “MoU dan
Kontrak”, http://dwikasudrajat.blogspot.com/2012/03/mou-memorandum-of-understanding.html,
diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
[9] Munir
Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997), hlm. 92.
[10]
Salim HS, “Perancangan Kontrak
dan Memorandum of Understanding /MoU”. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.
48.
[11] Munir
Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997), hlm. 91-92.
[12]
I. G. Ray Wijaya, “Merancang
Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktik”, (Jakarta: Kasaint
Blanc, 2003), hlm. 102.
[13]
Rahmat S. Sokonagoro, “Menggali
makna peristilahan hukum dalam bahasa hukum Indonesia”, http://www.sokonagoro.com/7-menggali-makna-peristilahan-hukum-dalam-bahasa-hukum-indonesia.html,
diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
[14]
Lawrence M. Friedman, “Sistem
Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 12-19.
Lihat juga dalam, Lawrence M. Friedman, “Hukum Amerika Sebuah Pengantar”,
(Jakarta: Tata Nusa, 2001), hlm. 8-10.
[15] Lawrence
M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, (Bandung: Nusa
Media, 2011), hlm. 20.
[16]
Tabel ini disadur dari: Linda, “Perbedaan sistem hukum Eropa
Kontinental dan Anglo Saxon”,http:
// chancut- unyuw. blogspot. com/ 2012 /02 /perbedaan –sistem –hukum -kontinental-dan_23.html,
diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar