Jalan Terjal
Calon Independen
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, M.H[1]
Penulis menggaris bawahi bahwa
calon independen yang dimaksud dalam tulisan ini adalah calon independen dalam
rangka pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Sebagaimana yang diamanatkan dalam
Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan melalui
Pasal 56 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: “(1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. (2) pasangan
calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 diusulkan oleh partai politik,
gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang
yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang ini”.
Calon independen juga sama
artinya dengan calon perseorangan, hanya saja calon perseorangan menggunakan
frasa yuridis-normatif, sementara calon independen adalah frasa yang lebih umum
dikenal dalam masyarakat, dan merupakan suatu bentuk aspirasi yang lahir dari
masyarakat (penulis selanjutnya akan menggunakan frasa calon independen).
Mengutip dari Hans Kelsen, menyatakan bahwa hak-hak politik kita artikan sebagai kemungkinan-kemungkinan
yang terbuka bagi warga negara yang berperan
serta dalam pemerintahan, dalam pembentukan “kehendak” negara (Hans
Kelsen, 2011:127). Dengan demikian, posisi calon independen dalam pemilukada
merupakan suatu bentuk untuk mengapresiasi hak-hak politik bagi setiap warga
masyarakat, yang ingin menjadi pemimpin, namun terbatas atau tidak adanya
dukungan politik dari partai-partai politik.
Flashback Calon Independen
Perjalanan demokrasi di Indonesia
telah memberi ruang bagi calon independen untuk berpartisipasi dalam proses
demokrasi di tingkat lokal, yakni melalui pemilukada. menelaah lahirnya calon
independen, hal ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik hukum di Provinsi
Aceh. sebagaimana yang diketahui bahwa calon independen telah lebih dahulu diamanatkan
dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di Provinsi
Aceh, pemilukada yang berlangsung pasca lahirnya Undang-undang tersebut,
berhasil "mengapresiasi" calon independen, hal ini terbukti, ketika
itu (Pemilukada Tahun 2006) mayoritas pemenang pemilukada baik di tingkat
Provinsi maupun Kabupaten/Kota berhasil di raih oleh pasangan calon independen.
Realita (penulis mengarahkan
sebagai suatu fenomena) ini, selanjutnya telah menyadarkan banyak pihak, untuk
memberi ruang bagi calon independen pada pemilukada di seluruh Indonesia,
tepatnya pada Tahun 2007 (melalui judicial review, Pasal 56 ayat 2,
Pasal 59 ayat 1,2,3,4,5, Pasal 60 ayat 2,3,4,5 Undang-undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, yang diuji dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya
Pasal 18 ayat 4, Pasal 27 ayat 1, Pasal 28D ayat 1 dan 3, Pasal 28I ayat 2),
menarik ketika Mahkamah Konstitusi (selaku lembaga kehakiman yang memiliki
kewenangan diantaranya untuk judicial review) dengan tegas memberi
kepastian hukum melalui putusan MK No. 5/PUU-V/2007, menyatakan bahwa
“pemilukada yang hanya membuka pintu bagi calon dari partai politik
bertentangan dengan konstitusi”.
Mahkamah Konstitusi juga
menyatakan, bahwa perkembangan pengaturan pemilukada sebagaimana yang
dipraktikkan di Provinsi Aceh (pemilukada Tahun 2006) telah melahirkan realitas
baru dalam dinamika ketatanegaraan yang telah menimbulkan dampak kesadaran
konstitusi secara nasional, yakni dibukanya kesempatan bagi calon independen
dalam pemilukada. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa pemilukada yang
dipraktikkan di Provinsi Aceh (melalui pemilukada Tahun 2006) telah menjadi
episentrum dalam perkembangan politik
hukum di Indonesia. Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga dalam
perkembangnya telah menjadi salah satu faktor pemicu dilahirkannya
Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Calon Independen
Dewasa Ini
Pasca lahirnya Undang-undang No.
12 Tahun 2008 tentang pemerintahan Daerah, keberadaan calon independen selain
diakomodir pada pemilukada di Provinsi Aceh, juga telah mempunyai legitimasi
yang sah untuk "daerah-daerah otonom" lainnya di indonesia, terbukti
di sekitar Tahun 2008 pemilukada di Kabupaten Garut-Jawa Barat, berhasil di
menangkan oleh calon independen (pasangan: Aceng Fikri dan Dicky Chandra).
Menurut penulis, keberhasilan pasangan calon independen di Garut telah
membuktikan bahwa calon independen juga mendapat apresiasi dari masyarakat,
sekaligus menerangkan eksistensi calon independen tidak hanya di Provinsi Aceh
(pemilukada Tahun 2006).
Dewasa ini, penulis melihat calon
independen bagaikan "mati suri" (seola-olah hegemoni calon independen
telah hilang ditelan zaman), sehingga jalan terjal untuk memberi ruang calon
independen pada pemilukada, turut diikuti pula menjadi jalan terjal untuk dapat
menjadi pemenang dalam pemilukada, hal ini dapat kita amati dari beberapa "kontes"
pemilukada yang belakangan ini dilaksanakan, di antaranya pemilukada Gubernur di Provinsi Aceh pada tahun 2012, dimana pada
pemilukada ini calon independen hanya berhasil meriah posisi pada urutan ke 2
(bukan sebagai pemenang pemilukada). Selanjutnya pemilukada Gubernur di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2012, dalam
hal ini juga tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada pemilukada
di Provinsi Aceh, calon independen tidak dapat mengikuti pemilukada putaran ke
2 (artinya, juga bukan sebagai pemenang pemilukada). Selanjutnya pemilukada Gubernur di Provinsi Sulawesi
Selatan pada beberapa waktu yang lalu dalam Tahun 2013 ini, calon
independen terlihat sudah “gugur” sebelum bertanding, hal ini terbukti dengan
tidak adanya pasangan calon independen yang bertarung dalam proses pemilukada
di Provinsi Sulawesi Selatan tersebut. Selanjutnya pemilukada Gubernur di Provinsi Jawa Barat pada beberapa minggu
yang lalu (dibulan Februari 2013), turut tidak terlihat eksistensi dari
pasangan calon independen, karena berdasarkan dari hasil hitung cepat (quick count) pasangan calon independen
hanya berhasil menempati di posisi terakhir. selanjutnya pemilukada Gubernur di Provinsi Sumatera Utara, jika tidak ada
halangan akan dilaksanakan pada 7 Maret 2013, dalam pemilukada ini masyarakat
sumut khususnya tidak dapat melihat ekspektasi yang lebih dari calon
independen, dikarenakan tidak adanya terdaftar calon independen sebagai peserta
pada pemilukada sumut yang akan dilaksanakan pada 7 Maret 2013.
Harapan dan
Impian
Pada satu sisi, penulis menyadari
bahwa memang tidak ada kewajiban bagi pasangan calon independen yang tampil
dalam pemilukada, secara serta merta akan menjadi pemenang dalam pemilukada
tersebut, karena penulis melihat esensi dari pemilukada, diantaranya sebagai
bentuk demokrasi ditingkat lokal juga sekaligus melahirkan pemimpin yang
berkualitas serta mempunyai kapabilitas untuk membangun daerah otonom yang akan
dipimpin nantinya.
Namun demikian, penulis tetap
berharap agar kedepannya calon-calon yang berasal dari calon independen tetap
muncul dan turut berpartisipasi pada pemilukada-pemilukada yang akan datang,
baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, tidak dapat dipungkiri bahwa
calon independen telah memberi warna tersendiri dalam proses demokratisasi
pemilukada, sehingga masyarakat sebagai pemilih yang cerdas, nantinya akan
tetap mempunyai alternatif pilihan untuk menjaring pemimpin yang sesuai dengan
cita-cita masyarakat. Disisi lain, penulis juga berkeyakinan bahwa calon
independen juga masih akan tetap memiliki hegemoni tersendiri, jika situasi dan
kondisi memberi ruang gerak terhadap calon-calon independen tersebut.
Penulis mengutip pendapat dari
Prof. DR. M. Solly Lubis, SH (sebagaimana yang diterbitkan dalam harian
Analisa, tertanggal 20 Februari 2013) bahwa menurut pendapat kami, dari
manapun calon itu tampil, ukuran yang lebih tepat, ialah sejauh mana dapat
dikondisikan "keterwakilan kepentingan dan aspirasi rakyat (representativeness)" melalui kebersuaraan
(vocalitas) sang calon yang menjadi
wakil rakyat yang terhormat itu.
[1] Penulis adalah Mahasiswa
Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara. Dan sebagai penulis buku
Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh, diterbitkan
Tahun 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar