Selasa, 23 April 2013

Jalan Terjal Calon Independen


Jalan Terjal Calon Independen
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, M.H[1]


Penulis menggaris bawahi bahwa calon independen yang dimaksud dalam tulisan ini adalah calon independen dalam rangka pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan melalui Pasal 56 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: “(1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. (2) pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang ini”.

Calon independen juga sama artinya dengan calon perseorangan, hanya saja calon perseorangan menggunakan frasa yuridis-normatif, sementara calon independen adalah frasa yang lebih umum dikenal dalam masyarakat, dan merupakan suatu bentuk aspirasi yang lahir dari masyarakat (penulis selanjutnya akan menggunakan frasa calon independen). Mengutip dari Hans Kelsen, menyatakan bahwa hak-hak politik  kita artikan sebagai kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi warga negara yang berperan  serta dalam pemerintahan, dalam pembentukan “kehendak” negara (Hans Kelsen, 2011:127). Dengan demikian, posisi calon independen dalam pemilukada merupakan suatu bentuk untuk mengapresiasi hak-hak politik bagi setiap warga masyarakat, yang ingin menjadi pemimpin, namun terbatas atau tidak adanya dukungan politik dari partai-partai politik.

Flashback Calon Independen
Perjalanan demokrasi di Indonesia telah memberi ruang bagi calon independen untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi di tingkat lokal, yakni melalui pemilukada. menelaah lahirnya calon independen, hal ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik hukum di Provinsi Aceh. sebagaimana yang diketahui bahwa calon independen telah lebih dahulu diamanatkan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di Provinsi Aceh, pemilukada yang berlangsung pasca lahirnya Undang-undang tersebut, berhasil "mengapresiasi" calon independen, hal ini terbukti, ketika itu (Pemilukada Tahun 2006) mayoritas pemenang pemilukada baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota berhasil di raih oleh pasangan calon independen.

Realita (penulis mengarahkan sebagai suatu fenomena) ini, selanjutnya telah menyadarkan banyak pihak, untuk memberi ruang bagi calon independen pada pemilukada di seluruh Indonesia, tepatnya pada Tahun 2007 (melalui judicial review, Pasal 56 ayat 2, Pasal 59 ayat 1,2,3,4,5, Pasal 60 ayat 2,3,4,5 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang diuji dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 18 ayat 4, Pasal 27 ayat 1, Pasal 28D ayat 1 dan 3, Pasal 28I ayat 2), menarik ketika Mahkamah Konstitusi (selaku lembaga kehakiman yang memiliki kewenangan diantaranya untuk judicial review) dengan tegas memberi kepastian hukum melalui putusan MK No. 5/PUU-V/2007, menyatakan bahwa “pemilukada yang hanya membuka pintu bagi calon dari partai politik bertentangan dengan konstitusi”.

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan, bahwa perkembangan pengaturan pemilukada sebagaimana yang dipraktikkan di Provinsi Aceh (pemilukada Tahun 2006) telah melahirkan realitas baru dalam dinamika ketatanegaraan yang telah menimbulkan dampak kesadaran konstitusi secara nasional, yakni dibukanya kesempatan bagi calon independen dalam pemilukada. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa pemilukada yang dipraktikkan di Provinsi Aceh (melalui pemilukada Tahun 2006) telah menjadi episentrum dalam perkembangan  politik hukum di Indonesia. Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga dalam perkembangnya telah menjadi salah satu faktor pemicu dilahirkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Calon Independen Dewasa Ini
Pasca lahirnya Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan Daerah, keberadaan calon independen selain diakomodir pada pemilukada di Provinsi Aceh, juga telah mempunyai legitimasi yang sah untuk "daerah-daerah otonom" lainnya di indonesia, terbukti di sekitar Tahun 2008 pemilukada di Kabupaten Garut-Jawa Barat, berhasil di menangkan oleh calon independen (pasangan: Aceng Fikri dan Dicky Chandra). Menurut penulis, keberhasilan pasangan calon independen di Garut telah membuktikan bahwa calon independen juga mendapat apresiasi dari masyarakat, sekaligus menerangkan eksistensi calon independen tidak hanya di Provinsi Aceh (pemilukada Tahun 2006).

Dewasa ini, penulis melihat calon independen bagaikan "mati suri" (seola-olah hegemoni calon independen telah hilang ditelan zaman), sehingga jalan terjal untuk memberi ruang calon independen pada pemilukada, turut diikuti pula menjadi jalan terjal untuk dapat menjadi pemenang dalam pemilukada, hal ini dapat kita amati dari beberapa "kontes" pemilukada yang belakangan ini dilaksanakan, di antaranya pemilukada Gubernur di Provinsi Aceh pada tahun 2012, dimana pada pemilukada ini calon independen hanya berhasil meriah posisi pada urutan ke 2 (bukan sebagai pemenang pemilukada). Selanjutnya pemilukada Gubernur di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2012, dalam hal ini juga tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada pemilukada di Provinsi Aceh, calon independen tidak dapat mengikuti pemilukada putaran ke 2 (artinya, juga bukan sebagai pemenang pemilukada). Selanjutnya pemilukada Gubernur di Provinsi Sulawesi Selatan pada beberapa waktu yang lalu dalam Tahun 2013 ini, calon independen terlihat sudah “gugur” sebelum bertanding, hal ini terbukti dengan tidak adanya pasangan calon independen yang bertarung dalam proses pemilukada di Provinsi Sulawesi Selatan tersebut. Selanjutnya pemilukada Gubernur di Provinsi Jawa Barat pada beberapa minggu yang lalu (dibulan Februari 2013), turut tidak terlihat eksistensi dari pasangan calon independen, karena berdasarkan dari hasil hitung cepat (quick count) pasangan calon independen hanya berhasil menempati di posisi terakhir. selanjutnya pemilukada Gubernur di Provinsi Sumatera Utara, jika tidak ada halangan akan dilaksanakan pada 7 Maret 2013, dalam pemilukada ini masyarakat sumut khususnya tidak dapat melihat ekspektasi yang lebih dari calon independen, dikarenakan tidak adanya terdaftar calon independen sebagai peserta pada pemilukada sumut yang akan dilaksanakan pada 7 Maret 2013.

Harapan dan Impian
Pada satu sisi, penulis menyadari bahwa memang tidak ada kewajiban bagi pasangan calon independen yang tampil dalam pemilukada, secara serta merta akan menjadi pemenang dalam pemilukada tersebut, karena penulis melihat esensi dari pemilukada, diantaranya sebagai bentuk demokrasi ditingkat lokal juga sekaligus melahirkan pemimpin yang berkualitas serta mempunyai kapabilitas untuk membangun daerah otonom yang akan dipimpin nantinya.

Namun demikian, penulis tetap berharap agar kedepannya calon-calon yang berasal dari calon independen tetap muncul dan turut berpartisipasi pada pemilukada-pemilukada yang akan datang, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, tidak dapat dipungkiri bahwa calon independen telah memberi warna tersendiri dalam proses demokratisasi pemilukada, sehingga masyarakat sebagai pemilih yang cerdas, nantinya akan tetap mempunyai alternatif pilihan untuk menjaring pemimpin yang sesuai dengan cita-cita masyarakat. Disisi lain, penulis juga berkeyakinan bahwa calon independen juga masih akan tetap memiliki hegemoni tersendiri, jika situasi dan kondisi memberi ruang gerak terhadap calon-calon independen tersebut.

Penulis mengutip pendapat dari Prof. DR. M. Solly Lubis, SH (sebagaimana yang diterbitkan dalam harian Analisa, tertanggal 20 Februari 2013) bahwa menurut pendapat kami, dari manapun calon itu tampil, ukuran yang lebih tepat, ialah sejauh mana dapat dikondisikan "keterwakilan kepentingan dan aspirasi rakyat (representativeness)" melalui kebersuaraan (vocalitas) sang calon yang menjadi wakil rakyat yang terhormat itu.



[1] Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara. Dan sebagai penulis buku Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh, diterbitkan Tahun 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar