Selasa, 23 April 2013

Bendera dan Lambang Aceh (Perkembangan Politik Hukum)


   PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM DI PROVINSI ACEH
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, M.H[1]

Menelaah perkembangan terkini mengenai politik hukum di Provinsi Aceh, khususnya terkait bendera dan lambang untuk Provinsi Aceh, yang kini menjadi friksi baik di Provinsi Aceh sendiri, maupun dalam konteks Indonesia secara nasional. Sampai sejauh ini, penulis menilai bahwa Pemerintah Aceh (Eksekutif dan Legislatif), belum bersikap paradigmatic (paradigmatic thinking maupun paradigmatic action). Mengutip dari perkuliahan dengan Prof. DR. M. Solly Lubis, SH, bahwa paradigma ialah parameter/rujukan/kriteria/reference yang menjadi dasar, mendasari pemikiran (thinking) dan mendasari tindakan (action). Dalam paradigma juga berhimpun/bersarang beberapa nilai (value), nilai adalah sesuatu yang dianggap baik dan luhur, sehingga setiap orang selalu mendambakan, atau ingin menikmatinya.

Bersikap paradigmatic, tentunya akan mewakili dari bentuk-bentuk paradigma, yakni philosophical paradigma (paradigma filosofis, yakni Pancasila), yuridical paradigma (paradigma hukum, yakni aturan hukum), serta political paradigma (paradigma politik, yakni kebijakan). Khususnya paradigma hukum, dengan bersikap paradigmatic diharapkan setiap keputusan yang dibuat oleh Pemerintah Aceh (Eksekutif dan Legislatif), senantiasa harus memiliki legitimasi, untuk menghindari hal-hal yang bersifat semu dan bias.

Penulis melihat adanya “keteledoran” dari pihak pemerintah Aceh (Eksekutif dan Legislatif) terkait friksi mengenai bendera Aceh yang terus berkembang sampai saat ini, penulis menelaah bahwasanya pemerintah Aceh memang memiliki kewenangan untuk membentuk bendera bagi Provinsi Aceh.  baik itu melalui amanat MoU Helsinki (Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka), dalam hal ini sebagaimana bunyi poin 1.1.5 yaitu “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne”. Disisi lain, MoU Helsinki juga mengamanatkan bahwa paska penandatanganan MoU Helsinki, diwajibkan kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk tidak menunjukkan emblem atau simbol militer, sebagaimana bunyi poin 4.2 yaitu “GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan nota kesepahaman ini”.

Kewenangan untuk membentuk bendera Aceh, juga diamanatkan melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam hal ini sebagaimana bunyi pasal 246 ayat (2) yaitu “Selain bendera merah putih sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan”, selanjutnya diamanatkan juga bahwa bendera Aceh bukan sebagai simbol kedaulatan, sebagaimana bunyi pasal 246 ayat (3) yaitu “Bendera Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh”, disisi lain Pemerintah Aceh dalam menetapkan bendera, juga harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana bunyi pasal 246 ayat (4) yaitu “ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan”. Hal ini penulis artikan bahwa, kewenangan yang dimiliki pemerintah Aceh untuk membentuk bendera, bukanlah suatu kewenangan yang bebas dan mutlak, karena pemerintah Aceh harus tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait teknis mengenai bendera yakni, Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Menerangkan bahwa lambang daerah pada hakikatnya sebagai pemersatu masyarakat, sebagaimana bunyi pasal 3 ayat (2) yaitu “Lambang daerah berfungsi sebagai pengikat kesatuan sosial budaya masyarakat daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”. dalam hal ini bahwa bendera Aceh diharapkan kehadirannya sebagai pemersatu seluruh “komponen” rakyat Aceh (baik yang berada di Provinsi Aceh, maupun yang berada diluar Provinsi Aceh). sehingga dengan adanya bendera sebagai pemersatu masyarakat, rakyat Aceh akan bersama-sama merasakan adanya keistimewaan dan kekhususan melalui otonomi khusus bagi Provinsi Aceh.

Juga adanya amanat dari Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah, bahwa bendera daerah tidak boleh mempunyai kesamaan dengan organisasi terlarang/gerakan separatis, sebagaimana bunyi pasal 6 ayat (4) yaitu “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam negara kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya juga ada penjelasan dari pasal 6 ayat (4) yaitu “yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam keteentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku”. Penulis menelaah, bahwa dengan adanya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bendera daerah, semestinya para stakeholder dalam membuat suatu keputusan, tidak melupakan kehadiran dari peraturan perundang-undangan tersebut, agar nantinya suatu keputusan yang lahir dari stakeholder akan memiliki legitimasi yang sah secara hukum.

Dengan demikian, baik berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga melalui Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, penulis menarik kesimpulan, diantaranya:
1.     Bahwa Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk membentuk bendera di Provinsi Aceh.
2.     Bahwa bendera Aceh yang dibentuk, hendaknya tidak memiliki kesamaan (baik keseluruhan maupun sebahagian) dengan bendera gerakan separatis (bulan sabit).
3.     Bahwa esensi dari adanya bendera Aceh, merupakan sebagai pemersatu seluruh “komponen” rakyat Aceh.

Melihat perkembangan dan kenyataan yang terjadi belakangan ini (khususnya di beberapa wilayah Kabupaten/Kota dalam Provinsi Aceh), penulis menilai bahwa keberadaan bendera Aceh saat ini, telah menjadi embrio bagi cikal bakal terulang kembali konflik horizontal bagi rakyat Aceh pada umumnya, hal ini terlihat dari adanya pihak yang pro dan kontra dalam menanggapi Qanun bendera Aceh, terkait keberadaan bendera Aceh saat ini (terlepas dari adanya kepentingan pribadi dari para elite politik di Aceh).
Tentunya akan sangat disayangkan, jika kedamaian yang telah tercipta di Provinsi Aceh, harus kembali terusik oleh tingkah laku beberapa “oknum” yang tidak menginginkan Aceh maju dan berkembang sebagai suatu Provinsi dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia. Penulis berkeyakinan bahwa, rakyat Aceh (umumnya) sudah “lelah” untuk kembali menghadapi konflik (baik horizontal maupun vertikal), dan penulis dapat memastikan bahwa seluruh rakyat Aceh (umumnya) ingin menikmati kehidupan yang damai dan tentram, serta sejahtera.



Disisi lain, penulis menilai semestinya Pemerintah Aceh dapat berlaku arif dan bijaksana, dalam hal ini lebih mengutamakan suatu “keputusan” yang lebih mendatangkan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Aceh. Dengan konteks ini penulis mengutip suatu teori yang diutarakan (filsuf) Jeremy Bentham dengan teori utilities nya, penulis mengaitkan bahwa seyogyanya Pemerintah Aceh, ketika membuat suatu “keputusan” hendaknya mempertimbangkan secara matang (dampak positif dan negatif), apakah “keputusan” yang akan dilahirkan akan memberikan suatu kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya rakyat, khususnya rakyat Aceh?.




[1]     Penulis adalah PNS pada Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar