PERKEMBANGAN
POLITIK HUKUM DI
PROVINSI ACEH
Oleh:
Cakra Arbas, SH.I, M.H[1]
Menelaah
perkembangan terkini mengenai politik hukum di Provinsi Aceh, khususnya terkait
bendera dan lambang untuk Provinsi Aceh, yang kini menjadi friksi baik di
Provinsi Aceh sendiri, maupun dalam konteks Indonesia secara nasional. Sampai
sejauh ini, penulis menilai bahwa Pemerintah Aceh (Eksekutif dan Legislatif),
belum bersikap paradigmatic (paradigmatic thinking maupun paradigmatic
action). Mengutip dari perkuliahan dengan Prof. DR. M. Solly Lubis, SH,
bahwa paradigma ialah parameter/rujukan/kriteria/reference yang menjadi dasar,
mendasari pemikiran (thinking) dan mendasari tindakan (action). Dalam
paradigma juga berhimpun/bersarang beberapa nilai (value), nilai adalah
sesuatu yang dianggap baik dan luhur, sehingga setiap orang selalu mendambakan,
atau ingin menikmatinya.
Bersikap
paradigmatic, tentunya akan mewakili dari bentuk-bentuk paradigma, yakni philosophical
paradigma (paradigma filosofis, yakni Pancasila), yuridical paradigma
(paradigma hukum, yakni aturan hukum), serta political paradigma
(paradigma politik, yakni kebijakan). Khususnya paradigma hukum, dengan
bersikap paradigmatic diharapkan setiap keputusan yang dibuat oleh Pemerintah
Aceh (Eksekutif dan Legislatif), senantiasa harus memiliki legitimasi, untuk
menghindari hal-hal yang bersifat semu dan bias.
Penulis melihat
adanya “keteledoran” dari pihak pemerintah Aceh (Eksekutif dan Legislatif)
terkait friksi mengenai bendera Aceh yang terus berkembang sampai saat ini,
penulis menelaah bahwasanya pemerintah Aceh memang memiliki kewenangan untuk
membentuk bendera bagi Provinsi Aceh.
baik itu melalui amanat MoU Helsinki (Nota Kesepahaman Antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka), dalam hal ini sebagaimana
bunyi poin 1.1.5 yaitu “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol
wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne”. Disisi lain, MoU Helsinki
juga mengamanatkan bahwa paska penandatanganan MoU Helsinki, diwajibkan kepada
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk tidak menunjukkan emblem atau simbol militer,
sebagaimana bunyi poin 4.2 yaitu “GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000
pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan
emblem atau simbol militer setelah penandatanganan nota kesepahaman ini”.
Kewenangan untuk
membentuk bendera Aceh, juga diamanatkan melalui Undang-undang No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam hal ini sebagaimana bunyi pasal 246 ayat
(2) yaitu “Selain bendera merah putih sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai
lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan”, selanjutnya diamanatkan
juga bahwa bendera Aceh bukan sebagai simbol kedaulatan, sebagaimana bunyi
pasal 246 ayat (3) yaitu “Bendera Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud
pada ayat 2 bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai
bendera kedaulatan di Aceh”, disisi lain Pemerintah Aceh dalam menetapkan
bendera, juga harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sebagaimana bunyi pasal 246 ayat (4) yaitu “ketentuan lebih lanjut mengenai
bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dalam
Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan”. Hal ini
penulis artikan bahwa, kewenangan yang dimiliki pemerintah Aceh untuk membentuk
bendera, bukanlah suatu kewenangan yang bebas dan mutlak, karena pemerintah Aceh
harus tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur terkait teknis mengenai bendera yakni,
Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Menerangkan
bahwa lambang daerah pada hakikatnya sebagai pemersatu masyarakat, sebagaimana
bunyi pasal 3 ayat (2) yaitu “Lambang daerah berfungsi sebagai pengikat
kesatuan sosial budaya masyarakat daerah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. dalam hal ini bahwa bendera Aceh diharapkan kehadirannya
sebagai pemersatu seluruh “komponen” rakyat Aceh (baik yang berada di Provinsi
Aceh, maupun yang berada diluar Provinsi Aceh). sehingga dengan adanya bendera
sebagai pemersatu masyarakat, rakyat Aceh akan bersama-sama merasakan adanya
keistimewaan dan kekhususan melalui otonomi khusus bagi Provinsi Aceh.
Juga adanya
amanat dari Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah,
bahwa bendera daerah tidak boleh mempunyai kesamaan dengan organisasi
terlarang/gerakan separatis, sebagaimana bunyi pasal 6 ayat (4) yaitu “Desain
logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau
organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam negara kesatuan Republik
Indonesia”. Selanjutnya juga ada penjelasan dari pasal 6 ayat (4) yaitu “yang
dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau
organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam keteentuan ini misalnya
logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi
Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan
separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh
gerakan separatis di Provinsi Maluku”. Penulis menelaah, bahwa dengan
adanya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bendera daerah,
semestinya para stakeholder dalam membuat suatu keputusan, tidak
melupakan kehadiran dari peraturan perundang-undangan tersebut, agar nantinya
suatu keputusan yang lahir dari stakeholder akan memiliki legitimasi
yang sah secara hukum.
Dengan demikian,
baik berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
juga melalui Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah,
penulis menarik kesimpulan, diantaranya:
1. Bahwa
Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk membentuk bendera di Provinsi Aceh.
2. Bahwa
bendera Aceh yang dibentuk, hendaknya tidak memiliki kesamaan (baik keseluruhan
maupun sebahagian) dengan bendera gerakan separatis (bulan sabit).
3. Bahwa
esensi dari adanya bendera Aceh, merupakan sebagai pemersatu seluruh “komponen”
rakyat Aceh.
Melihat
perkembangan dan kenyataan yang terjadi belakangan ini (khususnya di beberapa
wilayah Kabupaten/Kota dalam Provinsi Aceh), penulis menilai bahwa keberadaan
bendera Aceh saat ini, telah menjadi embrio bagi cikal bakal terulang kembali
konflik horizontal bagi rakyat Aceh pada umumnya, hal ini terlihat dari adanya
pihak yang pro dan kontra dalam menanggapi Qanun bendera Aceh, terkait
keberadaan bendera Aceh saat ini (terlepas dari adanya kepentingan pribadi dari
para elite politik di Aceh).
Tentunya akan
sangat disayangkan, jika kedamaian yang telah tercipta di Provinsi Aceh, harus
kembali terusik oleh tingkah laku beberapa “oknum” yang tidak menginginkan Aceh
maju dan berkembang sebagai suatu Provinsi dalam konteks negara kesatuan
Republik Indonesia. Penulis berkeyakinan bahwa, rakyat Aceh (umumnya) sudah
“lelah” untuk kembali menghadapi konflik (baik horizontal maupun vertikal), dan
penulis dapat memastikan bahwa seluruh rakyat Aceh (umumnya) ingin menikmati
kehidupan yang damai dan tentram, serta sejahtera.
Disisi
lain, penulis menilai semestinya Pemerintah Aceh dapat berlaku arif dan
bijaksana, dalam hal ini lebih mengutamakan suatu “keputusan” yang lebih
mendatangkan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Aceh. Dengan konteks ini penulis
mengutip suatu teori yang diutarakan (filsuf) Jeremy Bentham dengan teori utilities
nya, penulis mengaitkan bahwa seyogyanya Pemerintah Aceh, ketika membuat suatu
“keputusan” hendaknya mempertimbangkan secara matang (dampak positif dan
negatif), apakah “keputusan” yang akan dilahirkan akan memberikan suatu
kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya rakyat, khususnya rakyat Aceh?.
[1]
Penulis adalah PNS pada
Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar