Rabu, 06 Februari 2013

Rechtskunst (seni hukum)


RECHTSKUNST (SENI HUKUM)
Oleh: Cakra Arbas, S.H.I, M.H.


Manusia sebagai makhluk sosial dalam menjalankan aktivitas sehari-hari tidak dapat terlepas dari kaidah hukum, kaidah hukum memberi dan membebani manusia dengan hak dan kewajibannya. Hukum sendiri penting bagi manusia dalam menjalankan kehidupan bersama untuk ketertiban tatanan masyarakat, melindungi kepentingan manusia lainnya serta masyarakat secara umum, sehingga tidak mungkin ada kehidupan bersama tanpa adanya hukum, atau yang lebih umum dikenal bahwa dimana ada masyarakat maka akan adanya hukum (ubi societas ibi jus).

Untuk mengatur keteraturan perilaku manusia dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari, diperlukan adanya pembentukan hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dilaksanakan oleh lembaga yang berwenang. Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. 

Pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan) merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan dari salah satu bentuk praktek hukum. Mengutip dari Van Apeldoorn yang menyatakan bahwa dengan melakukan praktek hukum maka dalam hal ini manusia telah melakukan seni hukum atau Rechtskunst (Van Apeldoorn, 1954:316). Dalam ensiklopedia Indonesia, seni diartikan sebagai penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa orang, diungkapkan dengan perantaraan alat-alat komunikasi kedalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak. Dalam hal olah seni hukum (Rechtskunst), seni diartikan sebagai cara yang khas, kiat menciptakan karya yang bermutu yang didorong oleh pilihan antara yang baik dan yang buruk.

Menurut Sudikno Mertokusomo, seni hukum (Rechtskunst) ialah cara khas atau kiat, yang didorong oleh pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengolah, menggarap, melaksanakan, menemukan, atau menerapkan hukum, sehingga menghasilkan karya dibidang hukum yang bermutu atau mempunyai wibawa dalam bentuk putusan atau Undang-undang (Sudikno Mertokusumo, 2012:19).

Rechtskunst dalam Qanun

Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah Provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Qanun sendiri dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, Pemerintahan Kabupaten/Kota, sehingga nantinya akan mempunyai legitimasi dalam menjalankan roda pemerintahan.

Menerapkan seni hukum (Rechtskunst) dalam membentuk Qanun harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. Kejelasan tujuan, b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, d. Dapat dilaksanakan, e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, f. Kejelasan rumusan, g. Keterbukaan.

Menelaah rancangan Qanun yang merupakan program legislasi daerah khususnya Provinsi Aceh, yang sedang hangat menjadi sorotan publik pada akhir-akhir ini, hendaknya dalam muatan Qanun tersebut nantinya mengandung asas-asas, yang meliputi: a. Pengayoman, b. Kemanusiaan, c. Kebangsaan, d. Kekeluargaaan, e. Keanekaragaman, f. Keadilan, g. Nondiskriminasi, h. Kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, i. Ketertiban dan kepastian hukum, j. keseimbangan, keserasian, kesetaraan, dan keselarasan.

Pada masa ini (dalam proses rancangan Qanun) dibutuhkan peranan para stakeholder sebagai pembentuk Qanun, agar dapat berlaku arif dan bijaksana dalam menderivasikan nilai hingga terciptanya suatu karya seni hukum (Rechtskunst), yang nantinya dapat diterima dan diterapkan bagi seluruh masyarakat Aceh.  Disatu pihak harus memperhatikan stabilitas demi kepastian hukum, dipihak lain pembentuk Qanun harus berusaha agar nantinya Qanun tersebut tidak ketinggalan dengan perkembangan kepentingan manusia dan masyarakat, maupun zamannya. Juga Qanun yang dalam proses pembentukan, nantinya dapat berlaku untuk jangka waktu yang lama, dan jangan sampai terjadi konflik dengan Qanun yang telah ada maupun peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi. Keseluruhan rangkaian pembentukan Qanun merupakan suatu rangkaian seni, khususnya seni hukum (Rechtskunst) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hendaknya Qanun yang akan diciptakan dapat mengikuti perkembangan masyarakat, karena jika Qanun tersebut hanya berjangka waktu yang singkat (tidak berjangka waktu lama), maka pembentukan Qanun tersebut hanya akan menciptakan pemborosan anggaran (sebagaimana yang diketahui dalam pembentukan Qanun membutuhkan anggaran yang cukup signifikan). Sebaiknya, pembentukan Qanun tidak perlu ditargetkan, serta terburu-buru yang didorong oleh kepentingan sesaat dan tidak sistematis, karena hal ini hanya akan melahirkan suatu Qanun yang tidak “memuaskan” segenap elemen masyarakat Aceh.

Dalam penciptaan suatu Qanun, hendaknya masyarakat Aceh dapat berperan pro aktif, dikarenakan nantinya masyarakat Aceh juga yang akan menerapkan atau melaksanakan norma-norma yang terkandung dalam karya seni hukum (Rechtskunst) tersebut, dalam hal ini Qanun Provinsi Aceh. Dengan demikian, diharapkan adanya partisipasi dari masyarakat, baik itu dalam rangka penyiapan maupun pembahasan dari suatu rancangan Qanun.

Akhirnya, penulis mengharapkan Qanun yang lahir nantinya akan menjadi sebuah karya seni hukum (Rechtskunst), yang dapat “dinikmati” oleh segenap elemen masyarakat Aceh. Sehingga dengan lahirnya suatu Qanun, masyarakat Aceh akan menemukan keteraturan dan stabilitas, dimana stabilitas akan menjamin ketertiban dalam masyarakat, juga menjamin adanya kepastian hukum. Dalam konteks ini penulis mengibaratkan lahirnya suatu Qanun, serupa dengan penciptaan karya-karya seni lainnya, yang dilakukan dengan proses berliku, serta diisi oleh nilai-nilai yang baik, sehingga pada hakikatnya dapat dinikmati oleh segenap masyarakat aceh.

* penulis adalah PNS pada Pemkab Aceh Tamiang, dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar