MENGKAJI
ULANG AMANDEMEN UUD RI 1945
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, M.H
Adanya reformasi dan puncaknya dengan mundurnya
Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998, mulai
muncul tuntutan untuk merubah (amandemen) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, karena para penggerak mulai menyadari bahwa UUD RI 1945
mempunyai kelemahan-kelemahan, diantaranya[1]:
1. Kekuasaan
eksekutif yang terlalu kuat (executive heavy)
2. Sistem
checks and balances, tidak diatur secara tegas
3. UUD
1945 banyak yang tidak jelas sehingga menimbulkan multi tafsir
4. UUD
1945 banyak memberikan atribusi kewenangan dalam ketentuan organik.
5. Kekosongan
aturan hukum dalam UUD 1945
6. Penulis
juga menambahkan terkait dengan pengaturan HAM (Hak Azasi Manusia) yang masih
terbatas.
Sri Sumantri
menyatakan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar pada dasarnya merupakan bukan suatu
keniscayaan, karena[2]
:
1. Generasi
yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi yang akan datang.
2. Hukum
konstitusi hanyalah salah satu bagian dari hukum tata negara.
3. Ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam konstitusi atau Undang-undang Dasar selalu dapat diubah.
Terkait dengan
perlunya UUD 1945 diubah (amandemen), Harun Al Rasyid[3]
menyatakan, bahwa Undang-undang Dasar 1945 adalah terlalu summier,
terlalu banyak masalah-masalah yang diserahkan kepada pembuat peraturan yang
lebih rendah (dari pada UUD RI 1945), serta tidak menjamin secara tegas hak-hak
asasi manusia.
Abdul Mukhtie
Fadjar mengungkapkan beberapa alasan perlunya dilakukan amandemen atas UUD RI
1945, diantaranya[4]:
1. Alasan
historis, bahwa sejarah pembentukan UUD RI 1945 memang didesain oleh para
pendiri negara (BPUPKI, PPKI) sebagai UUD yang bersifat sementara[5].
2. Alasan
filosofis, bahwa dalam UUD RI 1945 terdapat percampur adukan beberapa gagasan
yang saling bertentangan, seperti antara paham kedaulatan rakyat dengan paham
integralistik, antara paham negara hukum dengan paham negara kekuasaan.
3. Alasan
teoritis, bahwa dari sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme),
keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakikatnya adalah untuk membatasi
kekuasaan negara agar bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD RI 1945
kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan lebih menonjolkan
pengintegrasian.
4. Alasan
yuridis, bahwa dalam setiap konstitusi tertulis, khususnya dalam UUD RI 1945
memuat adanya klausula tentang perubahan didalam naskahnya, UUD RI 1945
mencantumkan hal itu dalam Pasal 37. Sebab betapapun selalu disadari akan
ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia termasuk pekerjaan membuat atau
menyusun Undang-Undang Dasar.
5. Alasan
politis-praktis, bahwa secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak
langsung, dalam praktik politik sebenar-benarnya UUD RI 1945 sudah sering
mengalami perubahan yang menyimpang dari teks aslinya, baik masa 1945-1949,
maupun masa 1959-1998, seperti terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari
presidensil ke parlementer, pemerintahan Soekarno oleh MPRS sebagai Presiden
seumur hidup (TAP MPRS No. III/MPRS/1963). Selain itu, praktik politik sejak
Tahun 1959-1998 selalu memanipulasi kelemahan-kelemahan pengakidahan dalam UUD
RI 1945 yang memungkinkan multi interpretasi sesuai selera pemimpin yang
berkuasa.
UUD RI 1945
telah mengalami perubahan (amandemen) yang dilakukan melalui 4 (empat) tahap
perubahan yaitu perubahan pertama pada Tahun 1999, perubahan kedua pada Tahun
2000, perubahan ketiga pada Tahun 2001, perubahan keempat pada Tahun 2002[6].
Sejalan dengan
perubahan (amandemen) UUD RI 1945, dalam hal ini Sekretariat Jenderal MPR-RI
menegaskan, bahwa tujuan perubahan (amandemen) UUD RI 1945, antara lain[7] :
1. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai
tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu yang berdasarkan
Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memerluas
partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
3. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai
dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang
sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh
Undang-Undang Dasar 1945.
4. Menyempurnakan
aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain
melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem checks and balances
yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang
baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
5. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan
kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral,
dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai
harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara
kesejahteraan.
6. Melengkapi
aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi
negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah
negara dan pemilihan umum.
7. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan
perkembangan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia
dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecendrungannya untuk kurun waktu yang akan
datang.
Tujuan lebih
luas dari penyempurnaan UUD RI 1945, adalah untuk menciptakan era baru dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih baik, dalam arti
lebih demokratis, lebih berkeadilan sosial, dan lebih berperikemanusiaan,
sesuai dengan komitmen para pendiri republik ini. Dari perjalanan sejarah
bernegara kita dalam 2 (dua) dekade pemerintahan (orde lama dan orde baru),
ternyata dengan menggunakan UUD RI 1945 pemerintahan keseluruhannya berakhir
dengan terwujudnya rezim yang otoriter dan semakin menjauhkan dari tujuan
bernegara. Kesalahan besar bangsa ini dimasa lalu adalah meletakkan
sentralisasi kekuasaan negara di tangan Presiden dan mensakralkan UUD RI 1945
dengan proteksi hukum yang berlebihan sehingga sangat tidak mungkin melakukan
perubahan UUD RI 1945. Kondisi ini menutup wacana yang berkembang dimasyarakat
dan mengingkari kemauan UUD RI 1945 itu sendiri yang sebenarnya menghendaki
untuk selalu mengingat dinamika masyarakat[8].
Adanya perubahan
(amandemen) UUD RI 1945, terlihat bahwa kekuasaan Presiden dibatasi, misalnya
dengan perubahan pasal 5 ayat (1)[9], pasal
13 ayat (2)[10],
dan pasal 14 ayat (2)[11], hal
ini terdapat dalam perubahan (amandemen) UUD RI 1945 yang pertama pada Tahun
1999. Selanjutnya, dalam perubahan UUD RI 1945 terlihat kewenangan DPR
(Legislatif) telah disebutkan secara tegas, demikian juga halnya dengan fungsi,
maupun perihal DPR, dan hak-hak dari anggota DPR.
Terjadinya
pergeseran kekuasaan, seolah-olah bandul kekuasaan berubah dari eksekutif
kepada legislatif (DPR). Selanjutnya, kekuasaan DPR menjadi demikian luas,
apalagi jika kita menelaah pada Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Dimana ada 1 (satu) ayat yang menyatakan kewenangan lain yang ditetapkan melalui
Undang-undang. Hal ini membuka kesempatan pada DPR untuk mengeksploitasi
kewenangannya, keadaan ini mengakibatkan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
DPR, seolah-olah negara ini merujuk pada sistem pemerintahan parlementer.
Mengenai lembaga
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) juga mengalami amandemen yang sangat
signifikan, paska adanya amandemen UUD RI 1945,
yaitu baik dari segi kedudukan, susunan, maupun kekuasaan. Sebelum
perubahan, kedudukan MPR adalah sebagai lembaga tertinggi negara, hal ini membawa
konsekwensi sebagaimana pasal 1 ayat (2)[12] UUD RI
1945. Setelah amandemen, MPR hanyalah sebagai lembaga negara yang mempunyai
kedudukan sejajar dengan lembaga negara yang lain, dan hal ini merupakan suatu
konsekwensi logis dari amandemen UUD RI 1945.
Terkait
komposisinya, pada awalnya (sebelum amandemen) MPR terdiri atas anggota DPR,
utusan golongan, dan utusan daerah. Selanjutnya, hal ini mengalami pergeseran
bahwa komposisi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD (Dewan Perwakilan
Daerah) dari hasil pemilihan umum (pemilu).
Mengenai
kekuasaan MPR, juga mengalami pergeseran yang ditimbulkan dari amandemen UUD RI
1945, dan perubahan yang paling mendasar yakni terkait kewenangan MPR. Dalam
hal ini, sebelum terjadinya amandemen UUD RI 1945, MPR menurut pasal 6 ayat 2[13]
memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta MPR juga
memiliki kewenangan untuk menetapkan Undang-Undang Dasar dan GBHN (Garis Besar
Haluan Negara). Namun demikian, setelah terjadinya amandemen terhadap UUD RI 1945,
MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden,
karena Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya dipilih langsung oleh rakyat
melalui satu paket pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Sekaligus juga
MPR tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan GBHN, karena Presiden dan Wakil
Presiden terpilih yang akan menetapkan RPJPN (Rancangan Pembangunan Jangka
Panjang Nasional).
Adanya ketentuan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsug oleh rakyat, dan anggota
DPR dan DPD juga dipilih dalam pemilihan umum, maka tidak ada lagi anggota DPR
dan DPD yang diangkat, tentunya jika ditelaah dari segi juridis, telah
menunjukkan sistem pemerintahan yang demokratis. Namun demikian, kewenangan
yang dimiliki antara DPR dan DPD, terlihat tidak adanya sinkronisasi
kewenangan, hal ini dapat ditelaah secara jelas, bahwa sebenarnya DPR memiliki
kewenangan yang superior dari pada kewenangan DPD.
Pergeseran
lembaga negara juga terlihat dari tidak adanya posisi DPA (Dewan Pertimbangan
Agung) sebagai lembaga yang dapat mengontrol atau memberi masukan kepada
Presiden, selanjutnya paska amandemen dibentuk lembaga WANTIMPRES (Dewan
Pertimbangan Presiden) yang mana kewenangannya tidak sama dengan DPA (Dewan
Pertimbangan Agung). Hal ini tentunya lahir dengan semangat reformasi yang
ingin mengembangkan pemerintahan kearah demokratis.
Pemerintahan
yang demokratis, bukan hanya dalam sistem pemerintahan parlementer, tetapi juga
terdapat pada sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial,
seluruh kekuasaan dan pertanggung jawaban pemerintahan berada di tangan
Presiden, dan Presiden mempunyai kewenangan untuk mengangkat serta memberhentikan
menteri, hal ini suatu konsekwensi logis, dari posisi Presiden selaku Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan.
Disatu sisi, jika
sistem pemerintahan presidensial dilaksanakan secara sewenang-wenang akan
memberi dampak negatif, diantaranya:
1. Terjadi
pemusatan kekuasaan pada satu lembaga (lembaga tersebut akan memonopoli
lembaga-lembaga lainnya).
2. Pejabat-pejabat
negara yang diangkat cenderung dimanfaatkan untuk memiliki loyalitas dan
mendukung kelangsungan kekuasaan Presiden.
3. Kebijakan
yang diterapkan, cenderung menguntungkan sekelompok orang, tanpa memperhatikan
kepentingan umum.
Sementara disisi
lainnya, jika sistem pemerintahan presidensial dilaksanakan secara arif dan
bijkasana akan memberi dampak positif, diantaranya:
1. Presiden
dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan, artinya akan lahir
suatu kesepakatan yang mutlak.
2. Presiden
mampu untuk menciptakan pemerintahan yang solid, dan stabil.
3. Konflik
kepentingan akan dapat dengan mudah untuk dieliminir.
Setelah
amandemen UUD RI 1945, disatu sisi kita ingin memperkuat sistem presidensial
yaitu bahwa Presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan hanya dari
pertimbangan politis, tapi Presiden hanya dapat diberhentikan yang disebabkan
karena melakukan pelanggaran hukum, baik itu berupa pengkhianatan pada negara,
korupsi, penyuapan, melakukan tindak pidana berat, melakukan perbuatan tercela
atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dimana usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, jika
melakukan pelanggaran hukum, selanjutnya diajukan oleh DPR kepada Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah
Konstitusi, merupakan lembaga baru yang lahir paska amandemen UUD RI 1945. Lembaga
ini merupakan lembaga kehakiman yang mempunyai tugas, diantaranya menguji
Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menyelesaikan
sengketa lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD RI 1945,
menyelesaikan sengketa terkait partai politik, serta menyelesaikan sengketa
pemilihan umum (termasuk pemilukada). Disamping itu, Mahkamah Konstitusi
mempunyai kewajiban memutus terkait pendapat DPR, bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran hukum.
Amandemen UUD RI
1945, setidaknya menyangkut konsepsi dasar berbangsa dan bernegara, diantaranya[14]:
1. Perubahan
paradigma dari negara kekuasaan ke negara hukum yang demokratis dan
berkeadilan.
2. Adanya
jaminan check and balances dalam ketatanegaraan.
3. Mencantumkan
ketentuan tentang wilayah/daerah negara dan penegasan politik desentralisasi.
4. Jaminan
terhadap negara kesejahteraan dan masyarakat madani.
5. Sistem
pemerintahan negara dan kelembagaan negara.
6. Hak
Asasi Manusia (HAM)
7. Bela
negara dan pertahanan negara.
Amandemen UUD RI
1945, tentunya memiliki visi dan misi dalam pelaksanaanya, adapun visi dan misi
tersebut diantaranya[15]:
1. Reformasi
bidang hukum tidak dapat hanya dilakukan dengan cara gradual, yaitu mengganti
peraturan perundang-undangan yang berbau KKN saja. Akan tetapi reformasi bidang
hukum harus dimulai dari hukum dasar, yaitu merumuskan kembali ide dasar
bernegara kita dari konsep dan praktek negara berkuasa (integralistik) menuju
negara yang berkedaulatan rakyat.
2. Menghindarkan
kerancuan-kerancuan konsep yang ada dalam UUD RI 1945 dan lebih memberikan
kejelasan dan keyakinan bahwa paradigma bernegara kita adalah bukan negara
kekuasaan tetapi negara hukum yang demokratis dan berkeadilan, terjaminnya
supremasi hukum. Kondisi itu dapat berlangsung apabila terdapat suasana checks
and balances dalam ketatanegaraan dan diikuti dengan sistem pemerintahan
negara yang jelas batas-batas kekuasaan, kewenangan, dan pertanggung jawaban
lembaga-lembaga negara.
Berikut ini,
akan digambarkan terkait dengan perihal paska amandemen UUD RI 1945,
diantaranya :
Perihal
|
Sebelum Amandemen
|
Sesudah
Amandemen
|
Sistem
Presidensial
|
Presiden
selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, memiliki kewenangan yang penuh
atau memiliki kewenangan yang kuat (executive heavy), (baik dalam
menyusun kabinet, maupun menjalankan roda pemerintahan)
|
Presiden
selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dapat dikatakan eksekutif tidak
memiliki kewenangan yang kuat (not executive heavy), khususnya dalam
membentuk kabinet, karena adanya koalisi parlemen di Legislatif
|
MPR
|
Berposisi
sebagai lembaga tertinggi, karena MPR melalui konstitusi melakukan werk
verdeling (pembagian tugas kepada lembaga tinggi) dan meminta pertanggung
jawaban dalam 5 Tahun masa kerja dari lembaga tinggi, dan masih adanya
praktek GBHN. Komposisi MPR terdiri atas DPR, Utusan Daerah, dan Utusan
Golongan
|
Tidak lagi
berposisi sebagai lembaga tertinggi, hanya sebagai lembaga tinggi negara,
juga setelah adanya amandemen MPR tidak berwenang untuk mengangkat Presiden,
hanya berposisi sebagai melantik Presiden, sekaligus tidak ada lagi GBHN.
Komposisi MPR terdiri atas DPR dan DPD.
|
Legislatif
|
Bukan sebagai
lembaga tinggi yang superior, karena terbatasnya kewenangan yang dimiliki,
serta dalam pembentukan kabinet tidak mempunyai peranan, karena di parlemen
hampir tidak ada koalisi.
|
Menjadi
lembaga tinggi yang superior, disatu sisi legislatif memiliki hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, juga dalam pembentukan
kabinet memiliki peranan, karena pengaruh koalisi di parlemen.
|
Lembaga
Kehakiman
|
Belum terdapat
lembaga kehakiman yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang
terhadap UUD, tentang Partai Politik, serta hasil Pemilihan Umum. Dan juga
belum lahir lembaga yang mengatur tentang Kehakiman.
|
Lahirnya
Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga kehakiman yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-undang terhadap UUD, tentang Partai Politik, serta hasil
Pemilihan Umum. Dan lahir juga Komisi Yudisial yang mengatur tentang
Kehakiman.
|
PEMILU
|
Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah belum dilaksanakan secara langsung.
|
Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dilaksanakan secara langsung.
|
Berikut ini,
akan digambarkan mengenai skema mengkaji ulang UUD RI 1945, yaitu[16] :
efeknya
[1]
Tim Kajian Amandemen Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, Amandemen UUD 1945 Antara Teks dan Konteks
Dalam Negara Yang Sedang Berubah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 12.
[2] Sri
Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi Dalam
Batang Tubuh UUD 1945, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 272.
[3]
Harun Al Rasjid, Naskah UUD
1945 Sesudah Tiga Kali Diubah oleh MPR, (Jakarta: UI Press, 2002), hlm.
51-52.
[4]
Sri
Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi Dalam
Batang Tubuh UUD 1945, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 273.
[5]
Terkait dengan hal ini, M. Yamin
mengutip statement Ir. Soekarno selaku ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945
untuk menegaskan sifat kesementaraan UUD RI 1945 sebagai berikut: “... bahwa
Undang-Undang Dasar jang buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar Sementara.
Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat.nanti
kalau kita telah bernegara di dalam suasana jang lebih tenteram, kita tentu
akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat jang dapat membuat
Undang-Undang Dasar jang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu
mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang
Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet.
Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar jang lebih sempurna dan lengkap ...”
[6]
Perubahan (amandemen)
Undang-Undang Dasar RI 1945, terdiri atas :
a.
Perubahan pertama, disahkan pada tanggal 19 Oktober
1999.
b.
Perubahan kedua, disahkan pada tanggal 18 Agustus
2000.
c.
Perubahan ketiga, disahkan pada tanggal 10 November
2001.
d. Perubahan
keempat, disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
[7] Sekretariat
Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam
Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, 2003), hlm. 15-17.
[8]
Tim
Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Amandemen UUD 1945
Antara Teks dan Konteks Dalam Negara Yang Sedang Berubah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2000), hlm. 23.
[9]
Pasal 5 ayat 1, menyatakan bahwa
“Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat”.
[10] Pasal
13 ayat 2, menyatakan bahwa “Dalam hal mengangkat duta, Presiden
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
[11] Pasal
14 ayat 2, menyatakan bahwa “Presiden memberi amnesti dan abolisi serta
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
[12]
Sebelum amandemen Pasal 1 ayat 2,
menyatakan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Selanjutnya setelah amandemen Pasal 1
ayat 2, menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan
dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”.
[13]
Sebelum amandemen Pasal 6 ayat 2,
menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”, selanjutnya setelah
amandemen Pasal 6A ayat 1, menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.
[14] Tim
Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Amandemen UUD 1945
Antara Teks dan Konteks Dalam Negara Yang Sedang Berubah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2000), hlm. 24.
[15]
Tim
Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Amandemen UUD 1945
Antara Teks dan Konteks Dalam Negara Yang Sedang Berubah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2000), hlm. 22.
[16]
Skema ini merupakan hasil dari
perkuliahan dengan Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH, pada mata kuliah Hukum Tata
Negara Lanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar