Sabtu, 17 Agustus 2013

Mengkaji Ulang Amandemen UUD RI 1945

MENGKAJI ULANG AMANDEMEN UUD RI 1945
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, M.H

Adanya reformasi dan puncaknya dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998, mulai muncul tuntutan untuk merubah (amandemen) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, karena para penggerak mulai menyadari bahwa UUD RI 1945 mempunyai kelemahan-kelemahan, diantaranya[1]:
1.     Kekuasaan eksekutif yang terlalu kuat (executive heavy)
2.     Sistem checks and balances, tidak diatur secara tegas
3.     UUD 1945 banyak yang tidak jelas sehingga menimbulkan multi tafsir
4.     UUD 1945 banyak memberikan atribusi kewenangan dalam ketentuan organik.
5.     Kekosongan aturan hukum dalam UUD 1945
6.     Penulis juga menambahkan terkait dengan pengaturan HAM (Hak Azasi Manusia) yang masih terbatas.

Sri Sumantri menyatakan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar pada dasarnya merupakan bukan suatu keniscayaan, karena[2] :
1.     Generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi yang akan datang.
2.     Hukum konstitusi hanyalah salah satu bagian dari hukum tata negara.
3.     Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau Undang-undang Dasar selalu dapat diubah.

Terkait dengan perlunya UUD 1945 diubah (amandemen), Harun Al Rasyid[3] menyatakan, bahwa Undang-undang Dasar 1945 adalah terlalu summier, terlalu banyak masalah-masalah yang diserahkan kepada pembuat peraturan yang lebih rendah (dari pada UUD RI 1945), serta tidak menjamin secara tegas hak-hak asasi manusia.
Abdul Mukhtie Fadjar mengungkapkan beberapa alasan perlunya dilakukan amandemen atas UUD RI 1945, diantaranya[4]:
1.     Alasan historis, bahwa sejarah pembentukan UUD RI 1945 memang didesain oleh para pendiri negara (BPUPKI, PPKI) sebagai UUD yang bersifat sementara[5].
2.     Alasan filosofis, bahwa dalam UUD RI 1945 terdapat percampur adukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti antara paham kedaulatan rakyat dengan paham integralistik, antara paham negara hukum dengan paham negara kekuasaan.
3.     Alasan teoritis, bahwa dari sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakikatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD RI 1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan lebih menonjolkan pengintegrasian.
4.     Alasan yuridis, bahwa dalam setiap konstitusi tertulis, khususnya dalam UUD RI 1945 memuat adanya klausula tentang perubahan didalam naskahnya, UUD RI 1945 mencantumkan hal itu dalam Pasal 37. Sebab betapapun selalu disadari akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia termasuk pekerjaan membuat atau menyusun Undang-Undang Dasar.
5.     Alasan politis-praktis, bahwa secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, dalam praktik politik sebenar-benarnya UUD RI 1945 sudah sering mengalami perubahan yang menyimpang dari teks aslinya, baik masa 1945-1949, maupun masa 1959-1998, seperti terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari presidensil ke parlementer, pemerintahan Soekarno oleh MPRS sebagai Presiden seumur hidup (TAP MPRS No. III/MPRS/1963). Selain itu, praktik politik sejak Tahun 1959-1998 selalu memanipulasi kelemahan-kelemahan pengakidahan dalam UUD RI 1945 yang memungkinkan multi interpretasi sesuai selera pemimpin yang berkuasa.

UUD RI 1945 telah mengalami perubahan (amandemen) yang dilakukan melalui 4 (empat) tahap perubahan yaitu perubahan pertama pada Tahun 1999, perubahan kedua pada Tahun 2000, perubahan ketiga pada Tahun 2001, perubahan keempat pada Tahun 2002[6].
Sejalan dengan perubahan (amandemen) UUD RI 1945, dalam hal ini Sekretariat Jenderal MPR-RI menegaskan, bahwa tujuan perubahan (amandemen) UUD RI 1945, antara lain[7] :
1.     Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu yang berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.     Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memerluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
3.     Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
4.     Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem checks and balances yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
5.     Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan.
6.     Melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum.
7.     Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecendrungannya untuk kurun waktu yang akan datang.


Tujuan lebih luas dari penyempurnaan UUD RI 1945, adalah untuk menciptakan era baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih baik, dalam arti lebih demokratis, lebih berkeadilan sosial, dan lebih berperikemanusiaan, sesuai dengan komitmen para pendiri republik ini. Dari perjalanan sejarah bernegara kita dalam 2 (dua) dekade pemerintahan (orde lama dan orde baru), ternyata dengan menggunakan UUD RI 1945 pemerintahan keseluruhannya berakhir dengan terwujudnya rezim yang otoriter dan semakin menjauhkan dari tujuan bernegara. Kesalahan besar bangsa ini dimasa lalu adalah meletakkan sentralisasi kekuasaan negara di tangan Presiden dan mensakralkan UUD RI 1945 dengan proteksi hukum yang berlebihan sehingga sangat tidak mungkin melakukan perubahan UUD RI 1945. Kondisi ini menutup wacana yang berkembang dimasyarakat dan mengingkari kemauan UUD RI 1945 itu sendiri yang sebenarnya menghendaki untuk selalu mengingat dinamika masyarakat[8].
Adanya perubahan (amandemen) UUD RI 1945, terlihat bahwa kekuasaan Presiden dibatasi, misalnya dengan perubahan pasal 5 ayat (1)[9], pasal 13 ayat (2)[10], dan pasal 14 ayat (2)[11], hal ini terdapat dalam perubahan (amandemen) UUD RI 1945 yang pertama pada Tahun 1999. Selanjutnya, dalam perubahan UUD RI 1945 terlihat kewenangan DPR (Legislatif) telah disebutkan secara tegas, demikian juga halnya dengan fungsi, maupun perihal DPR, dan hak-hak dari anggota DPR.
Terjadinya pergeseran kekuasaan, seolah-olah bandul kekuasaan berubah dari eksekutif kepada legislatif (DPR). Selanjutnya, kekuasaan DPR menjadi demikian luas, apalagi jika kita menelaah pada Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dimana ada 1 (satu) ayat yang menyatakan kewenangan lain yang ditetapkan melalui Undang-undang. Hal ini membuka kesempatan pada DPR untuk mengeksploitasi kewenangannya, keadaan ini mengakibatkan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang DPR, seolah-olah negara ini merujuk pada sistem pemerintahan parlementer.
Mengenai lembaga MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) juga mengalami amandemen yang sangat signifikan, paska adanya amandemen UUD RI 1945,  yaitu baik dari segi kedudukan, susunan, maupun kekuasaan. Sebelum perubahan, kedudukan MPR adalah sebagai lembaga tertinggi negara, hal ini membawa konsekwensi sebagaimana pasal 1 ayat (2)[12] UUD RI 1945. Setelah amandemen, MPR hanyalah sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan sejajar dengan lembaga negara yang lain, dan hal ini merupakan suatu konsekwensi logis dari amandemen UUD RI 1945.
Terkait komposisinya, pada awalnya (sebelum amandemen) MPR terdiri atas anggota DPR, utusan golongan, dan utusan daerah. Selanjutnya, hal ini mengalami pergeseran bahwa komposisi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dari hasil pemilihan umum (pemilu).
Mengenai kekuasaan MPR, juga mengalami pergeseran yang ditimbulkan dari amandemen UUD RI 1945, dan perubahan yang paling mendasar yakni terkait kewenangan MPR. Dalam hal ini, sebelum terjadinya amandemen UUD RI 1945, MPR menurut pasal 6 ayat 2[13] memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta MPR juga memiliki kewenangan untuk menetapkan Undang-Undang Dasar dan GBHN (Garis Besar Haluan Negara). Namun demikian, setelah terjadinya amandemen terhadap UUD RI 1945, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, karena Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya dipilih langsung oleh rakyat melalui satu paket pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Sekaligus juga MPR tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan GBHN, karena Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang akan menetapkan RPJPN (Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional).
Adanya ketentuan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsug oleh rakyat, dan anggota DPR dan DPD juga dipilih dalam pemilihan umum, maka tidak ada lagi anggota DPR dan DPD yang diangkat, tentunya jika ditelaah dari segi juridis, telah menunjukkan sistem pemerintahan yang demokratis. Namun demikian, kewenangan yang dimiliki antara DPR dan DPD, terlihat tidak adanya sinkronisasi kewenangan, hal ini dapat ditelaah secara jelas, bahwa sebenarnya DPR memiliki kewenangan yang superior dari pada kewenangan DPD.
Pergeseran lembaga negara juga terlihat dari tidak adanya posisi DPA (Dewan Pertimbangan Agung) sebagai lembaga yang dapat mengontrol atau memberi masukan kepada Presiden, selanjutnya paska amandemen dibentuk lembaga WANTIMPRES (Dewan Pertimbangan Presiden) yang mana kewenangannya tidak sama dengan DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Hal ini tentunya lahir dengan semangat reformasi yang ingin mengembangkan pemerintahan kearah demokratis.
Pemerintahan yang demokratis, bukan hanya dalam sistem pemerintahan parlementer, tetapi juga terdapat pada sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial, seluruh kekuasaan dan pertanggung jawaban pemerintahan berada di tangan Presiden, dan Presiden mempunyai kewenangan untuk mengangkat serta memberhentikan menteri, hal ini suatu konsekwensi logis, dari posisi Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Disatu sisi, jika sistem pemerintahan presidensial dilaksanakan secara sewenang-wenang akan memberi dampak negatif, diantaranya:
1.     Terjadi pemusatan kekuasaan pada satu lembaga (lembaga tersebut akan memonopoli lembaga-lembaga lainnya).
2.     Pejabat-pejabat negara yang diangkat cenderung dimanfaatkan untuk memiliki loyalitas dan mendukung kelangsungan kekuasaan Presiden.
3.     Kebijakan yang diterapkan, cenderung menguntungkan sekelompok orang, tanpa memperhatikan kepentingan umum.

Sementara disisi lainnya, jika sistem pemerintahan presidensial dilaksanakan secara arif dan bijkasana akan memberi dampak positif, diantaranya:
1.     Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan, artinya akan lahir suatu kesepakatan yang mutlak.
2.     Presiden mampu untuk menciptakan pemerintahan yang solid, dan stabil.
3.     Konflik kepentingan akan dapat dengan mudah untuk dieliminir.

Setelah amandemen UUD RI 1945, disatu sisi kita ingin memperkuat sistem presidensial yaitu bahwa Presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan hanya dari pertimbangan politis, tapi Presiden hanya dapat diberhentikan yang disebabkan karena melakukan pelanggaran hukum, baik itu berupa pengkhianatan pada negara, korupsi, penyuapan, melakukan tindak pidana berat, melakukan perbuatan tercela atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dimana usul pemberhentian  Presiden dan/atau Wakil Presiden, jika melakukan pelanggaran hukum, selanjutnya diajukan oleh DPR kepada Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi, merupakan lembaga baru yang lahir paska amandemen UUD RI 1945. Lembaga ini merupakan lembaga kehakiman yang mempunyai tugas, diantaranya menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menyelesaikan sengketa lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD RI 1945, menyelesaikan sengketa terkait partai politik, serta menyelesaikan sengketa pemilihan umum (termasuk pemilukada). Disamping itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban memutus terkait pendapat DPR, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum.
Amandemen UUD RI 1945, setidaknya menyangkut konsepsi dasar berbangsa dan bernegara, diantaranya[14]:
1.     Perubahan paradigma dari negara kekuasaan ke negara hukum yang demokratis dan berkeadilan.
2.     Adanya jaminan check and balances dalam ketatanegaraan.
3.     Mencantumkan ketentuan tentang wilayah/daerah negara dan penegasan politik desentralisasi.
4.     Jaminan terhadap negara kesejahteraan dan masyarakat madani.
5.     Sistem pemerintahan negara dan kelembagaan negara.
6.     Hak Asasi Manusia (HAM)
7.     Bela negara dan pertahanan negara.

Amandemen UUD RI 1945, tentunya memiliki visi dan misi dalam pelaksanaanya, adapun visi dan misi tersebut diantaranya[15]:
1.     Reformasi bidang hukum tidak dapat hanya dilakukan dengan cara gradual, yaitu mengganti peraturan perundang-undangan yang berbau KKN saja. Akan tetapi reformasi bidang hukum harus dimulai dari hukum dasar, yaitu merumuskan kembali ide dasar bernegara kita dari konsep dan praktek negara berkuasa (integralistik) menuju negara yang berkedaulatan rakyat.
2.     Menghindarkan kerancuan-kerancuan konsep yang ada dalam UUD RI 1945 dan lebih memberikan kejelasan dan keyakinan bahwa paradigma bernegara kita adalah bukan negara kekuasaan tetapi negara hukum yang demokratis dan berkeadilan, terjaminnya supremasi hukum. Kondisi itu dapat berlangsung apabila terdapat suasana checks and balances dalam ketatanegaraan dan diikuti dengan sistem pemerintahan negara yang jelas batas-batas kekuasaan, kewenangan, dan pertanggung jawaban lembaga-lembaga negara.

Berikut ini, akan digambarkan terkait dengan perihal paska amandemen UUD RI 1945, diantaranya :

Perihal
Sebelum Amandemen
Sesudah Amandemen
Sistem Presidensial
Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, memiliki kewenangan yang penuh atau memiliki kewenangan yang kuat (executive heavy), (baik dalam menyusun kabinet, maupun menjalankan roda pemerintahan)
Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dapat dikatakan eksekutif tidak memiliki kewenangan yang kuat (not executive heavy), khususnya dalam membentuk kabinet, karena adanya koalisi parlemen di Legislatif
MPR
Berposisi sebagai lembaga tertinggi, karena MPR melalui konstitusi melakukan werk verdeling (pembagian tugas kepada lembaga tinggi) dan meminta pertanggung jawaban dalam 5 Tahun masa kerja dari lembaga tinggi, dan masih adanya praktek GBHN. Komposisi MPR terdiri atas DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan
Tidak lagi berposisi sebagai lembaga tertinggi, hanya sebagai lembaga tinggi negara, juga setelah adanya amandemen MPR tidak berwenang untuk mengangkat Presiden, hanya berposisi sebagai melantik Presiden, sekaligus tidak ada lagi GBHN. Komposisi MPR terdiri atas DPR dan DPD.
Legislatif
Bukan sebagai lembaga tinggi yang superior, karena terbatasnya kewenangan yang dimiliki, serta dalam pembentukan kabinet tidak mempunyai peranan, karena di parlemen hampir tidak ada koalisi.
Menjadi lembaga tinggi yang superior, disatu sisi legislatif memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, juga dalam pembentukan kabinet memiliki peranan, karena pengaruh koalisi di parlemen.
Lembaga Kehakiman
Belum terdapat lembaga kehakiman yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap UUD, tentang Partai Politik, serta hasil Pemilihan Umum. Dan juga belum lahir lembaga yang mengatur tentang Kehakiman.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga kehakiman yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap UUD, tentang Partai Politik, serta hasil Pemilihan Umum. Dan lahir juga Komisi Yudisial yang mengatur tentang Kehakiman.
PEMILU
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah belum dilaksanakan secara langsung.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung.

Berikut ini, akan digambarkan mengenai skema mengkaji ulang UUD RI 1945, yaitu[16] :
Text Box: Kenyataan sistem pemerintahan (existing reality of governance system) menurut UUD RI setelah amandemen Tahun 2002Text Box: Hakikat sistem pemerintahan (the origin of governance system) menurut UUD RI sebelum amandemen Tahun 2002


 


efeknya

Text Box: Meninjau kembali hal-hal dan aspek-aspek yang perlu dikaji dan dibenahi ulangText Box: Dengan rincian konsepsionalText Box: Perlu amandemen lagi untuk rekonstruksi     sistem kenegaraanText Box: Tentang harapan konseptional kedepan        (Futuristic View)Text Box: Bagaimana seharusnya kedepan               (Futuristic View)Text Box: Terhadap sistem kehidupan berkonstitusiText Box: Terhadap sikap masyarakat mengenai kehidupan ber konstitusi





[1]     Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Amandemen UUD 1945 Antara Teks dan Konteks Dalam Negara Yang Sedang Berubah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 12.
[2]     Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi Dalam Batang Tubuh UUD 1945, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 272.
[3]     Harun Al Rasjid, Naskah UUD 1945 Sesudah Tiga Kali Diubah oleh MPR, (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 51-52.
[4]     Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi Dalam Batang Tubuh UUD 1945, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 273.
[5]     Terkait dengan hal ini, M. Yamin mengutip statement Ir. Soekarno selaku ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk menegaskan sifat kesementaraan UUD RI 1945 sebagai berikut: “... bahwa Undang-Undang Dasar jang buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat.nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana jang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat jang dapat membuat Undang-Undang Dasar jang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar jang lebih sempurna dan lengkap ...”
[6]     Perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar RI 1945, terdiri atas :
a.    Perubahan pertama, disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999.
b.    Perubahan kedua, disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
c.    Perubahan ketiga, disahkan pada tanggal 10 November 2001.
d.    Perubahan keempat, disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
[7]     Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2003), hlm. 15-17.
[8]     Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Amandemen UUD 1945 Antara Teks dan Konteks Dalam Negara Yang Sedang Berubah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 23.
[9]     Pasal 5 ayat 1, menyatakan bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
[10]   Pasal 13 ayat 2, menyatakan bahwa “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
[11]   Pasal 14 ayat 2, menyatakan bahwa “Presiden memberi amnesti dan abolisi serta rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
[12]  Sebelum amandemen Pasal 1 ayat 2, menyatakan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Selanjutnya setelah amandemen Pasal 1 ayat 2, menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”.
[13]  Sebelum amandemen Pasal 6 ayat 2, menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”, selanjutnya setelah amandemen Pasal 6A ayat 1, menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.
[14]   Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Amandemen UUD 1945 Antara Teks dan Konteks Dalam Negara Yang Sedang Berubah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 24.
[15]   Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Amandemen UUD 1945 Antara Teks dan Konteks Dalam Negara Yang Sedang Berubah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 22.
[16]  Skema ini merupakan hasil dari perkuliahan dengan Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH, pada mata kuliah Hukum Tata Negara Lanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar