Menuju
Sistem Pemerintahan Presidensial Murni
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, M.H
Berdasar UUD 1945, Presiden disamping berkedudukan
sebagai kepala negara berkedudukan pula sebagai kepala pemerintahan. Dalam
Pasal 17 ayat 1 dinyatakan bahwa, “Presiden sebagai kepala pemerintahan
didalam menyelenggarakan tugasnya sehari-hari, dibantu oleh Menteri-menteri”.
Sebagai pembantu Presiden, maka Menteri-menteri ini tidak bertanggung jawab
kepada DPR. Sebagai pembantu Presiden maka Menteri-menteri ini bertanggung
jawab kepada Presiden. Dalam Pasal 17 ayat 2 “Menteri-menteri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden”. Dengan demikian jelas bahwa kepala
pemerintahan, adalah ditangan Presiden, sehingga menurut konstitusi
ketatanegaraan ini, pemerintahan pada hakikatnya adalah Presiden. Tentunya
sistem ketatanegaraan dimana kepala pemerintahannya ada di tangan Presiden
dapat dinamakan “sistem pemerintahan presidensil”.
A. Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan UUD
1945 (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949).
Pada masa awal kemerdekaan, negara
Indonesia belum mempunyai supra struktur politik secara lengkap,
lembaga-lembaga negara yang mestinya ada sesuai ketentuan UUD 1945, walaupun di
dalam UUD 1945 menyebutkan adanya lembaga negara seperti: MPR, DPR, Presiden,
MA, BPK, dan DPA. Namun demikian karena saat itu belum semua lembaga terbentuk,
atau baru Presiden dan Wakil Presiden yang ada, maka berdasar aturan peralihan
pasal IV UUD 1945 kekuasaan lembaga-lembaga negara dijalankan oleh Presiden, “sebelum
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan
Agung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”.
Bahkan hukum yang diberlakukan
masih “meminjam” hukum kolonial Belanda melalui pintu aturan peralihan Pasal
II: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dalam
penyelenggaraan negara adanya Pasal IV aturan peralihan telah terjadi pemusatan
kekuasaan dengan memberi kekuasaan kepada Presiden untuk menjalankan segala
fungsi negara, yakni fungsi eksekutif, legislatif, dan pertimbangan pada
Presiden. Pemusatan kekuasaan ini bertentangan dengan prinsip sistem
pemerintahan Presidensil, yang mengkehendaki adanya pemisahan kekuasaan
diantara lembaga-lembaga negara, agar terhindar dari pemerintahan yang absolut.
Situasi pemusatan kekuasaan pada
Presiden hanya berlangsung sesaat, namun hal tersebut berbahaya bagi
penyelenggaraan negara, sebab hukum dasar yang semestinya memberikan jaminan
bagi warga negara agar terhindar dari pemerintahan yang otoriter yang pada
pertengahan abad ke XVIII banyak ditentang justru diberi ruang untuk muncul
lagi dinegara yang baru merdeka. Untung saja segera muncul maklumat Wakil
Presiden No. X Tahun 1945 (16 Oktober 1945) yang menjadi dasar terbentuknya
lembaga legislatif, sebab maklumat tersebut mengubah status Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang sebenarnya sebagai pembantu Presiden menjadi
parlemen atau lembaga legislatif pusat, yang bersamaan pada waktu itu dibentuk
Badan Pekerja KNIP.
Dengan adanya maklumat Wapres No.
X, maka badan pekerja KNIP mempunyai kekuasaan legislatif dan sekaligus
mempunyai sebagian wewenang MPR untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Dalam penjelasan maklumat Wapres No. X Tahun 1945 dikemukakan
sebagai berikut: “menurut putusan ini maka Badan Pekerja berkewajiban dan
berhak”:
1. Turut
menetapkan garis-garis besar haluan negara. Ini berarti, bahwa badan pekerja,
bersama-sama dengan Presiden, menetapkan garis-garis besar haluan negara.
2. Menetapkan
bersama-sama dengan Presiden Undang-undang yang boleh mengenai segala macam
urusan pemerintahan, artinya Presiden dibantu oleh menteri-menteri, dan
pegawai-pegawai yang ada dibawahnya.
Untuk memberi kejelasan bahwa
maklumat No. X Tahun 1945 tersebut konstitusional, menurut Mahfud MD ada 2
(dua) hal, diantaranya:
1. Maklumat
itu dikeluarkan oleh Wakil Presiden atas nama Presiden yang ketika itu memegang
kekuasaan MPR, DPR, dan DPA dengan bantuan sebuah komite Nasional. Ketentuan
ini tertuang jelas didalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang menentukan
bahwa, “sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini,
segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite
nasional”. Dengan demikian berdasarkan aturan peralihan tersebut pada saat
itu Presiden dapat melakukan tindakan-tindakan yang menjadi wewenang MPR,
termasuk mengubah konstitusi dan sistem pemerintahannya. Pada saat itu Presiden
dan Wakil Presidena secara konvensional disebut sebagai “dwitunggal” dan
Presiden sendiri menyetujui maklumat tersebut.
2. Maklumat
tersebut dapat dipandang sebagai konvensi yang merupakan bagian dari konstitusi
yakni bagian hukum dasar yang tidak tertulis, sebab dalam kenyataannya
perubahan ketatanegaraan berdasarkan maklumat tersebut diterima di dalam
praktik oleh semua lapisan masyarakat serta oleh supra dan infrastruktur
politik waktu itu. Penerimaan itu menjadi kunci bagi keabsahan maklumat No. X
dan maklumat Pemerintah tanggal 14 November Tahun 1945 sebagai penciptaan
konvensi ketatanegaraan.
B. Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan
Konstitusi RIS 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950.
Dari hasil perundingan Konvensi
Meja Bundar (KMB) antara Republik Indonesia, Byeenkomst voor Federal Overleg
dan Nederland dihasilkan 3 (tiga) buah persetujuan pokok, yaitu
persetujuan-persetujuan tentang:
1. Didirikan
Negara Republi Indonesia Serikat.
2. Penyerahan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
3. Didirikannya
Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.
Dengan demikian, penyelenggaraan
negara tidak lagi berdasarkan pada UUD 1945, melainkan berdasarkan pada
konstitusi RIS, dimana dalam Konstitusi RIS yang dimaksud Pemerintah adalah
Presiden dengan seorang atau beberapa menteri yakni menurut tanggung jawab
khusus atau tanggung jawab umum. Dalam penyelenggaraan negara presiden
berkedudukan sebagai kepala negara sehingga tidak dapat diganggu gugat, tetapi
tanggung jawab kebijakan pemerintah ada ditangan menteri, baik secara
bersama-sama untuk seluruhnya atau masing-masing untuk bagiannya
sendiri-sendiri.
C. Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan UUD
Sementara Tahun 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).
Dalam perjalanan negara antara
tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950 ada keinginan dari
sebagian rakyat Indonesia agar Indonesia menjadi negara kesatuan kembali.
Kemudian negara-negara bagian melakukan perundingan. Dalam perundingan itu
diajukan 3 (tiga) alternatif untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yaitu:
1. Pasal-pasal
didalam Konstitusi RIS yang bersifat federalis dihilangkan dan digantu dengan
pasal-pasal yang bersifat kesatuan.
2. Negara
kesatuan dibentuk dengan cara meleburkan Negara Republi Indonesia dan Republik
Indonesia Serikat.
3. Negara
kesatuan dibentuk dengan cara menggabungkan RIS kedalam ikatan Negara Republik
Indonesia.
Dari 3 (tiga) alternatif tersebut,
alternatif pertamalah yang akan dipergunakan sebagai ide dasar menuju Negara
Kesatuan RepubliK Indonesia. Langkah selanjutnya RIS mengadakan persetujuan
dengan negara bagian Rpeublik Indonesia untuk mewujudkan negara kesatuan dengan
mengubah konstitusi RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara, kemudian disusul
dengan proklamasi pembentukan Negara Kesatuan RI oleh Presiden Soekarno
dihadapan sidang Senat dan DPRS di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1950.
Selanjutnya naskah UUD Sementara itu diberlakukan secara resmi mulai tanggal 7
Agustus 1950. UUD Sementara Tahun 1950 bersifat mengganti sehingga isinya tidak
hanya mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi RIS 1949, tetapi menggantikan
naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah baru, dengan nama Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950.
Berdasarkan pada UUD Sementara
Tahun 1950 sistem Pemerintahan yang dianut adalah sistem Parlementer, dimana
dalam Pasal 83 UUD Sementara Tahun 1950 menyatakan:
1. Presiden
dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
2. Menteri-menteri
bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama
untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.
Demikian halnya pada Pasal 84 UUDS Tahun 1950
menegaskan sistem Pemerintahan Parlementer, sebab dalam Pasal tersebut
dinyatakan, bahwa Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
D. Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan UUD
1945 (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966).
Bahwa antara 27 Desember 1949
hingga 17 Agustus 1950 penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia berdasar
pada Konstitusi RIS. Kemudian dari 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959
penyelenggaraan negara Indonesia berdasar pada UUD Sementara 1950. Berdasar
pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945. Sejak
saat itu UUD 1945 berlaku lagi sebagai hukum dasar, dari sisi hukum bukan pada
persoalan isi dekrit Presiden yang menarik untuk dibahas, justru dekrit Presidenlah
yang menarik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 tidak lagi bersifat
sementara. Sobirin Malian berpandangan sebaliknya bahwa UUD 1945 tetap bersifat
sementara dengan alasan:
1. Presiden
meskipun dalam keadaan darurat bukanlah badan atau lembaga yang berwenang
menetapkan UUD 1945.
2. Secara
semantik, dekrit Presiden tentang kembali ke UUD 1945 tidak dapat diartikan
Presiden telah menetapkan UUD.
3. Dengan
berlakunya kembali UUD 1945, berarti yang berwenang menetapkan UUD 1945 adalah
MPR.
Secara teori sulit untuk
menjelaskan posisi dekrit Presiden 5 Juli 1959, jika dari sisi positivistik
maka jelas hukum ini justru bertentangan dengan UUD Sementara 1950 waktu itu,
yang mengamanatkan Presiden taat pada UUD Sementara Tahun 1950. Pada masa itu
Presiden Soekarno berkeinginan untuk menjadi kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan yang kuat, langkah pemberlakuan dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah
mementahkan upaya-upaya korektif yang dilakukan oleh konstituante dalam
membentuk UUD yang baru.
Dari perspektif hukum progresifpun
dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak mempunyai ciri untuk kepentingan manusia
Indonesia seutuhnya, dekrit Presiden hanyalah sebagai salah satu produk hukum
yang termasuk rule breaking hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu
saja, terutama Presiden Soekarno. Sebab dengan produk itu, kekuasaan Presiden
Soekarno yang semula hanya sebagai kepala negara, dengan berlakunya UUD 1945
Presiden menjadi kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan
Presiden menjadi sangat besar berdasar dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut.
Sidang umum IV MPRS pada Tahun 1966
dengan ketetapan No. XVIII/MPRS/1966 telah menarik kembali ketetapan No. III
MPRS/1963 tentang pengangkatan pemimpin besar revolusi menjadi Presiden seumur
hidup. Ketetapan penarikan kembali itu disampaikan kepada Presiden/mandataris
MPR dengan permintaan maaf. Dalam konsiderannya dikemukakan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengenal lembaga Presiden seumur hidup.
2. Bahwa
pengangkatan Presiden seumur hidup adalah prakarsa MPRS sendiri dan sama sekali
bukan kehendak Presiden Soekarno.
3. Bahwa
kehendak Presiden Soekarno yang dinyatakan pada waktu menerima ketetapan MPRS
No. III/MPRS/1963 dan kemudian ditegaskan dalam pidato Nawaksara, agar
pengangkatan tersebut dinilai kembali oleh MPR hasil pemilihan umum, mengandung
suasana kebatinan keberatan beliau terhadap pengangkatan tersebut.
4. Bahwa
pengangkatan tersebut harus merupakan tanggung jawab MPRS sendiri, dan tidak
tepat jika pertanggung jawaban dibebankan pada MPR hasil pemilihan umum.
5. Bahwa
berdasarkan hal-hal tersebut diatas, perlu meninjau kembali pengangkatan
Presiden seumur hidup seperti ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No.
III/MPRS/1963.
E. Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan UUD
1945 (11 Maret 1966 – sampai dengan 1998).
Demikian halnya pemerintahan Orde
Baru sepanjang kekuasaannya, UUD 1945 menjadi sesuatu yang disakralkan.
Sehingga gagasan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 saja sudah
dianggap dosa besar dan harus rela menerima hukuman dari penguasa. Satjipto
Rahrdjo mencatat pidato Presiden Soeharto sesaat bubarnya pemerintahan Orde
Lama, yakni “penyelewangan yang serius atas UUD 1945 adalah memusatnya
kekuasaan pada kepala negara. Asas dan sendi kosntitusi dalam praktik bersifat
absolutisme. Kekuasaan tertinggi bukan pada MPR(S), tetapi di tangan pemimpin
besar revolusi. Presiden bukan tunduk pada MPR(S) tetapi MPR(S) yang
ditundukkan pada Presiden”.
Di era Orde Baru ini, konsentrasi
penyelenggaraan sistem pemerintahan dan kehidupan demokrasi dititikberatkan
pada aspek stabilitas politik dalam
rangka menunjang pembangunan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, oleh
pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto dilakukan upaya-upaya
pembenahan sistem ketatanegaraan dan format politik yang pada prinsipnya
mempunyai sejumlah sisi yang menonjol, yaitu:
1. Adanya
konsep dwifungsi ABRI.
2. Mengutamakan
Golongan Karya.
3. Kekuasaan
ditangan eksekutif.
4. Diteruskannya
sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
5. Kebijakan
depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masa mengambang.
6. Kontrol
arbitrer atas kehidupan pers.
Pada awal Orde Baru muncul gagasan
untuk menyederhanakan partai politik yang ada. Penyederhanaan itu tidak hanya
dalam arti pengurangan jumlah namun juga perombakan sikap dan pola kerja partai
politik menuju pada orientasi program. Disamping itu partai-partai politik juga
berkewajiban mempunyai asas tunggal yaitu Pancasila. Langkah kongkrit
penyederhanaan itu terjadi pada tanggal 9 Maret 1970 yaitu terjadi
pengelompokan partai politik yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia,
Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Kemudian pada tanggal 10 Januari 1970 terbentuklah Partai Persatuan Pembangunan
sebagai hasil dari fusi NU, Parmusi, Perti, dan PSII. Diluar 2 (dua) partai
politik itu, kemudian muncul golongan-golongan fungsional yang menurut
pemerintah belum tertampung dalam partai politik, kemudian membentuk satu
golongan tersendiri yang disebut Golongan Karya.
Sejak saat itu, maka pemilihan umum
yang diselenggarakan dari Tahun 1971 hingga 1977 selalu dimenangi oleh Golongan
Karya, dan pemilihan Presiden selalu dimenangkan oleh Soeharto secara aklamasi.
Kondisi ini mengakibatkan adanya 2 (dua) fenomena ketatanegaraan Indonesia,
diantaranya:
1. Sistem
ketatanegaraan yang dijalankan pada waktu itu lebih menekankan pada kestabilan
politik dan memang berhasil.
2. Terjadi
pemasungan hak-hak poitik bagi warga negara, khususnya dalam hal berserikat dan
berkumpul untuk mengeluarkan pendapat baik tertulis maupun lisan.
Pemerintah pada masa itu,
memanfaatkan kelemahan UUD 1945 yang sangat menguntungkan Presiden. Dimana
dalam UUD 1945 kekuasaan Presiden sangat besar (executive heavy),
lembaga lainnya kekuasaannya tidak seimbang dalam UUD 1945 yang terdiri dari 37
Pasal itu 13 Pasal mengatur langsung mengenai jabatan Kepresidenan (Pasal 4
sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 22).
Disamping itu, Presiden juga
menjalankan kekuasaan peraturan perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan
dengan menegakkan hukum (grasi, abolisi, dan amnesti) dan lain sebagainya. Pada
masa Orde Baru berkuasa produk hukum dalam bentuk Undang-undang misalnya
tentang Pmeilu, susunan dan kedudukan DPR, DPRD, dan MPR, serta partai politik
selalu diarahkan untuk kepentingan memperkuat kekuasaa Presiden. Bahkan selama
Orde Baru berkuasa format politik tidak demokratis, produk hukum selalu
konservatif dengan fungsi positivistik instrumentalistik.
Walaupun kekuasaan Presiden dalam
UUD 1945 sangat kuat, namun dilihat dari sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD
1945, justru ciri-ciri sistem parlementer terlihat didalamnya, yaitu:
1. Pertama,
Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak berdasarkan Pasal 6 ayat 2 UUD
1945, anggota MPR yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah
dan golongan.
2. Kedua,
Presiden yang terpilih itu diangkat oleh MPR dan sewaktu-waktu MPR dapat
meminta pertanggung jawaban Presiden, sesuai dengan ketentuan mengenai sistem
pemerintahan negara yang diatur dalam penjelasan umum UUD 1945. Presiden yang
terpilih dan diangkat oleh MPR itu tidak “neben” tetapi “untergeodnet”
kepada majelis karena dipilih dan diangkat oleh MPR, maka Presiden juga dapat
diberhentikan oleh MPR.
3. Setiap
Undang-undang yang dibentuk harus mendapat persetujuan DPR sesuai dengan
ketentuan Pasal 5 ayat 1, Pasal 20, Pasal 21 ayat 2, Pasal 22 dan Pasal 23 UUD
1945. Hal ini juga dikelaskan didalam penjelasan umum UUD 1945. Presiden harus
mendapat persetujuan DPR untuk membentuk Undang-undang dan untuk menetapkan anggaran
pendapatan dan belanja negara. Karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama
dengan DPR.
Kenyataannya, selama Orde Baru
berkuasa belum ada Undang-undang yang lahir dari inisiatif DPR, semua inisiatif
berasal dari eksekutif, DPR tinggal mengesahkan. Sehingga sering muncul
sindiran terhadap DPR yang hanya sebagai “tukang stempel”. Terlepas
bagaimana bekerjasamanya antara Presiden dan DPR dalam pembentukan
Undang-undang satu hal yang perlu dipahami adalah apa yang melatarbelakangi founding
fathers dalam merumuskan Pasal 5 ayat 1 UUD 1945, paling tidak ada 3 (tiga)
alasan utama yang melatar belakangi rumusan Pasal 5 ayat 1, diantaranya :
1. Pembentuk
UUD pada umumnya terdiri dari pemimpin bangsa yang mengetahui dengan baik
teori-teori mengenai pemisahan kekusaan. Ketentuan Pasal 5 ayat 1 mencerminkan
pendirian bawha Indonesia merdeka tidak disusun berdasarkan Trias Politika yang
memang terbukti. Ketentuan Pasal 5 ayat 1 menunjukkan bahwa adanya kekuasaan
bersama dalam pembentukan Undang-undang, tidak sepenuhnya kekuasaan DPR seperti
yang dikehendaki oleh ajaran Trias Politika.
2. Selain
menunjukkan kekuasaan bersama, Pasal 5 ayat 1 memberikan kepada Presiden hak
inisiatif untuk mengajukan rancangan Undang-undang. Hal ini berbeda dengan Presiden Amerika Serikat yang
juga menjalankan kekuasaan pemerintahan seperti Presiden Republik Indonesia.
Konstitusi Amerika Serikat menegaskan bahwa kekuasaan legislatif ada pada congres.
Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif, seluruh inisiatif pembuatan
Undang-undang ada pada congres.
3. Dalam pembentukan Undang-undang, sistem UUD
1945 lebih dekat pada sistem negara-negara Eropa. Penyelenggara negara dalam
sistem Kontinental tidak didasarkan pada pemisahan kekuasaan, tetapi pada
pembagian fungsi, bahkan difusi.
F. Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan pada
masa Transisi dari UUD 1945 ke UUD
Negara RI Tahun 1945.
Setelah Orde Baru dilengserkan,
maka sistem ketatanegaraan Indonesia memasuki era transisi, pada masa ini
proses perubahan UUD 1945 dilakukan untuk mendorong terselenggaranya sistem
ketatanegaraan yang demokratis. Setelah Presiden Soeharto menyampaikan
“pernyataan berhenti” sebagai Presiden berdasar pada Pasal 8 UUD 1945 pada
tanggal 21 Mei 1998, pada saat itu pula Wakil Presiden B.J.Habibie disumpah
sebagai Presiden.
Pada masa pemerintahan B.J.Habibie
yang beralngsung selama 518 hari, berdasar pada Pasal 8 UUD 1945 B.J.Habibie
seharusnya menjadi Presiden sama masa jabatan Presiden Soeharto habis, yaitu
pada Tahun 2003. Namun karena ada kontroversi tentang sah atau tidaknya
B.J.Habibie menggantikan Presiden Soeharto, maka akhirnya masa jabatannya
dipercepat dengan perubahan jadwal pemilihan umum yang dipercepat pula.
Dengan perspektif politik hukum,
Moh. Mahfud MD mengatakan bahwa UUD 1945 mengandung kelemahan mendasar dalam
membangun sistem politik, sehingga melahirkan sistem politik yang tidak
demokratis, yaitu:
1. UUD
1945 membangun sistem politik yang executive heavy, karena tidak
menentukan batas-batas kekuasaan dan checks and balances secara tegas
sehingga kekuasaan menjadi berpusat pada Presiden. Sistem ini sangat rentan
dari serangan penyakit laten yang selalu ada pada setiap kekuasaan yaitu
kecendrungan untuk korup (power tends to corrupt). Setiap konstitusi
yang terlalu longgar dalam arti tidak membuat batas-batas yang tegas atas
kekuasaan bisa dierang oleh penyakit korup ini melaluii berbagai manipulasi
yang dapat dicarikan pembenaran secara formal.
2. UUD
1945 terlalu banyak memberikan atribusii kewenangan kepada lembaga legislatf
untuk mengatur lagi hal-hal yang penting, tanpa batasan-batasan yang tegas,
dalam praktiknya produk legislatif itu lebih banyak ditentukan oleh Presiden
melalui froamt politik yang dibangun berdasar kekuasaannya juga didalam bidang
legislatif. Banyak hal penting yang oleh UUD 1945 diatribusikan kepada lembaga
legislatif untuk diatur lebih lanjut, seperti masalah-masalah HAM, kekuasaan
kehakiman, penguasaan negara atas publik domain, yang dalam realisasinya lebih
mengakomodasi kehendak-kehendak dan pandangan politik Presiden sendiri.
3. UUD
1945 memuat Pasal-pasal yang bersifat multi tafsir dalam arti bisa ditafsirkan
secara berbeda-beda namun dalam implementasinya tafsir Presidenlah yang harus
diterima sebagai kebenaran, masalah masa jabatan Presiden, kemerdekaan lembaga
yudikatif dan konsepsi ekonomi kekeluargaan, dapat disebut sebagai contoh
materi yang multi tafsir yang pada praktiknya kebenaran penafsiran dimonopoli
oleh Presiden.
4. UUD
1945 bersikap terlalu polos, karena lebih menggantungkan kebaikan negara pada
“semangat” penyelenggara negara. Dikatakan bahwa kalimat-kaliat didalam
konstitusi tidak akan ada artinya jika penyelenggara negaranya tidak baik. Ini
memang benar untuk sebagian tetapi salah untuk sebagian yang lain, sebab
penyelenggara negara yang baik akan menjadi jelek jika sistemnya tidak baik
atau tidak ketat membuat pembatasan-pembatasan karena bagaimana pun kekuasaan
itu memiliki potensi untuk korup. UUD haruslah hadir dengan kecurigaan, bahwa
siapapun yang berkuasa akan cenderung korup dan karenanya harus ada pada sistem
pembatas kekuasaan yang tegas dan tidak dapat diperluas dengan kehendak sepihak
dari penguasa sendiri. Kekuasaan menjadi terpusat pada Presiden, UUD 1945
terlalu banyak memberi kewenangan kepada lembaga legislatif untuk mengatur lagi
hal-hal penting tanpa batasan yang tegas. Selain hal tersebut menurutnya UUD
1945 bersikap terlalu polos, lebih menggantungkan kepada semangat penyelenggara
negara.
Sementara A. Muktie Fadjar
menguraikan alasan perlunya UUD 1945 dilakukan perubahan, diantaranya:
1. Alasan
historis, bahwa sejarah pembentukan UUD 1945 didesain oleh pendiri negara
(BPUPKI, PPKI) karena dibuat dan ditetapkan secara tergesa-gesa. Seperti yang
dikatakan oleh Soekarno, yaitu “...bahwa Undang-Undang Dasar yang baru sekarang
ini, adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan:
ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara didalam
suasana yang lebih tenteram, kita akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan
Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lengkap dan lebih sempurna.
Tuan-tuan tentu mengerti bahwa ini adalah Undang-Undang Dasar sementara,
Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula inilah revolutieground
wet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap”.
2. Alasan
filosofis, bahwa dalam UUD 1945 terdapat percampuran adukan beberapa gagasan
yang saling bertentangan, seperti faham kedaulatan rakyat dan faham
integralistik, antara faham negara hukum dan faham negara kesatuan.
3. Alasan
teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi. Keberadaan konstitusi dalam
suatu negara hakikatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak
bertindak sewenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjol pembatasan kekuasaan
tersebut melainkan lebih menonjolkan pengintegrasian.
4. Alasan
yuridis, sebagai lazimnya setiap konstitusi tertulis (UUD) yang selalu memuat
adanya klausula perubahan di dalam naskahnya, UUD 1945 juga mencantumkan hal
itu dalam Pasal 37, sebab betapapun selalu disadari akan ketidaksempurnaan
hasil pekerjaan manusia, termasuk pekerjaan membuat atau menyusun UUD.
5. Alasan
politik praktis, bahwa secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak
langsung, dalam praktik politik sebenarnya UUD 1945 sudah sering mengalami
perubahan yang menyimpang dari teks aslinya, baik masa 1945-1949 maupun masa
1959-1998, seperti terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari Presidensiil
ke sistem Parlementer, penetapan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, ini
berarti menyimpang dari UUD 1945.
6. Susunan
UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada
Presiden (executive heavy) yaitu Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan, menjalankan kekuasaan membentuk Undang-undang dan juga berbagai
kekuasaan dan hak-hak konstitusional (hak prerogatif) dan Presiden sebagai
kepala negara.
7. UUD
1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antara cabang-cabang
pemerintahan, sehingga kekuasaan Presiden sangat dominan.
8. UUD
1945 memuat ketentuan yang deskriminatif, seperti memuat ketentuan mengenai
Presiden harus orang Indonesia asli.
9. UUD
1945 tidak memuat ketentuan tentang batas waktu pengesahan rancangan
Undang-undang yang telah disetujui oleh Presiden dan DPR.
10. Keberadaan
penjelasan UUD 1945 menimbulkan persoalan teoritis (ketidaklaziman UUD
mempunyai penjelasan) dan yuridis (tidak termasuk disahkan oleh PPKI, meskipun
kemudian termuat dalam dekrit Presiden) serta materi muatannya yang tidak
selalu konsisten atau bahkan rancu dengan pengaidahan dalam batang tubuh.
Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi
kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dari Tahun 1999 hingga Tahun 2002. Pada sidang tahunan MPR 1999, seluruh
fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu :
1. Sepakat
untuk tidak mengubah pembukaan UUD 1945.
2. Sepakat
untuk mempertahankan bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Sepakat
untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus
menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil).
4. Sepakat
untuk mempertahankan hal-hal normatif yang ada dalam penjelasan UUD 1945
kedalam Pasal-pasal UUD 1945.
5. Sepakat
untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Masa transisi ini ditandai dengan
pencabutan berbagai peraturan perundang-undangan yang menghambat proses demokrasi. Adapun
peraturan perundang-undangan yang mengalami perubahan atau penggantian bahkan
pencabutan, antara lain:
1. Ketetapan
MPR No. IV tentang Referendum.
2. Undang-undang
No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
3. Undang-undang
di bidang politik (Undang-undang pemilu, Undang-undang partai politik, dan
Undang-undang Susduk MPR/DPR/DPRD) diganti dengan Undang-undang yang lebih
membuka partisipasi masyarakat dan hak berpolitik.
4. Undang-undang
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan daerah yang sangat
sentralistik.
Periode transisi dilanjutkan oleh
K.H. Abdurrahman Wahid yang memenangi pemilihan Presiden oleh MPR pada Tahun
1999, pemilihan Presiden pada masa ini dirasa lebih demokratis dibanding
sebelumnya, sebab anggota MPR menggunakan hak suaranya untuk menentukan
Presiden pilihannya. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada periode ini
menggunakan dasar Tap MPR No. VI/MPR/1999 tentang tata cara pencalonan dan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Tata cara pemilihan Presiden yang
dilakukan oleh MPR dengan memilih Presiden terlebih dahulu (tidak dalam satu
paket pemilihan) dan setelah Presiden terpilih kemudian dilakukan pemilihan
Wakil Presiden.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid, ada upaya pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden melalui
Keputusan Presiden No. 121 Tahun 2000. Sikap Presiden Abdurrahman Wahid dinilai
oleh Mahfud M.D sebagai langkah tepat baik secara politik maupun secara
konstitusional. Secara politik dapat dikatakan bahwa Presiden melakukan
pengalihan kekuasaan itu berdasarkan kekuasaannya sendiri dan bukan dipaksa
sepihak oleh MPR. Tindakan tersebut juga dapat dibenarkan secara
konstitusional, sebab yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid bukan
memisahkan atau melepaskan kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden
melainkan menugaskan kepada Wakil Presiden dengan masih tetap dibawah tanggung
jawab Presiden sendiri.
Dari bulan Oktober 1999 sampai
dengan Mei 2001 pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ketatanegaraan yang
berlangsung waktu itu cukup dinamis penuh dengan kejutan-kejutan politik:
misalnya pembubaran departemen sosial dan departemen penerangan, pergantian 19
menteri, menolak pengangkatan ketua Mahakamah Agung yang diusulkan oleh DPR.
Pengangkatan ini sesungguhnya merupakan peran Presiden selaku kepala negara,
yang bersifat administratif saja. Sehingga siapapun yang diajukan oleh DPR
Presiden mestinya menyetujuinya.
Beberapa peristiwa yang cukup
menyita perhatian publik pada masa transisi ini adalah :
1. Pada
bulan November 1999, Presiden mengumumkan pengunduran diri Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Hamzah Haz).
2. Pada
bulan Januari 2000, Presiden mencanangkan pergantian Gubernur Bank Indonesia,
tetapi Gubernur Bank Indonesia tidak mau mundur karena masa jabatannya sampai
akhir Tahun 2003, sesuai dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
3. Pada
bulan Januari 2000, Sekretaris Negara (Ali Rahman) meletakkan jabatan.
4. Pada
bulan April 2000, Presiden memberhentikan Menteri Negara Penanaman Modal dan
Pembina BUMN (Laksamana Sukardi), dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
(Jususf Kalla).
5. Pada
bulan Juli 2001, tanpa persetujuan DPR memberhentikan Kapolri (Jenderal
Bimantoro) dan mengangkat Wakapolri sebagai pelaksana tugas Kapolri (Chaeruddin
Ismail).
6. Konflik
Presiden dengan DPR, dimana dalam kasus buloggate dan bruneigate. Keterangan
yang disampaikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dalam memorandum pertama
ditolak oleh mayoritas anggota DPR. Memorandum kedua tetap ditolak oleh
mayoritas anggota DPR. Dalam situasi politik yang seperti itu, konflik politik
antara DPR dan Presiden menjadi tajam. Dalam situasi yang semakin terjepit dan
kelanjutan kekuasaannya terancam, Presiden Abdurrahman Wahid lalu mengambil
langkah politik mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001 yang pada
intinya Presiden membekukan DPR dan MPR dan akan segera menyelenggarakan
pemilihan umum. Langkah politik itu dibalas oleh mayoritas anggota DPR dengan
tidak mengakui maklumat Presiden tersebut dan melakukan memorandum ketiga yang
dipercepat dengan agenda mencabut mandat terhadap Presiden.
Sikap MPR terhadap maklumat
Presiden 23 Juli 2001 yang membekukan MPR dan DPR dianggap telah melampaui
batas kewenangan Presiden dan melanggar GBHN dalam Pasal 1 Tap MPR No.
I/MPR/2001 tentang sikap MPR RI terhadap maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli
2001. Adapun sebagai pertimbanagn pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid
dalam Tap MPR No. II/MPR/2001 adalah sebagai berikut:
1. Presiden
dipilih dan diangkat oleh MPR, tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
2. Pertanggungjawaban
Presiden dapat diberikan pada akhir amsa jabatan atau dalam masa jabatan
dihadapan sidang istimewa MPR yang khusus diadakan untuk itu.
3. Anggota
DPR adalah anggota MPR, sehingga DPR berkewajiban untuk mengawasi tindakan
Presiden dalam pelaksanaan GBHN.
4. Apabila
DPR menganggap Presiden sungguh melanggar haluan negara, maka DPR dapat meminta
MPR mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggung jawaban Presiden.
5. DPR
telah meminta MPR untuk mengadakan sidang Istimewa untuk meminta pertanggung
jawaban Presiden Abdurrahaman Wahid, melalui Keputusan No.
51/DPR-RI/IV/2000-2001, yang menyatakan Presiden Abdurrahman Wahid tidak
mengindahkan memorandum kedua DPR, yang isinya menganngap Presiden sungguh-sungguh
melanggar haluan negara, yaitu melanggar Pasal 9 tentang sumpah jabatan dan Tap
MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
6. Presiden
Abdurrahman Wahid telah melakukan tindakan yang melanggar haluan negara untuk
menghambat proses konstitusional, tidak bersedia hadir dan menolak memberikan
pertanggungjawaban kepada sidang Istimewa MPR.
7. Presiden
Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001
yang merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Sebenarnya oleh MPR telah
diagendakan diselenggarakan memorandum II pada tanggal 1 Agustus 2001, namun
sebelum tanggal itu, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan maklumat Presiden
tanggal 23 Juli 2001, hal ini yang mendorong diselenggarakannya sidang Istimewa
MPR.
Dengan diberhentikannya Presiden
Abdurrahman Wahid, maka berdasar pada Pasal 8 ayat 1 UUD Negara RI 1945, yaitu
“jika Preside mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”.
Kemudian melalui Tap MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden
Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI menggantikan Presiden Abdurrahman
Wahid sampai habis masa jabatannya. Kemudian MPR menyelenggarakan pemilihan
untuk Wakil Presiden yang dimenangi oleh Hamzah Haz, yang selanjutnya
ditetapkan sebagai Wakil Presiden
berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/2001 tentang pengangkatan Wakil Presiden.
Pada masa pemerintahan Megawati
tidak muncul persoalan serius terutama hubungannya antara Presiden dan DPR.
Persoalan ketatanegaraan yang cukup menarik adalah perlu tidaknya Presiden
menyampaikan laporan tahunan dihadapan MPR. Sebab pada Megawati Soekarnoputri
menjadi Presiden proses perubahan UUD 1945 telah selesai. Ketentuan
pertanggungjawaban Presiden menjadi hapus, karena Presiden bukan lagi sebagai
mandataris MPR.
Fraksi Partai Demorkasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) tidak menginginkan ada pertanggungjawaban Presiden, karena
MPR hasil perubahan UUD 1945 tidak mempunyai wewenang meminta
pertanggungjawaban Presiden. Fraksi ini menghendaki, sidang MPR 2004 hanya
mendengar pidato Presiden tentang pelaksanaan GBHN dan putusan MPR lainnya.
Sementara itu, kelompok lain tetap
menghendaki ada pertanggung jawaban Presiden yang berujung diterima atau
tidaknya pertanggungjawaban Presiden. Hasil kompromi politik terhadap masalah
ini diketemukan jalan tengah, yakni pada sidang Tahunan MPR Tahun 2004, dengan
mengganti kata-kata yang semula MPR menilai laporan pertanggungjawaban Presiden,
menjadi MPR “menanggapi” laporan tahunan Presiden.
Berikut ini digambarkan perbedaan
sistem pemerintahan presidensiil, berdasarkan Undang-Undang Dasar dari masa
awal kemerdekaan, hingga yang terkini pada masa transisi, yaitu:
Awal
Kemerdekaan
|
Orde Lama (1959-1966)
|
Orde Baru
(1966-1999)
|
Masa Transisi (1998-amandemen UUD)
|
1.
Terjadi pemusatan kekuasaan
pada Presiden.
|
1.
Presiden mempunyai kekuasaan
yang sangat besar.
|
1.
Kekuasaan Presiden sangat
besar.
|
1.
Terjadi penguatan kedudukan
DPR.
|
2.
Pengurangan kekuasaan Presiden
dengan adanya maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945.
|
2.
Terjadi pelanggaran terhadap
UUD 1945, antara lain:
a.
Bentuk dan substansi peraturan
perundang-undangan.
b.
Pembekuan DPR hasil pemilu
Tahun 1955.
c.
Pembentukan DPR GR oleh
Presiden
d.
Pengangkatan Soekarno sebagai
Presiden seumur hidup.
|
2.
DPR hanya sebagai lembaga yang
memberi persetujuan terhadap kebijakan Presiden dalam membentuk UU.
|
2.
Terjadi konflik antara DPR dan
Presiden.
|
3.
Terjadi perubahan sistem
pemerintahan dari Presidensil ke Parlementer
|
3.
Tidak adanya Checks and
Balances.
|
3.
UU menjadi alat legitimasi
Presiden.
|
3.
Presiden diberhentikan ditengah
masa jabatannya melalui sidang MPR pada Tahun 2001.
|
4.
Tidak adanya kontrol DPR
terhadap Presiden.
|
4.
Presiden menyatakan berhenti
sebagai Presiden akibat desakan gerakan mahasiswa.
|
||
5.
Presiden diberhentikan melalui
sidang Istimewa MPRS pada Tahun 1966.
|
Berdasarkan pada
doktrin trias politika yang diajukan oleh Montesquie, bahwa sistem pemerintahan
disenlenggarakan berdasar ada separation of power, yang dikenal dengan
sistem pemerintahan presidensial, maka sistem pemerintahan presidensil yang
diatur dalam UUD Negara RI 1945 belum menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan
sebagaimana mestinya prinsip sistem pemerintahan presidensil dalam ciri-ciri
sistem pemerintahan presidensil murni. Oleh karenanya, sebaiknya ada perubahan
yang mendasar, diantaranya:
1. Kekuasaan
legislatif yang seimbang antara DPR dan DPD.
2. Hak
Veto Undang-undang oleh Presiden.
3. Pengaturan
Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
4. Mekanisme
pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar