Sabtu, 17 Agustus 2013

Sistem Pemerintahan Presidensial Murni

Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni
Oleh: Cakra Arbas, SH.I, M.H

Berdasar UUD 1945, Presiden disamping berkedudukan sebagai kepala negara berkedudukan pula sebagai kepala pemerintahan. Dalam Pasal 17 ayat 1 dinyatakan bahwa, “Presiden sebagai kepala pemerintahan didalam menyelenggarakan tugasnya sehari-hari, dibantu oleh Menteri-menteri”. Sebagai pembantu Presiden, maka Menteri-menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR. Sebagai pembantu Presiden maka Menteri-menteri ini bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam Pasal 17 ayat 2 “Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Dengan demikian jelas bahwa kepala pemerintahan, adalah ditangan Presiden, sehingga menurut konstitusi ketatanegaraan ini, pemerintahan pada hakikatnya adalah Presiden. Tentunya sistem ketatanegaraan dimana kepala pemerintahannya ada di tangan Presiden dapat dinamakan “sistem pemerintahan presidensil”.

A.  Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan UUD 1945 (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949).

Pada masa awal kemerdekaan, negara Indonesia belum mempunyai supra struktur politik secara lengkap, lembaga-lembaga negara yang mestinya ada sesuai ketentuan UUD 1945, walaupun di dalam UUD 1945 menyebutkan adanya lembaga negara seperti: MPR, DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA. Namun demikian karena saat itu belum semua lembaga terbentuk, atau baru Presiden dan Wakil Presiden yang ada, maka berdasar aturan peralihan pasal IV UUD 1945 kekuasaan lembaga-lembaga negara dijalankan oleh Presiden, “sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”.
Bahkan hukum yang diberlakukan masih “meminjam” hukum kolonial Belanda melalui pintu aturan peralihan Pasal II: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dalam penyelenggaraan negara adanya Pasal IV aturan peralihan telah terjadi pemusatan kekuasaan dengan memberi kekuasaan kepada Presiden untuk menjalankan segala fungsi negara, yakni fungsi eksekutif, legislatif, dan pertimbangan pada Presiden. Pemusatan kekuasaan ini bertentangan dengan prinsip sistem pemerintahan Presidensil, yang mengkehendaki adanya pemisahan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, agar terhindar dari pemerintahan yang absolut.
Situasi pemusatan kekuasaan pada Presiden hanya berlangsung sesaat, namun hal tersebut berbahaya bagi penyelenggaraan negara, sebab hukum dasar yang semestinya memberikan jaminan bagi warga negara agar terhindar dari pemerintahan yang otoriter yang pada pertengahan abad ke XVIII banyak ditentang justru diberi ruang untuk muncul lagi dinegara yang baru merdeka. Untung saja segera muncul maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 (16 Oktober 1945) yang menjadi dasar terbentuknya lembaga legislatif, sebab maklumat tersebut mengubah status Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang sebenarnya sebagai pembantu Presiden menjadi parlemen atau lembaga legislatif pusat, yang bersamaan pada waktu itu dibentuk Badan Pekerja KNIP.
Dengan adanya maklumat Wapres No. X, maka badan pekerja KNIP mempunyai kekuasaan legislatif dan sekaligus mempunyai sebagian wewenang MPR untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam penjelasan maklumat Wapres No. X Tahun 1945 dikemukakan sebagai berikut: “menurut putusan ini maka Badan Pekerja berkewajiban dan berhak”:
1.     Turut menetapkan garis-garis besar haluan negara. Ini berarti, bahwa badan pekerja, bersama-sama dengan Presiden, menetapkan garis-garis besar haluan negara.
2.     Menetapkan bersama-sama dengan Presiden Undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintahan, artinya Presiden dibantu oleh menteri-menteri, dan pegawai-pegawai yang ada dibawahnya.

Untuk memberi kejelasan bahwa maklumat No. X Tahun 1945 tersebut konstitusional, menurut Mahfud MD ada 2 (dua) hal, diantaranya:
1.     Maklumat itu dikeluarkan oleh Wakil Presiden atas nama Presiden yang ketika itu memegang kekuasaan MPR, DPR, dan DPA dengan bantuan sebuah komite Nasional. Ketentuan ini tertuang jelas didalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang menentukan bahwa, “sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”. Dengan demikian berdasarkan aturan peralihan tersebut pada saat itu Presiden dapat melakukan tindakan-tindakan yang menjadi wewenang MPR, termasuk mengubah konstitusi dan sistem pemerintahannya. Pada saat itu Presiden dan Wakil Presidena secara konvensional disebut sebagai “dwitunggal” dan Presiden sendiri menyetujui maklumat tersebut.
2.     Maklumat tersebut dapat dipandang sebagai konvensi yang merupakan bagian dari konstitusi yakni bagian hukum dasar yang tidak tertulis, sebab dalam kenyataannya perubahan ketatanegaraan berdasarkan maklumat tersebut diterima di dalam praktik oleh semua lapisan masyarakat serta oleh supra dan infrastruktur politik waktu itu. Penerimaan itu menjadi kunci bagi keabsahan maklumat No. X dan maklumat Pemerintah tanggal 14 November Tahun 1945 sebagai penciptaan konvensi ketatanegaraan.

B.  Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan Konstitusi RIS 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950.

Dari hasil perundingan Konvensi Meja Bundar (KMB) antara Republik Indonesia, Byeenkomst voor Federal Overleg dan Nederland dihasilkan 3 (tiga) buah persetujuan pokok, yaitu persetujuan-persetujuan tentang:
1.     Didirikan Negara Republi Indonesia Serikat.
2.     Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
3.     Didirikannya Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.

Dengan demikian, penyelenggaraan negara tidak lagi berdasarkan pada UUD 1945, melainkan berdasarkan pada konstitusi RIS, dimana dalam Konstitusi RIS yang dimaksud Pemerintah adalah Presiden dengan seorang atau beberapa menteri yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum. Dalam penyelenggaraan negara presiden berkedudukan sebagai kepala negara sehingga tidak dapat diganggu gugat, tetapi tanggung jawab kebijakan pemerintah ada ditangan menteri, baik secara bersama-sama untuk seluruhnya atau masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

C.  Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan UUD Sementara Tahun 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).

Dalam perjalanan negara antara tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950 ada keinginan dari sebagian rakyat Indonesia agar Indonesia menjadi negara kesatuan kembali. Kemudian negara-negara bagian melakukan perundingan. Dalam perundingan itu diajukan 3 (tiga) alternatif untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu:
1.     Pasal-pasal didalam Konstitusi RIS yang bersifat federalis dihilangkan dan digantu dengan pasal-pasal yang bersifat kesatuan.
2.     Negara kesatuan dibentuk dengan cara meleburkan Negara Republi Indonesia dan Republik Indonesia Serikat.
3.     Negara kesatuan dibentuk dengan cara menggabungkan RIS kedalam ikatan Negara Republik Indonesia.

Dari 3 (tiga) alternatif tersebut, alternatif pertamalah yang akan dipergunakan sebagai ide dasar menuju Negara Kesatuan RepubliK Indonesia. Langkah selanjutnya RIS mengadakan persetujuan dengan negara bagian Rpeublik Indonesia untuk mewujudkan negara kesatuan dengan mengubah konstitusi RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara, kemudian disusul dengan proklamasi pembentukan Negara Kesatuan RI oleh Presiden Soekarno dihadapan sidang Senat dan DPRS di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1950. Selanjutnya naskah UUD Sementara itu diberlakukan secara resmi mulai tanggal 7 Agustus 1950. UUD Sementara Tahun 1950 bersifat mengganti sehingga isinya tidak hanya mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi RIS 1949, tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah baru, dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Berdasarkan pada UUD Sementara Tahun 1950 sistem Pemerintahan yang dianut adalah sistem Parlementer, dimana dalam Pasal 83 UUD Sementara Tahun 1950 menyatakan:
1.     Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
2.     Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.

Demikian  halnya pada Pasal 84 UUDS Tahun 1950 menegaskan sistem Pemerintahan Parlementer, sebab dalam Pasal tersebut dinyatakan, bahwa Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

D.  Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan UUD 1945 (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966).

Bahwa antara 27 Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950 penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia berdasar pada Konstitusi RIS. Kemudian dari 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 penyelenggaraan negara Indonesia berdasar pada UUD Sementara 1950. Berdasar pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945. Sejak saat itu UUD 1945 berlaku lagi sebagai hukum dasar, dari sisi hukum bukan pada persoalan isi dekrit Presiden yang menarik untuk dibahas, justru dekrit Presidenlah yang menarik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 tidak lagi bersifat sementara. Sobirin Malian berpandangan sebaliknya bahwa UUD 1945 tetap bersifat sementara dengan alasan:
1.     Presiden meskipun dalam keadaan darurat bukanlah badan atau lembaga yang berwenang menetapkan UUD 1945.
2.     Secara semantik, dekrit Presiden tentang kembali ke UUD 1945 tidak dapat diartikan Presiden telah menetapkan UUD.
3.     Dengan berlakunya kembali UUD 1945, berarti yang berwenang menetapkan UUD 1945 adalah MPR.

Secara teori sulit untuk menjelaskan posisi dekrit Presiden 5 Juli 1959, jika dari sisi positivistik maka jelas hukum ini justru bertentangan dengan UUD Sementara 1950 waktu itu, yang mengamanatkan Presiden taat pada UUD Sementara Tahun 1950. Pada masa itu Presiden Soekarno berkeinginan untuk menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang kuat, langkah pemberlakuan dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah mementahkan upaya-upaya korektif yang dilakukan oleh konstituante dalam membentuk UUD yang baru.
Dari perspektif hukum progresifpun dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak mempunyai ciri untuk kepentingan manusia Indonesia seutuhnya, dekrit Presiden hanyalah sebagai salah satu produk hukum yang termasuk rule breaking hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, terutama Presiden Soekarno. Sebab dengan produk itu, kekuasaan Presiden Soekarno yang semula hanya sebagai kepala negara, dengan berlakunya UUD 1945 Presiden menjadi kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan Presiden menjadi sangat besar berdasar dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut.
Sidang umum IV MPRS pada Tahun 1966 dengan ketetapan No. XVIII/MPRS/1966 telah menarik kembali ketetapan No. III MPRS/1963 tentang pengangkatan pemimpin besar revolusi menjadi Presiden seumur hidup. Ketetapan penarikan kembali itu disampaikan kepada Presiden/mandataris MPR dengan permintaan maaf. Dalam konsiderannya dikemukakan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1.     Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengenal lembaga Presiden seumur hidup.
2.     Bahwa pengangkatan Presiden seumur hidup adalah prakarsa MPRS sendiri dan sama sekali bukan kehendak Presiden Soekarno.
3.     Bahwa kehendak Presiden Soekarno yang dinyatakan pada waktu menerima ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 dan kemudian ditegaskan dalam pidato Nawaksara, agar pengangkatan tersebut dinilai kembali oleh MPR hasil pemilihan umum, mengandung suasana kebatinan keberatan beliau terhadap pengangkatan tersebut.
4.     Bahwa pengangkatan tersebut harus merupakan tanggung jawab MPRS sendiri, dan tidak tepat jika pertanggung jawaban dibebankan pada MPR hasil pemilihan umum.
5.     Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, perlu meninjau kembali pengangkatan Presiden seumur hidup seperti ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963.

E.   Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan UUD 1945 (11 Maret 1966 – sampai dengan 1998).

Demikian halnya pemerintahan Orde Baru sepanjang kekuasaannya, UUD 1945 menjadi sesuatu yang disakralkan. Sehingga gagasan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 saja sudah dianggap dosa besar dan harus rela menerima hukuman dari penguasa. Satjipto Rahrdjo mencatat pidato Presiden Soeharto sesaat bubarnya pemerintahan Orde Lama, yakni “penyelewangan yang serius atas UUD 1945 adalah memusatnya kekuasaan pada kepala negara. Asas dan sendi kosntitusi dalam praktik bersifat absolutisme. Kekuasaan tertinggi bukan pada MPR(S), tetapi di tangan pemimpin besar revolusi. Presiden bukan tunduk pada MPR(S) tetapi MPR(S) yang ditundukkan pada Presiden”.
Di era Orde Baru ini, konsentrasi penyelenggaraan sistem pemerintahan dan kehidupan demokrasi dititikberatkan pada aspek stabilitas politik  dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, oleh pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto dilakukan upaya-upaya pembenahan sistem ketatanegaraan dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai sejumlah sisi yang menonjol, yaitu:
1.     Adanya konsep dwifungsi ABRI.
2.     Mengutamakan Golongan Karya.
3.     Kekuasaan ditangan eksekutif.
4.     Diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
5.     Kebijakan depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masa mengambang.
6.     Kontrol arbitrer atas kehidupan pers.

Pada awal Orde Baru muncul gagasan untuk menyederhanakan partai politik yang ada. Penyederhanaan itu tidak hanya dalam arti pengurangan jumlah namun juga perombakan sikap dan pola kerja partai politik menuju pada orientasi program. Disamping itu partai-partai politik juga berkewajiban mempunyai asas tunggal yaitu Pancasila. Langkah kongkrit penyederhanaan itu terjadi pada tanggal 9 Maret 1970 yaitu terjadi pengelompokan partai politik yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Kemudian pada tanggal 10 Januari 1970 terbentuklah Partai Persatuan Pembangunan sebagai hasil dari fusi NU, Parmusi, Perti, dan PSII. Diluar 2 (dua) partai politik itu, kemudian muncul golongan-golongan fungsional yang menurut pemerintah belum tertampung dalam partai politik, kemudian membentuk satu golongan tersendiri yang disebut Golongan Karya.
Sejak saat itu, maka pemilihan umum yang diselenggarakan dari Tahun 1971 hingga 1977 selalu dimenangi oleh Golongan Karya, dan pemilihan Presiden selalu dimenangkan oleh Soeharto secara aklamasi. Kondisi ini mengakibatkan adanya 2 (dua) fenomena ketatanegaraan Indonesia, diantaranya:
1.     Sistem ketatanegaraan yang dijalankan pada waktu itu lebih menekankan pada kestabilan politik dan memang berhasil.
2.     Terjadi pemasungan hak-hak poitik bagi warga negara, khususnya dalam hal berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat baik tertulis maupun lisan.

Pemerintah pada masa itu, memanfaatkan kelemahan UUD 1945 yang sangat menguntungkan Presiden. Dimana dalam UUD 1945 kekuasaan Presiden sangat besar (executive heavy), lembaga lainnya kekuasaannya tidak seimbang dalam UUD 1945 yang terdiri dari 37 Pasal itu 13 Pasal mengatur langsung mengenai jabatan Kepresidenan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 22).
Disamping itu, Presiden juga menjalankan kekuasaan peraturan perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan dengan menegakkan hukum (grasi, abolisi, dan amnesti) dan lain sebagainya. Pada masa Orde Baru berkuasa produk hukum dalam bentuk Undang-undang misalnya tentang Pmeilu, susunan dan kedudukan DPR, DPRD, dan MPR, serta partai politik selalu diarahkan untuk kepentingan memperkuat kekuasaa Presiden. Bahkan selama Orde Baru berkuasa format politik tidak demokratis, produk hukum selalu konservatif dengan fungsi positivistik instrumentalistik.
Walaupun kekuasaan Presiden dalam UUD 1945 sangat kuat, namun dilihat dari sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, justru ciri-ciri sistem parlementer terlihat didalamnya, yaitu:
1.     Pertama, Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak berdasarkan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945, anggota MPR yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan golongan.
2.     Kedua, Presiden yang terpilih itu diangkat oleh MPR dan sewaktu-waktu MPR dapat meminta pertanggung jawaban Presiden, sesuai dengan ketentuan mengenai sistem pemerintahan negara yang diatur dalam penjelasan umum UUD 1945. Presiden yang terpilih dan diangkat oleh MPR itu tidak “neben” tetapi “untergeodnet” kepada majelis karena dipilih dan diangkat oleh MPR, maka Presiden juga dapat diberhentikan oleh MPR.
3.     Setiap Undang-undang yang dibentuk harus mendapat persetujuan DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat 1, Pasal 20, Pasal 21 ayat 2, Pasal 22 dan Pasal 23 UUD 1945. Hal ini juga dikelaskan didalam penjelasan umum UUD 1945. Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk Undang-undang dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara. Karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan DPR.

Kenyataannya, selama Orde Baru berkuasa belum ada Undang-undang yang lahir dari inisiatif DPR, semua inisiatif berasal dari eksekutif, DPR tinggal mengesahkan. Sehingga sering muncul sindiran terhadap DPR yang hanya sebagai “tukang stempel”. Terlepas bagaimana bekerjasamanya antara Presiden dan DPR dalam pembentukan Undang-undang satu hal yang perlu dipahami adalah apa yang melatarbelakangi founding fathers dalam merumuskan Pasal 5 ayat 1 UUD 1945, paling tidak ada 3 (tiga) alasan utama yang melatar belakangi rumusan Pasal 5 ayat 1, diantaranya :
1.     Pembentuk UUD pada umumnya terdiri dari pemimpin bangsa yang mengetahui dengan baik teori-teori mengenai pemisahan kekusaan. Ketentuan Pasal 5 ayat 1 mencerminkan pendirian bawha Indonesia merdeka tidak disusun berdasarkan Trias Politika yang memang terbukti. Ketentuan Pasal 5 ayat 1 menunjukkan bahwa adanya kekuasaan bersama dalam pembentukan Undang-undang, tidak sepenuhnya kekuasaan DPR seperti yang dikehendaki oleh ajaran Trias Politika.
2.     Selain menunjukkan kekuasaan bersama, Pasal 5 ayat 1 memberikan kepada Presiden hak inisiatif untuk mengajukan rancangan Undang-undang. Hal ini  berbeda dengan Presiden Amerika Serikat yang juga menjalankan kekuasaan pemerintahan seperti Presiden Republik Indonesia. Konstitusi Amerika Serikat menegaskan bahwa kekuasaan legislatif ada pada congres. Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif, seluruh inisiatif pembuatan Undang-undang ada pada congres.
3.      Dalam pembentukan Undang-undang, sistem UUD 1945 lebih dekat pada sistem negara-negara Eropa. Penyelenggara negara dalam sistem Kontinental tidak didasarkan pada pemisahan kekuasaan, tetapi pada pembagian fungsi, bahkan difusi.

F.   Sistem Pemerintahan Presidensial Berdasarkan pada masa Transisi dari UUD 1945  ke UUD Negara RI Tahun 1945.

Setelah Orde Baru dilengserkan, maka sistem ketatanegaraan Indonesia memasuki era transisi, pada masa ini proses perubahan UUD 1945 dilakukan untuk mendorong terselenggaranya sistem ketatanegaraan yang demokratis. Setelah Presiden Soeharto menyampaikan “pernyataan berhenti” sebagai Presiden berdasar pada Pasal 8 UUD 1945 pada tanggal 21 Mei 1998, pada saat itu pula Wakil Presiden B.J.Habibie disumpah sebagai Presiden.
Pada masa pemerintahan B.J.Habibie yang beralngsung selama 518 hari, berdasar pada Pasal 8 UUD 1945 B.J.Habibie seharusnya menjadi Presiden sama masa jabatan Presiden Soeharto habis, yaitu pada Tahun 2003. Namun karena ada kontroversi tentang sah atau tidaknya B.J.Habibie menggantikan Presiden Soeharto, maka akhirnya masa jabatannya dipercepat dengan perubahan jadwal pemilihan umum yang dipercepat pula.
Dengan perspektif politik hukum, Moh. Mahfud MD mengatakan bahwa UUD 1945 mengandung kelemahan mendasar dalam membangun sistem politik, sehingga melahirkan sistem politik yang tidak demokratis, yaitu:
1.     UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy, karena tidak menentukan batas-batas kekuasaan dan checks and balances secara tegas sehingga kekuasaan menjadi berpusat pada Presiden. Sistem ini sangat rentan dari serangan penyakit laten yang selalu ada pada setiap kekuasaan yaitu kecendrungan untuk korup (power tends to corrupt). Setiap konstitusi yang terlalu longgar dalam arti tidak membuat batas-batas yang tegas atas kekuasaan bisa dierang oleh penyakit korup ini melaluii berbagai manipulasi yang dapat dicarikan pembenaran secara formal.
2.     UUD 1945 terlalu banyak memberikan atribusii kewenangan kepada lembaga legislatf untuk mengatur lagi hal-hal yang penting, tanpa batasan-batasan yang tegas, dalam praktiknya produk legislatif itu lebih banyak ditentukan oleh Presiden melalui froamt politik yang dibangun berdasar kekuasaannya juga didalam bidang legislatif. Banyak hal penting yang oleh UUD 1945 diatribusikan kepada lembaga legislatif untuk diatur lebih lanjut, seperti masalah-masalah HAM, kekuasaan kehakiman, penguasaan negara atas publik domain, yang dalam realisasinya lebih mengakomodasi kehendak-kehendak dan pandangan politik Presiden sendiri.
3.     UUD 1945 memuat Pasal-pasal yang bersifat multi tafsir dalam arti bisa ditafsirkan secara berbeda-beda namun dalam implementasinya tafsir Presidenlah yang harus diterima sebagai kebenaran, masalah masa jabatan Presiden, kemerdekaan lembaga yudikatif dan konsepsi ekonomi kekeluargaan, dapat disebut sebagai contoh materi yang multi tafsir yang pada praktiknya kebenaran penafsiran dimonopoli oleh Presiden.
4.     UUD 1945 bersikap terlalu polos, karena lebih menggantungkan kebaikan negara pada “semangat” penyelenggara negara. Dikatakan bahwa kalimat-kaliat didalam konstitusi tidak akan ada artinya jika penyelenggara negaranya tidak baik. Ini memang benar untuk sebagian tetapi salah untuk sebagian yang lain, sebab penyelenggara negara yang baik akan menjadi jelek jika sistemnya tidak baik atau tidak ketat membuat pembatasan-pembatasan karena bagaimana pun kekuasaan itu memiliki potensi untuk korup. UUD haruslah hadir dengan kecurigaan, bahwa siapapun yang berkuasa akan cenderung korup dan karenanya harus ada pada sistem pembatas kekuasaan yang tegas dan tidak dapat diperluas dengan kehendak sepihak dari penguasa sendiri. Kekuasaan menjadi terpusat pada Presiden, UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada lembaga legislatif untuk mengatur lagi hal-hal penting tanpa batasan yang tegas. Selain hal tersebut menurutnya UUD 1945 bersikap terlalu polos, lebih menggantungkan kepada semangat penyelenggara negara.

Sementara A. Muktie Fadjar menguraikan alasan perlunya UUD 1945 dilakukan perubahan, diantaranya:
1.     Alasan historis, bahwa sejarah pembentukan UUD 1945 didesain oleh pendiri negara (BPUPKI, PPKI) karena dibuat dan ditetapkan secara tergesa-gesa. Seperti yang dikatakan oleh Soekarno, yaitu “...bahwa Undang-Undang Dasar yang baru sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara didalam suasana yang lebih tenteram, kita akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti bahwa ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula inilah revolutieground wet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap”.
2.     Alasan filosofis, bahwa dalam UUD 1945 terdapat percampuran adukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti faham kedaulatan rakyat dan faham integralistik, antara faham negara hukum dan faham negara kesatuan.
3.     Alasan teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi. Keberadaan konstitusi dalam suatu negara hakikatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjol pembatasan kekuasaan tersebut melainkan lebih menonjolkan pengintegrasian.
4.     Alasan yuridis, sebagai lazimnya setiap konstitusi tertulis (UUD) yang selalu memuat adanya klausula perubahan di dalam naskahnya, UUD 1945 juga mencantumkan hal itu dalam Pasal 37, sebab betapapun selalu disadari akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia, termasuk pekerjaan membuat atau menyusun UUD.
5.     Alasan politik praktis, bahwa secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, dalam praktik politik sebenarnya UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan yang menyimpang dari teks aslinya, baik masa 1945-1949 maupun masa 1959-1998, seperti terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari Presidensiil ke sistem Parlementer, penetapan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, ini berarti menyimpang dari UUD 1945.
6.     Susunan UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden (executive heavy) yaitu Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, menjalankan kekuasaan membentuk Undang-undang dan juga berbagai kekuasaan dan hak-hak konstitusional (hak prerogatif) dan Presiden sebagai kepala negara.
7.     UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antara cabang-cabang pemerintahan, sehingga kekuasaan Presiden sangat dominan.
8.     UUD 1945 memuat ketentuan yang deskriminatif, seperti memuat ketentuan mengenai Presiden harus orang Indonesia asli.
9.     UUD 1945 tidak memuat ketentuan tentang batas waktu pengesahan rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh Presiden dan DPR.
10.  Keberadaan penjelasan UUD 1945 menimbulkan persoalan teoritis (ketidaklaziman UUD mempunyai penjelasan) dan yuridis (tidak termasuk disahkan oleh PPKI, meskipun kemudian termuat dalam dekrit Presiden) serta materi muatannya yang tidak selalu konsisten atau bahkan rancu dengan pengaidahan dalam batang tubuh.

Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Tahun 1999 hingga Tahun 2002. Pada sidang tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu :
1.     Sepakat untuk tidak mengubah pembukaan UUD 1945.
2.     Sepakat untuk mempertahankan bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.     Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil).
4.     Sepakat untuk mempertahankan hal-hal normatif yang ada dalam penjelasan UUD 1945 kedalam Pasal-pasal UUD 1945.
5.     Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Masa transisi ini ditandai dengan pencabutan berbagai peraturan perundang-undangan  yang menghambat proses demokrasi. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengalami perubahan atau penggantian bahkan pencabutan, antara lain:
1.     Ketetapan MPR No. IV tentang Referendum.
2.     Undang-undang No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
3.     Undang-undang di bidang politik (Undang-undang pemilu, Undang-undang partai politik, dan Undang-undang Susduk MPR/DPR/DPRD) diganti dengan Undang-undang yang lebih membuka partisipasi masyarakat dan hak berpolitik.
4.     Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan daerah yang sangat sentralistik.

Periode transisi dilanjutkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid yang memenangi pemilihan Presiden oleh MPR pada Tahun 1999, pemilihan Presiden pada masa ini dirasa lebih demokratis dibanding sebelumnya, sebab anggota MPR menggunakan hak suaranya untuk menentukan Presiden pilihannya. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada periode ini menggunakan dasar Tap MPR No. VI/MPR/1999 tentang tata cara pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Tata cara pemilihan Presiden yang dilakukan oleh MPR dengan memilih Presiden terlebih dahulu (tidak dalam satu paket pemilihan) dan setelah Presiden terpilih kemudian dilakukan pemilihan Wakil Presiden.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, ada upaya pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden melalui Keputusan Presiden No. 121 Tahun 2000. Sikap Presiden Abdurrahman Wahid dinilai oleh Mahfud M.D sebagai langkah tepat baik secara politik maupun secara konstitusional. Secara politik dapat dikatakan bahwa Presiden melakukan pengalihan kekuasaan itu berdasarkan kekuasaannya sendiri dan bukan dipaksa sepihak oleh MPR. Tindakan tersebut juga dapat dibenarkan secara konstitusional, sebab yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid bukan memisahkan atau melepaskan kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden melainkan menugaskan kepada Wakil Presiden dengan masih tetap dibawah tanggung jawab Presiden sendiri.
Dari bulan Oktober 1999 sampai dengan Mei 2001 pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ketatanegaraan yang berlangsung waktu itu cukup dinamis penuh dengan kejutan-kejutan politik: misalnya pembubaran departemen sosial dan departemen penerangan, pergantian 19 menteri, menolak pengangkatan ketua Mahakamah Agung yang diusulkan oleh DPR. Pengangkatan ini sesungguhnya merupakan peran Presiden selaku kepala negara, yang bersifat administratif saja. Sehingga siapapun yang diajukan oleh DPR Presiden mestinya menyetujuinya.
Beberapa peristiwa yang cukup menyita perhatian publik pada masa transisi ini adalah :
1.     Pada bulan November 1999, Presiden mengumumkan pengunduran diri Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Hamzah Haz).
2.     Pada bulan Januari 2000, Presiden mencanangkan pergantian Gubernur Bank Indonesia, tetapi Gubernur Bank Indonesia tidak mau mundur karena masa jabatannya sampai akhir Tahun 2003, sesuai dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
3.     Pada bulan Januari 2000, Sekretaris Negara (Ali Rahman) meletakkan jabatan.
4.     Pada bulan April 2000, Presiden memberhentikan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembina BUMN (Laksamana Sukardi), dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Jususf Kalla).
5.     Pada bulan Juli 2001, tanpa persetujuan DPR memberhentikan Kapolri (Jenderal Bimantoro) dan mengangkat Wakapolri sebagai pelaksana tugas Kapolri (Chaeruddin Ismail).
6.     Konflik Presiden dengan DPR, dimana dalam kasus buloggate dan bruneigate. Keterangan yang disampaikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dalam memorandum pertama ditolak oleh mayoritas anggota DPR. Memorandum kedua tetap ditolak oleh mayoritas anggota DPR. Dalam situasi politik yang seperti itu, konflik politik antara DPR dan Presiden menjadi tajam. Dalam situasi yang semakin terjepit dan kelanjutan kekuasaannya terancam, Presiden Abdurrahman Wahid lalu mengambil langkah politik mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001 yang pada intinya Presiden membekukan DPR dan MPR dan akan segera menyelenggarakan pemilihan umum. Langkah politik itu dibalas oleh mayoritas anggota DPR dengan tidak mengakui maklumat Presiden tersebut dan melakukan memorandum ketiga yang dipercepat dengan agenda mencabut mandat terhadap Presiden.

Sikap MPR terhadap maklumat Presiden 23 Juli 2001 yang membekukan MPR dan DPR dianggap telah melampaui batas kewenangan Presiden dan melanggar GBHN dalam Pasal 1 Tap MPR No. I/MPR/2001 tentang sikap MPR RI terhadap maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001. Adapun sebagai pertimbanagn pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dalam Tap MPR No. II/MPR/2001 adalah sebagai berikut:
1.     Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR, tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
2.     Pertanggungjawaban Presiden dapat diberikan pada akhir amsa jabatan atau dalam masa jabatan dihadapan sidang istimewa MPR yang khusus diadakan untuk itu.
3.     Anggota DPR adalah anggota MPR, sehingga DPR berkewajiban untuk mengawasi tindakan Presiden dalam pelaksanaan GBHN.
4.     Apabila DPR menganggap Presiden sungguh melanggar haluan negara, maka DPR dapat meminta MPR mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggung jawaban Presiden.
5.     DPR telah meminta MPR untuk mengadakan sidang Istimewa untuk meminta pertanggung jawaban Presiden Abdurrahaman Wahid, melalui Keputusan No. 51/DPR-RI/IV/2000-2001, yang menyatakan Presiden Abdurrahman Wahid tidak mengindahkan memorandum kedua DPR, yang isinya menganngap Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara, yaitu melanggar Pasal 9 tentang sumpah jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
6.     Presiden Abdurrahman Wahid telah melakukan tindakan yang melanggar haluan negara untuk menghambat proses konstitusional, tidak bersedia hadir dan menolak memberikan pertanggungjawaban kepada sidang Istimewa MPR.
7.     Presiden Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001 yang merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Sebenarnya oleh MPR telah diagendakan diselenggarakan memorandum II pada tanggal 1 Agustus 2001, namun sebelum tanggal itu, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001, hal ini yang mendorong diselenggarakannya sidang Istimewa MPR.

Dengan diberhentikannya Presiden Abdurrahman Wahid, maka berdasar pada Pasal 8 ayat 1 UUD Negara RI 1945, yaitu “jika Preside mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Kemudian melalui Tap MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid sampai habis masa jabatannya. Kemudian MPR menyelenggarakan pemilihan untuk Wakil Presiden yang dimenangi oleh Hamzah Haz, yang selanjutnya ditetapkan sebagai Wakil Presiden  berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/2001 tentang pengangkatan Wakil Presiden.
Pada masa pemerintahan Megawati tidak muncul persoalan serius terutama hubungannya antara Presiden dan DPR. Persoalan ketatanegaraan yang cukup menarik adalah perlu tidaknya Presiden menyampaikan laporan tahunan dihadapan MPR. Sebab pada Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden proses perubahan UUD 1945 telah selesai. Ketentuan pertanggungjawaban Presiden menjadi hapus, karena Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR.
Fraksi Partai Demorkasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tidak menginginkan ada pertanggungjawaban Presiden, karena MPR hasil perubahan UUD 1945 tidak mempunyai wewenang meminta pertanggungjawaban Presiden. Fraksi ini menghendaki, sidang MPR 2004 hanya mendengar pidato Presiden tentang pelaksanaan GBHN  dan putusan MPR lainnya.
Sementara itu, kelompok lain tetap menghendaki ada pertanggung jawaban Presiden yang berujung diterima atau tidaknya pertanggungjawaban Presiden. Hasil kompromi politik terhadap masalah ini diketemukan jalan tengah, yakni pada sidang Tahunan MPR Tahun 2004, dengan mengganti kata-kata yang semula MPR menilai laporan pertanggungjawaban Presiden, menjadi MPR “menanggapi” laporan tahunan Presiden.
Berikut ini digambarkan perbedaan sistem pemerintahan presidensiil, berdasarkan Undang-Undang Dasar dari masa awal kemerdekaan, hingga yang terkini pada masa transisi, yaitu:

Awal Kemerdekaan
Orde Lama        (1959-1966)
Orde Baru (1966-1999)
Masa Transisi  (1998-amandemen UUD)
1.   Terjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden.
1.  Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar.
1.   Kekuasaan Presiden sangat besar.
1.   Terjadi penguatan kedudukan DPR.
2.   Pengurangan kekuasaan Presiden dengan adanya maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945.
2.   Terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945, antara lain:
a.      Bentuk dan substansi peraturan perundang-undangan.
b.     Pembekuan DPR hasil pemilu Tahun 1955.
c.      Pembentukan DPR GR oleh Presiden
d.     Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.
2.     DPR hanya sebagai lembaga yang memberi persetujuan terhadap kebijakan Presiden dalam membentuk UU.
2.   Terjadi konflik antara DPR dan Presiden.
3.   Terjadi perubahan sistem pemerintahan dari Presidensil ke Parlementer
3.   Tidak adanya Checks and Balances.
3.   UU menjadi alat legitimasi Presiden.
3.   Presiden diberhentikan ditengah masa jabatannya melalui sidang MPR pada Tahun 2001.

4.   Tidak adanya kontrol DPR terhadap Presiden.
4.   Presiden menyatakan berhenti sebagai Presiden akibat desakan gerakan mahasiswa.


5.   Presiden diberhentikan melalui sidang Istimewa MPRS pada Tahun 1966.



Berdasarkan pada doktrin trias politika yang diajukan oleh Montesquie, bahwa sistem pemerintahan disenlenggarakan berdasar ada separation of power, yang dikenal dengan sistem pemerintahan presidensial, maka sistem pemerintahan presidensil yang diatur dalam UUD Negara RI 1945 belum menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan sebagaimana mestinya prinsip sistem pemerintahan presidensil dalam ciri-ciri sistem pemerintahan presidensil murni. Oleh karenanya, sebaiknya ada perubahan yang mendasar, diantaranya:
1.     Kekuasaan legislatif yang seimbang antara DPR dan DPD.
2.     Hak Veto Undang-undang oleh Presiden.
3.     Pengaturan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

4.     Mekanisme pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar