Selasa, 24 Juli 2012

Pernikahan Lintas Agama dan Kewarganegaraan


Perkawinan antar agama dan kewarganegaraan yang berbeda

A.  Pengertian dan pengaruh perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilangsungkan antara laki-laki/perempuan muslim dengan laki-laki/perempuan non muslim.[1]
Pengaruh perkawinan beda agama[2] :
1.   Hubungan keluarga tidak harmonis, kebahagian rumah tangga harus dimulai dari awal, pintunya adalah perkawinan, agar suami isteri mempunyai dasar hidup yang sama, agama yang sama, sejak dilangsungkan perkawinan.
2.   Masalah pendidikan bagi anak-anak, pada umumnya orangtua memberikan tekanan kepada si anak agar memeluk agama yang dianut oleh salah satu orangtuanya.
3.   Pengaruh terhadap kewarisan.
4.   Pengaruh terhadap kerukunan hidup beragama, nikah lintas agama diyakini bertentangan dengan agama, sudah barang tenu akan menimbulkan reaksi dari masyarakat dan akan menimbulkan ketegangan dikalangan penganut agama.

B.  Perkawinan beda agama dalam pandangan islam.

Mengenai perkawinan lintas agama, islam telah mengaturnya dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah : 221, yang artinya : “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik sampai ia beriman”, dan surat Al-Mumtahanah : 10, yang artinya : “Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir”, dan surat Al-Maidah : 5, yang artinya : “Dihalalkan mengawini wanita yang beriman dan wanita ahlul kitab yang baik-baik”.
Menurut Al-Qur`an pada surat Al-Baqarah : 221 dan surat Al-Mumtahanah : 10 tersebut, pria/wanita muslim dilarang kawin dengan wanita/pria musyrik dan kafir, sebab illatnya menurut surat Al-Baqarah : 221 “Orang musyrik dan kafir itu membawa kamu keneraka sedang Allah akan membawa kamu ke surga dan ampunan”. Kemudian pada surat Al-Maidah : 5 yang artinya : “Dihalalkan mengawini wanita yang beriman dan wanita ahlul kitab yang baik-baik”. Allah memberi dispensasi kepada pria muslim untuk menikahi ahl kitab yakni wanita yahudi dan nasrani. Hak atau kewenangan itu dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan oleh pria muslim tergantung pada situasi dan kondisinya. Hak tersebut tidak boleh ditafsirkan berdasarkan keinginan baik perorangan maupun kelompok dengan menyatakan bahwa izin yang secara eksplisit diberikan kepada pria muslim itu secara implisit diberikan pula pada wanita muslim untuk nikah dengan pria non muslim, karena pada surat Al-Maidah : 5 itu dengan jelas dinyatakan bahwa dispensasi itu hanya diberikan kepada pria muslim tidak kepada wanita muslim[3].

Karena dampak negative perkawinan lintas agama maka Umar bin Khattab, khalifah kedua, melarang pria muslim menikah dengan wanita ahl kitab. Dan karena pertimbangan sejenis pula untuk kepentingan umat islam di Indonesia pula, Majelis Ulama Indonesia pada 1 Juni 1980 mengeluarkan fatwa, mengharamkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim[4].

C. Perkawinan beda agama dalam hukum nasional

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 40 dirumuskan dengan jelas larangan perkawinan antara orang yang berbeda agama dengan kata-kata sebagai beerikut “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan ( C ) seorang wanita yang tidak beragama islam”. Artinya seorang pria muslim dilarang kawin dengan seorang wanita yang tidak beragama islam. Pada pasal 44 dijumpai pula rumusan berikut “ Seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam”[5].
Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang islam kawin dengan orang yang bukan islam, tanpa membedakan laki atau perempuan dan tanpa mengklasifikasikan antara musyrik dan kitabiyah[6].
Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan pendapat jumhur yang menghalalkan orang islam kawin dengan wanita kitabiyah. Disini Kompilasi Hukum Islam terlihat menonjolkan kaidah Syaddu Al-Dzari`ah (menutup peluang). Kaitannya dengan nikah lintas agama adalah melarang sesuatu hal yang dibolehkan atau dihalalkan, dimana terdapat resiko tinggi karena dapat menimbulkan kerusakan yang fatal. Sikap Kompilasi Hukum Islam arahnya kepada kehati-hatian sungguhpun halalnya mengawini kitabiyah itu diakui oleh zumhur dan sebagian para sahabat. Kompilasi Hukm Islam sejalan pula dengan kebijakan Umar bin Khattab dimana ia memerintahkan para sahabat untuk menceraikan isterinya yang tidak beragama islam (seperti isteri Huzaifah yang beragama yahudi)[7].

D. Perkawinan Campuran ( Kewarganegaraan yang berbeda ).

Dengan berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pencatatan perkawinan campuran didasarkan pada Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan  pada pasal 59 ayat 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini”[8].
Perkawinan campuran yang dilakukan menurut agama islam, pencatatannya harus dilakukan oleh pegawai pencatat nikah pada kantor urusan agama, sedang perkawinan campuran yang dilakukan tidak menurut agama islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat pada kantor catatan sipil[9].
Perkawinan campuran  tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi (pasal 60 ayat 1).
Perkawinan dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warga Negara Indonesia atau seorang warga Negara Indonesia dengan seorang warga Negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan[10].
Dalam waktu satu tahun setelah suami isteri kembali kewilayah Indonesia surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan dikantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka demikian (pasal 56 UU No1 Tahun 1974 tentang perkawinan)[11].









Daftar Pustaka

Al-Qur`an al karim.

Djalil, A Basiq, Pernikahan Lintas Agama, Qalbun Salim, Jakarta, 2005

Kompilasi Hukum Islam.



[1]  A Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama.
[2]  Ibid., h. 165
[3]  Ibid., h. 35
[4]  Ibid., h. 37
[5]  Kompilasi Hukum Islam.
[6]  A Basiq Djalil, Op. cit., h. 145
[7]  Ibid., h. 146
[8]  Ibid., h. 152
[9]  Ibid., h. 154
[10] Ibid., h. 158
[11] Ibid., h. 159

Tidak ada komentar:

Posting Komentar