Perkawinan
antar agama dan kewarganegaraan yang berbeda
A. Pengertian dan pengaruh perkawinan
beda agama.
Perkawinan
beda agama adalah perkawinan yang dilangsungkan antara laki-laki/perempuan
muslim dengan laki-laki/perempuan non muslim.[1]
Pengaruh
perkawinan beda agama[2] :
1.
Hubungan keluarga tidak
harmonis, kebahagian rumah tangga harus dimulai dari awal, pintunya adalah
perkawinan, agar suami isteri mempunyai dasar hidup yang sama, agama yang sama,
sejak dilangsungkan perkawinan.
2.
Masalah pendidikan bagi anak-anak,
pada umumnya orangtua memberikan tekanan kepada si anak agar memeluk agama yang
dianut oleh salah satu orangtuanya.
3.
Pengaruh terhadap kewarisan.
4.
Pengaruh terhadap kerukunan
hidup beragama, nikah lintas agama diyakini bertentangan dengan agama, sudah barang
tenu akan menimbulkan reaksi dari masyarakat dan akan menimbulkan ketegangan
dikalangan penganut agama.
B. Perkawinan beda agama dalam pandangan
islam.
Mengenai
perkawinan lintas agama, islam telah mengaturnya dalam Al-Qur`an surat
Al-Baqarah : 221, yang artinya : “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik
sampai ia beriman”, dan surat Al-Mumtahanah : 10, yang artinya : “Janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir”,
dan surat Al-Maidah : 5, yang artinya : “Dihalalkan mengawini wanita yang
beriman dan wanita ahlul kitab yang baik-baik”.
Menurut
Al-Qur`an pada surat Al-Baqarah : 221 dan surat Al-Mumtahanah : 10 tersebut, pria/wanita muslim
dilarang kawin dengan wanita/pria musyrik dan kafir, sebab illatnya menurut surat Al-Baqarah : 221
“Orang musyrik dan kafir itu membawa kamu keneraka sedang Allah akan membawa
kamu ke surga dan ampunan”. Kemudian pada surat
Al-Maidah : 5 yang artinya : “Dihalalkan mengawini wanita yang beriman dan
wanita ahlul kitab yang baik-baik”. Allah memberi dispensasi kepada pria
muslim untuk menikahi ahl kitab yakni wanita yahudi dan nasrani. Hak atau
kewenangan itu dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan oleh pria muslim
tergantung pada situasi dan kondisinya. Hak tersebut tidak boleh ditafsirkan
berdasarkan keinginan baik perorangan maupun kelompok dengan menyatakan bahwa
izin yang secara eksplisit diberikan kepada pria muslim itu secara implisit
diberikan pula pada wanita muslim untuk nikah dengan pria non muslim, karena
pada surat Al-Maidah
: 5 itu dengan jelas dinyatakan bahwa dispensasi itu hanya diberikan kepada
pria muslim tidak kepada wanita muslim[3].
Karena
dampak negative perkawinan lintas agama maka Umar bin Khattab, khalifah kedua,
melarang pria muslim menikah dengan wanita ahl kitab. Dan karena pertimbangan
sejenis pula untuk kepentingan umat islam di Indonesia pula, Majelis Ulama
Indonesia pada 1 Juni 1980 mengeluarkan fatwa, mengharamkan perkawinan
laki-laki muslim dengan wanita non muslim[4].
C. Perkawinan
beda agama dalam hukum nasional
Dalam
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 40 dirumuskan dengan jelas larangan perkawinan
antara orang yang berbeda agama dengan kata-kata sebagai beerikut “Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan ( C ) seorang wanita yang
tidak beragama islam”. Artinya seorang pria muslim dilarang kawin dengan
seorang wanita yang tidak beragama islam. Pada pasal 44 dijumpai pula rumusan
berikut “ Seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama islam”[5].
Kedua
pasal tersebut sejalan yakni melarang orang islam kawin dengan orang yang bukan
islam, tanpa membedakan laki atau perempuan dan tanpa mengklasifikasikan antara
musyrik dan kitabiyah[6].
Dalam
hal ini Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan pendapat jumhur yang menghalalkan
orang islam kawin dengan wanita kitabiyah. Disini Kompilasi Hukum Islam
terlihat menonjolkan kaidah Syaddu Al-Dzari`ah (menutup peluang).
Kaitannya dengan nikah lintas agama adalah melarang sesuatu hal yang dibolehkan
atau dihalalkan, dimana terdapat resiko tinggi karena dapat menimbulkan
kerusakan yang fatal. Sikap Kompilasi Hukum Islam arahnya kepada kehati-hatian
sungguhpun halalnya mengawini kitabiyah itu diakui oleh zumhur dan sebagian
para sahabat. Kompilasi Hukm Islam sejalan pula dengan kebijakan Umar bin
Khattab dimana ia memerintahkan para sahabat untuk menceraikan isterinya yang
tidak beragama islam (seperti isteri Huzaifah yang beragama yahudi)[7].
D.
Perkawinan Campuran ( Kewarganegaraan yang berbeda
).
Dengan
berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pencatatan
perkawinan campuran didasarkan pada Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 59 ayat 2 Undang-undang No 1 Tahun
1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan campuran yang dilakukan
di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini”[8].
Perkawinan
campuran yang dilakukan menurut agama islam, pencatatannya harus dilakukan oleh
pegawai pencatat nikah pada kantor urusan agama, sedang perkawinan campuran
yang dilakukan tidak menurut agama islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai
pencatat pada kantor catatan sipil[9].
Perkawinan
campuran tidak dapat dilangsungkan
sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi (pasal 60 ayat 1).
Perkawinan
dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warga Negara Indonesia atau
seorang warga Negara Indonesia dengan seorang warga Negara asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara mana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga Negara Indonesia tidak melanggar
ketentuan-ketentuan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan[10].
Dalam
waktu satu tahun setelah suami isteri kembali kewilayah Indonesia surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan dikantor pencatatan perkawinan tempat
tinggal mereka demikian (pasal 56 UU No1 Tahun 1974 tentang perkawinan)[11].
Daftar
Pustaka
Al-Qur`an al karim.
Djalil,
A Basiq, Pernikahan Lintas Agama, Qalbun Salim, Jakarta , 2005
Kompilasi
Hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar