Penghapusan
dan Penghilangan Perbuatan Pidana (Ps 44 s/d Ps 51 KUHP)
A. Pengertian
penghapusan pidana.
Menurut
Van Bemmelen, kadang kala sulit untuk membedakan apakah itu merupakan dasar
peniadaan pidana, karena istilah yang dipakai oleh pembuat undang-undang tidak
selalu jelas[1].
Kadang
kala sulit memastikan apakah kita berurusan dengan dasar penghapusan tuntutan
atau dengan dasar penghapusan pidana karena terminology pembuat undang-undang
tidak selalu jelas. Kadang-kadang terminology itu berbunyi, bahwa suatu
peraturan pidana tidak berlaku dalam keadaan tertentu yang disebutkan, yang
menyatakan adanya dasar penghapusan tuntutan (penuntut umum sesungguhnya tidak
boleh memakai peraturan itu, jadi tidak boleh melakukan tuntutan), sedangkan
maksud pembuat undang-undang hanyalah melarang hakim menjatuhkan pidana dalam
peristiwa tsb[2].
B. Alasan-alasan
penghapusan pidana.
Dalam
teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini
dibeda-bedakan menjadi[3] :
1.
Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan
yang patut dan pembenar.
2.
Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.
3.
Alasan Penghapusan penuntutan, disini soalnya bukan ada alasan pembenar maupun
alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun
sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa
atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan
penuntutan, yang menjadi pertimbangan disini adalah kepentingan umum.
C. Dasar dan cara
pembagian penghapusan Pidana
Adapun
dasar-dasar penghapusan perbuatan Pidana adalah[4] :
1.
Tidak sanggup bertanggung
jawab.
(Ps 44 KUHP “(1) Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang
tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.(2) Jika nyata perbuatan itu
tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akalnya hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah
sakit selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa (3) Yang ditentukan dalam ayat
yang di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri”.)
2.
Daya paksa.
(Ps 48 KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan Karena terpaksa
oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat
dihindarkan tidak boleh dihukum” ).
3.
Pembelaan terpaksa.
(Ps 49 KUHP “ (1) Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa
dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan
kehormatannya atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada
serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak
boleh dihukum” ).
4.
Pembelaan terpaksa yang
melampaui batas.
(Ps 49 ayat 2 KUHP “Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu,
jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan
tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”).
5.
Perintah jabatan yang diberikan
penguasa yang berwenang.
(Ps 51 KUHP “(1) Barang siapa
melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh
kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum”).
6.
Perintah jabatan yang diberikan
penguasa yang tidak berwenang, jika yang diperintah dengan i`tikad baik mengira
bahwa perintah itu diberikan dengan berwenang dan pelaksanaannya termasuk dalam
lingkungan pekerjaannya.
(Ps 51 ayat 2 KUHP “ Perintah
jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari
hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang
bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan
menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah
tadi”).
7.
Hak mendidik dari orang tua,
wali atau guru.
8.
Hak jabatan dari dokter, juru
obat dan bidan.
9.
Ada izin dari orang
yang dirugikan.
10.Mewakili
urusan orang lain.
11.Tidak
adanya pelanggaran Hukum Material.
12.Tidak
adanya kesalahan sama sekali.
13.Dasar
penghapusan pidana putatief.
Dasar
penghapusan pidana dapat dibagi dengan 3 cara[5] :
1.
Bersetujuan dengan diumumkannya
atau tidak dalam Undang-undang.
2.
Bersesuaian dengan sebab-sebab
rohaniah atau lahiriah tidak dapat dipertanggungjawabkannya suatu perbuatan
terhadap si pelaku.
3.
Apakah dasar itu merupakan
suatu pembenaran dari perbuatan yang dituntutkan (dasar pembenaran) atau
menghapus kesalahan bagi si pelaku (dasar penghapusan kesalahan).
Daftar
Pustaka
Bemmelen, J.M.van,
Hukum Pidana 1, Binacipta, Bandung ,
1987
Hamzah, Andi, Asas-Asas
Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta ,
1994
Moeljatno, Asas-Asas
Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta ,
2002
Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Politeia, Bogor , 1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar