Selasa, 24 Juli 2012

Penghapusan dan Penghilangan Perbuatan Pidana


Penghapusan dan Penghilangan Perbuatan Pidana     (Ps 44 s/d Ps 51 KUHP)

A. Pengertian penghapusan pidana.
Menurut Van Bemmelen, kadang kala sulit untuk membedakan apakah itu merupakan dasar peniadaan pidana, karena istilah yang dipakai oleh pembuat undang-undang tidak selalu jelas[1].
Kadang kala sulit memastikan apakah kita berurusan dengan dasar penghapusan tuntutan atau dengan dasar penghapusan pidana karena terminology pembuat undang-undang tidak selalu jelas. Kadang-kadang terminology itu berbunyi, bahwa suatu peraturan pidana tidak berlaku dalam keadaan tertentu yang disebutkan, yang menyatakan adanya dasar penghapusan tuntutan (penuntut umum sesungguhnya tidak boleh memakai peraturan itu, jadi tidak boleh melakukan tuntutan), sedangkan maksud pembuat undang-undang hanyalah melarang hakim menjatuhkan pidana dalam peristiwa tsb[2].

B. Alasan-alasan penghapusan pidana.
Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini dibeda-bedakan menjadi[3] :
1. Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan pembenar.
2. Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.
3. Alasan Penghapusan penuntutan, disini soalnya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan, yang menjadi pertimbangan disini adalah kepentingan umum.

C. Dasar dan cara pembagian penghapusan Pidana
Adapun dasar-dasar penghapusan perbuatan Pidana adalah[4] :
1.   Tidak sanggup bertanggung jawab.
(Ps 44 KUHP “(1) Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.(2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akalnya hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa (3) Yang ditentukan dalam ayat yang di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri”.)
2.   Daya paksa.
(Ps 48 KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan Karena terpaksa oleh  sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum” ).
3.   Pembelaan terpaksa.
(Ps 49 KUHP “ (1) Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatannya atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum” ).
4.   Pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
(Ps 49 ayat 2 KUHP “Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”).
5.   Perintah jabatan yang diberikan penguasa yang berwenang.
 (Ps 51 KUHP “(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum”).
6.   Perintah jabatan yang diberikan penguasa yang tidak berwenang, jika yang diperintah dengan i`tikad baik mengira bahwa perintah itu diberikan dengan berwenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
 (Ps 51 ayat 2 KUHP “ Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah tadi”).
7.   Hak mendidik dari orang tua, wali atau guru.
8.   Hak jabatan dari dokter, juru obat dan bidan.
9.   Ada izin dari orang yang dirugikan.
10.Mewakili urusan orang lain.
11.Tidak adanya pelanggaran Hukum Material.
12.Tidak adanya kesalahan sama sekali.
13.Dasar penghapusan pidana putatief.

Dasar penghapusan pidana dapat dibagi dengan 3 cara[5] :
1.   Bersetujuan dengan diumumkannya atau tidak dalam Undang-undang.
2.   Bersesuaian dengan sebab-sebab rohaniah atau lahiriah tidak dapat dipertanggungjawabkannya suatu perbuatan terhadap si pelaku.
3.   Apakah dasar itu merupakan suatu pembenaran dari perbuatan yang dituntutkan (dasar pembenaran) atau menghapus kesalahan bagi si pelaku (dasar penghapusan kesalahan).












Daftar Pustaka

Bemmelen, J.M.van, Hukum Pidana 1, Binacipta, Bandung, 1987

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002

Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor,      1980



[1]  Andi Hamzah, Asas-asas hukum pidana
[2]  Mr. J.M.van Bemmelen, Hukum pidana 1
[3]  Moeljatno, Asas-asas hukum pidana
[4]  Mr. J.M.van Bemmelen, Op. cit., h. 174
[5]  Ibid., h. 175

Tidak ada komentar:

Posting Komentar