Selasa, 24 Juli 2012

Menikah Ketika Ihram


A.   Pendahuluan

Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada makhluknya, sesuai dengan firman Allah dalam QS. Adz-zariyat : 49, yang artinya “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”.
Dalam ajaran islam semua telah diatur sedemikian rupa tidak terkecuali hal-hal yang menyangkut pernikahan. Semua itu tidak lain bertujuan untuk kemaslahatan manusia sendiri. Oleh karena itu pernikahan dalam islam banyak syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.

B.   Pembahasan

Ada beberapa pandangan ulama mazhab mengenai pendapat yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi dalam ihram, khususnya tentang pernikahan yang dilakukan ketika ihram.
Pandangan serta pendapat ulama tersebut diantaranya :
1.   Pendapat pertama yaitu pendapat yang tidak boleh menikah ketika ihram, diantaranya : Imam Syafi`I, al laits, al auzai, Umar bin Khattab serta Ali bin Abi Thalib, mereka menggunakan dalil yang menguatkan pendapat mereka, yaitu[1] :
عن عثما ن رضى الله عنه عن ا لنبي صلى الله عليه وسلم قال : لاينكح المحرم ولاينكح ولايخطب
:Artinya :
Dari Usman r.a. dari nabi saw, beliau bersabda : “orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak pula boleh meminang”. (H.R Muslim).

Alasan-alasan yang dapat di ambil dari pendapat yang pertama ini bahwasanya, hakikat/dasar pernikahan bagi Imam Syafi`I adalah الوطء (bercampur), maka bercampur ini juga menjadi  salah satu larangan dalam berihram, yang mana ketika sedang berihram tidak diperbolehkannya untuk bersenggama, hal ini sejalan dengan QS. Al-Baqarah : 197 yang artinya : “…Barang siapa mengerjakan ibadah haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji…”. Dengan demikian karena hakikat pernikahan itu sendiri menurut Imam Syafi`I adalah bercampur maka ia melarang melakukan pernikahan yang dilakukan ketika ihram.

Agama melarang dan mengharamkan beberapa hal bagi orang yang berihram, diantaranya : melangsungkan akad pernikahan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, sebagai wakil atau menjadi wakil. Dengan begitu, akad menjadi batal, hingga tidak membawa akibat hukum[2].
Begitu juga  sebaliknya, dalam hal ini halangan-halangan nikah, di antaranya : ketika berihram (mani` ihram) seperti di ungkapkan “para muhrim tidak sah bernikah dan tidak sah menikahkan[3]
Akibat hukum yang terjadi ketika seseorang melakukan pernikahan ketika sedang berihram, sama dengan batalnya haji karena bersenggama, hal ini juga dijelaskan oleh Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab dan Abu Hurairah r.a. mereka memberikan fatwa mengenai seorang laki-laki yang mencampuri istrinya ketika ia sedang ihram mengerjakan haji. Mereka berkata “Hendaknya mereka berdua terus mengerjakan haji hingga selesai, kemudian mereka wajib menunaikan haji lagi tahun depan, disamping wajib pula menyembelih kurban”[4].
2.   Pendapat kedua yaitu pendapat yang membolehkan melakukan pernikahan ketika ihram, di antranya : Imam Hanafi, dan serta ats-Sauti, mereka menggunakan dalil yang dapat menguatkan pendapat mereka, yaitu[5] :
ان رسول الله صلى الله عليه و سلم نكح ميمو نت وهو محرم
:Artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah kawin dengan Maimunah pada hal beliau sedang melakukan ihram”.

Alasan-alasan yang dapat di ambil dari pendapat yang kedua ini bahwasanya, hakikat/dasar pernikahan bagi Imam Hanafi adalah العقد (aqad), maka karena aqad bukan menjadi salah satu larangan dalam berihram, maka Imam Hanafi mengizinkan pernikahan. Dengan demikian karena hakikat pernikahan itu sendiri menurut Imam Hanafi adalah aqad maka ia membolehkan melakukan pernikahan ketika berihram.














Daftar Pustaka

Hasbi Ah-Siddiqie, Teungku Muhammad, Hukum-hukum Fiqh Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001

Mas`ud, Ibn, Fiqh Madzhab Syafi`I, Pustaka Setia, Bandung, 2000

Rusyd, Ibn, Bidayatul Mujtahid, Asy-Syifa, Semarang, 1990

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006



[1]  Ibn Mas`ud, Fiqh Madzhab Syafi`i
[2]  Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah
[3]  Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddiqie, Hukum-hukum Fiqh Islam
[4]  Sayid Sabiq, Op.Cit., h. 368
[5]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar