A.
Pendahuluan
Pernikahan
merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada makhluknya, sesuai dengan
firman Allah dalam QS. Adz-zariyat : 49, yang artinya “dan segala sesuatu
kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”.
Dalam
ajaran islam semua telah diatur sedemikian rupa tidak terkecuali hal-hal yang
menyangkut pernikahan. Semua itu tidak lain bertujuan untuk kemaslahatan
manusia sendiri. Oleh karena itu pernikahan dalam islam banyak syarat-syarat
dan ketentuan yang harus dipenuhi.
B.
Pembahasan
Ada
beberapa pandangan ulama mazhab mengenai pendapat yang berkaitan dengan
permasalahan yang terjadi dalam ihram, khususnya tentang pernikahan yang
dilakukan ketika ihram.
Pandangan
serta pendapat ulama tersebut diantaranya :
1.
Pendapat
pertama yaitu pendapat yang tidak boleh menikah ketika ihram,
diantaranya : Imam Syafi`I, al laits, al auzai, Umar bin Khattab serta Ali bin
Abi Thalib, mereka menggunakan dalil yang menguatkan pendapat mereka, yaitu[1] :
عن
عثما ن رضى الله عنه عن ا لنبي صلى الله عليه وسلم قال : لاينكح المحرم ولاينكح
ولايخطب
:Artinya :
Dari Usman r.a.
dari nabi saw, beliau bersabda : “orang yang sedang ihram tidak boleh menikah,
tidak boleh menikahkan, dan tidak pula boleh meminang”.
(H.R Muslim).
Alasan-alasan yang dapat di ambil dari pendapat yang pertama
ini bahwasanya, hakikat/dasar pernikahan bagi Imam Syafi`I adalah الوطء
(bercampur), maka bercampur ini juga
menjadi salah satu larangan dalam
berihram, yang mana ketika sedang berihram tidak diperbolehkannya untuk
bersenggama, hal ini sejalan dengan QS. Al-Baqarah : 197 yang artinya : “…Barang
siapa mengerjakan ibadah haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah dia berkata
jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji…”.
Dengan demikian karena hakikat pernikahan itu sendiri menurut Imam Syafi`I
adalah bercampur maka ia melarang melakukan pernikahan yang dilakukan ketika
ihram.
Agama
melarang dan mengharamkan beberapa hal bagi orang yang berihram, diantaranya :
melangsungkan akad pernikahan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, sebagai
wakil atau menjadi wakil. Dengan begitu, akad menjadi batal, hingga tidak
membawa akibat hukum[2].
Begitu
juga sebaliknya, dalam hal ini
halangan-halangan nikah, di antaranya : ketika berihram (mani` ihram) seperti
di ungkapkan “para muhrim tidak sah bernikah dan tidak sah menikahkan”[3]
Akibat hukum yang terjadi ketika
seseorang melakukan pernikahan ketika sedang berihram, sama dengan batalnya
haji karena bersenggama, hal ini juga dijelaskan oleh Ali bin Abi Thalib, Umar
bin Khattab dan Abu Hurairah r.a. mereka memberikan fatwa mengenai seorang
laki-laki yang mencampuri istrinya ketika ia sedang ihram mengerjakan haji.
Mereka berkata “Hendaknya mereka berdua terus mengerjakan haji hingga selesai,
kemudian mereka wajib menunaikan haji lagi tahun depan, disamping wajib pula
menyembelih kurban”[4].
2.
Pendapat
kedua yaitu pendapat yang membolehkan melakukan pernikahan ketika ihram,
di antranya : Imam Hanafi, dan serta ats-Sauti, mereka menggunakan dalil yang
dapat menguatkan pendapat mereka, yaitu[5] :
ان
رسول الله صلى الله عليه و سلم نكح ميمو نت وهو محرم
:Artinya:
“Sesungguhnya
Rasulullah kawin dengan Maimunah pada hal beliau sedang melakukan ihram”.
Alasan-alasan
yang dapat di ambil dari pendapat yang kedua ini bahwasanya, hakikat/dasar
pernikahan bagi Imam Hanafi adalah العقد (aqad), maka
karena aqad bukan menjadi salah satu larangan dalam berihram, maka Imam Hanafi
mengizinkan pernikahan. Dengan demikian karena hakikat pernikahan itu sendiri
menurut Imam Hanafi adalah aqad maka ia membolehkan melakukan pernikahan ketika
berihram.
Daftar Pustaka
Hasbi
Ah-Siddiqie, Teungku Muhammad, Hukum-hukum Fiqh Islam, Pustaka Rizki
Putra, Semarang, 2001
Mas`ud,
Ibn, Fiqh Madzhab Syafi`I, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Rusyd,
Ibn, Bidayatul Mujtahid, Asy-Syifa, Semarang, 1990
Sabiq,
Sayyid, Fiqh Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar