BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Gerakan
pembaharuan dalam hukum keluarga didunia Islam terjadi pada abad ke-20, secara
garis besar gerakan pembaharu hukum keluarga di dunia islam termasuk di Negara Mesir
pada abad ke-20 ini dapat dibagi kedalam tiga fase, dan jika undang-undang
tentang hukum keluarga di dunia Islam termasuk di Negara Mesir kita cermati
ternyata ada masalah-masalah pokok mengenai hukum keluarga di Negara islam yang
di bahas. Untuk lebih jelasnya apa dan bagaimana hukum Keluarga di Negara islam
terutama di Mesir oleh karena itu di dalam makalah ini kami akan jelaskan
mengenai hukum keluarga islam di Mesir.[1]
B. Perumusan Masalah.
Untuk
memahami lebih mendalam mengenai keluarga islam di Mesir. bagaimana
undang-undang mengatur hukum kelurga di mesir, maka kami akan melakukan
pembatasan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana keadaan
Sosial-ekonomi?
2.
Bagaimana dalam bidang politik ?
dan Demografinya?
3.
Bagaimana dalam bidang
keagamaan?
4.
Kodifikasi hukum keluarga
Mesir?
5.
Berapa batas minimal pernikahan
di Mesir?
6.
Bagaimana mengenai masalah
pencatatan perkawinan?
7.
Bagaimana mengenai masalah
cerai di depan pengadilan?
8.
Bagaimana mengenai masalah
poligami?
9.
Bagaimana mengenai masalah
khulu?
10. Bagaimana
mengenai masalah wasiat wajibah?
11. Bagaimana
jika seorang WNA menikahi orang mesir?
12. Berapa
lama maksimum wanita mengandung?
13. Bagaimana
Ketentuan Mahar dan Biaya pernikahan Di Mesir?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sosial-Ekonomi
Republik
Arab Mesir, lebih dikenal sebagai Mesir, (bahasa Arab:
مصر) adalah sebuah negara yang
sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika bagian timur
laut. Dengan luas wilayah sekitar 997.739 km² Mesir mencakup Semenanjung
Sinai (dianggap sebagai bagian dari Asia Barat
Daya), sedangkan sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara.
Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di
utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah
di utara dan Laut Merah di timur.Mayoritas penduduk Mesir
menetap di pinggir Sungai Nil (sekitar 40.000 km²). Sebagian besar
daratan merupakan bagian dari gurun Sahara yang jarang dihuni. Mesir
terkenal dengan peradaban kuno dan beberapa monumen kuno
termegah di dunia, misalnya Piramid Giza, Kuil Karnak dan Lembah Raja serta Kuil Ramses.
Di Luxor,
sebuah kota di wilayah selatan, terdapat kira-kira artefak kuno yang mencakup
sekitar 65% artefak kuno di seluruh dunia. Kini, Mesir diakui secara luas
sebagai pusat budaya dan politikal utama di wilayah Arab dan Timur Tengah.
B.
Bidang
Politik.
Mesir
berbentuk Republik
sejak 18 Juni
1953. Mohamed Hosni
Mubarak telah menjabat sebagai Presiden
Mesir selama lima periode, sejak 14 Oktober
1981 setelah pembunuhan
Presiden Mohammed Anwar el-Sadat.
Selain itu, ia juga pemimpin Partai Demokrat Nasional.
Perdana Menteri Mesir, Dr. Ahmed Nazif
dilantik pada 9 Juli
2004 untuk menggantikan
Dr. Atef Ebeid. Kekuasaan di Mesir diatur dengan sistem semipresidensial multipartai.[2] Republik
arab mesir memiliki Undang-undang Dasar tanggal 11 September 1971. Menurut
pasal 1 UUD Mesir, Negara tersebut adalah suatu Negara demokrasi, Negara
sosialis yang didasarkan pada aliansi kekuasaan rakyat yang berpengaruh,
meskipun disebut sebagai Negara sosialis, namun dalam pasal 2 UUD Mesir dengan
tegas dinyatakan bahwa Islam adalah agama Negara dan bahasa arab adalah bahasa
resmi Negara. Dalam pasal yang sama ditegaskan bahwa prinsip-prinsip hukum
islam merupkan sumber utama dalam pembuatan Undang-undang, dengan dua pasal
tersebut tampaklah Republik Arab Mesir hendak menyatakan dirinya sebagai suatu
Negara demokrasi dan segaligus juga bersifat sosialis namun tetap mengacu
kepada agama islam dan hukum islam, dengan perkataan lain secara implisit
sebenarnya Republik Arab Mesir adalah suatu Negara yang ingin menerapkan
prinsip-prinsip demokrasi dan sosial yang bersumber dari ajaran dan hukum
islam.[3]
C.
Demografi.
Mesir
merupakan negara Arab paling banyak penduduknya sekitar 74 juta
orang. Hampir seluruh populasi terpusat di sepanjang Sungai Nil,
terutama Iskandariyah dan Kairo, dan sepanjang Delta
Nil dan dekat Terusan Suez. Hampir 90% dari populasinya
adalah pemeluk Islam
dan sisanya Kristen
(terutama denominasi Coptic). Penduduk
Mesir hampir homogenous. Pengaruh Mediterania
(seperti Arab dan Italia) dan Arab muncul di utara, dan ada beberapa penduduk
asli hitam di selatan. Banyak teori telah diusulkan mengenai asal-usul orang
Mesir, namun tidak ada yang konklusif, dan yang paling banyak diterima adalah
masyarakat Mesir merupakan campuran dari orang Afrika Timur dan Asiatik yang
pindah ke lembah Nil setelah jaman es. Orang Mesir menggunakan bahasa dari keluarga Afro-Asiatik (sebelumnya dikenal sebagai Hamito-semitic).
D.
Agama.
Agama memiliki peranan
besar dalam kehidupan di Mesir. Secara tak resmi, adzan yang dikumandangkan
lima kali sehari menjadi penentu berbagai kegiatan. Kairo juga dikenal dengan
berbagai menara masjid dan gereja. Menurut
konstitusi Mesir, semua
perundang-undangan harus sesuai dengan hukum Islam.
Negara mengakui mazhab Hanafi lewat Kementerian Agama. Imam
dilatih di sekolah keahlian untuk imam dan di Universitas Al-Azhar, yang memiliki komite
untuk memberikan fatwa
untuk masalah agama. 90% dari penduduk Mesir adalah penganut Islam, mayoritas Sunni dan sebagian juga
menganut ajaran Sufi
lokal. Sekitar 10% penduduk Mesir menganut agama Kristen;
95% dalam denominasi Koptik (Koptik Ortodoks, Katolik Koptik, dan Protestan Koptik).[4]
E.
Kodifikasi
Hukum Keluarga Mesir.
Raja
Fuad dari Mesir menyusun Konstitusi Mesir pertama yang kemudian diundangkan
pada april 1923. Pasal 149 konstitusi 1923 menyatakan islam sebagai agama
negara dan bahasa Arab adalah bahasa resmi. Dalam kontitusi Mesir 1956, Yang
diundangkan setelah kaum republikan menggulingkan raja fuad pada 23 juli 1952,
islam kembali ditegaskan sebagai agama negara dan bahasa arab sebagai bahasa
resmi, konstitusi Mesir yang sekarang , diundangkan pada 11 september 1971,
kembali menyatakan hal serupa, dengan tambahan bahwa prinsip-prinsip syariat
adalah sumber utama legislasi. Sistem hukum Mesir banyak menimba dari eropa,
terutama dari negri-negri Italia, Prancis, dan Inggris.
Hukum perdata 1883 terambil dari hukum Perancis
dan hukum kekeluargaan Islam atau al-ahwal al-syakhsiyah. Hukum keluarga Mesir
mengalami reformasi sejak 1920 dan sejak itu parlemen menetapkan berbagai
undang-undang. Pada dekade 1960-an dan 1970-an diajukan berbagai usulan
reformasi hukum termasuk hokum kekeluargaan tetapi tidak ada yang berhasil
diundangkan karena kontroversi berlarut-larut antara pihak yang menginginkan
dan yang menentangnya. Pada 1979 Presiden Anwar Sadat secara sepihak sepihak
mengeluarkan dekrit yang menetapkan salah satu dari usulan tersebut menjadi
Undang-undang, akan tetapi pada masa Presiden Husni Mubarok, tahun 1985, UU
tahun 1979 itu dianulir karena sadat dinilai melakukan sesuatu di luar
kewenangan dan otoritasnya. Sebagai gantinya, dalam rangka memenuhi tuntutan
kelompok-kelompok Islam dibuat undang-undang status personal baru yang yang
merevisi undang-undang tahun 1920 dan 1929.[5]
F.
Usia
Pernikahan.
Dalam
bidang perkawinan di Mesir mempunyai undang-undang mengenai batas minimum usia
pernikahan yaitu bagi laki-laki 18 Tahun dan bagi wanita 16 Tahun. Di Mesir,
meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas umur
terendah itu sah juga, tetapi tidak boleh didaftarkan.[6]
Di
negara Mesir Pemerataan pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan bentuk-bentuk
pengarahan masyarakat merupakan salah satu faktor dalam mengurangi keinginan
untuk melakukan pernikahan dibawah umur, akan tetapi beberapa lingkungan sosial
tertentu masih melakukan perkawinan dibawah umur karena
pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan.
Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan guna memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan
perlindungan hukum mereka cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat
keterangan bahwa anak-anak tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh
hukum.
G.
Pencatatan
Perakwinan.
Masalah
pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqh modern, mengingat
banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan yang
berhubungan dengan soal-soal penting seperti asal-usul anak, kewarisan dan
nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini telah membawa
kemudahan pencatatan akad dan transaksi–transaksi yang berkaitan dengan
barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Tidak ada kemuskilan bagi seseorang
untuk memahami sisi kemaslahatan dalam
pencatatan nikah, akad dan transaksi-transaksi ini. Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan
di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan
dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan
pencatatan nikah itu kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan
kepentingan mereka. Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi
Tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau
pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan
setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu
dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan.
H.
Cerai
Di Depan Pengadilan.
Di Mesir
sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan hukum
keluarga menghendaki dibatasinya hak
talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan
dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman
kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus
pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya
oleh isteri. Undang-undang itu juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah
dicampuri suatu pemberian mut`ah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun.[7]
Di Mesir Pengucapan Talak Tiga hanya jatuh satu talak. Semua pengaturan ini
dilakukan untuk melindungi hak-hak perempuan.[8]
I.
Poligami.
Ketentuan-ketentuan
Ordonansi Mesir tahun 1929 yang memberi wanita hak minta pemutusan hubungan
perkawinan karena adanya kesakitan secara umum. Orientasi ini ternyata diterima
oleh pihak-pihak yang bersengketa mengenai poligami. Akan tetapi kemudian
terbit Undang-Undang Tahun 1979 yang membawa ketentuan-ketentuan baru mengenai
poligami. Dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan dua hal, yaitu
pencatat nikah wajib memberi tahu isteri terdahulu tentang perkawinan kedua
suaminya apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh suaminya itu, dan dianggap
menyakiti isteri adanya wanita lain yang mendampingi suaminya tanpa persetujuannya,
meskipun pada waktu dilakukan akad nikahnya dahulu ia tidak mensyaratkan kepada
suaminya agar tidak memadunya. Demikian pula suami merahasiakan terhadap
isterinya yang baru bahwa ia berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain,
dan hak isteri untuk minta pemutusan perkawinan gugur dengan lewatnya waktu
satu tahun sejak ia mengetahui adanya sebab yang menimbulkan kesakitan itu
yaitu (poligami) selama ia tidak setuju terhadap hal itu yang dinyatakan secara
tegas atau diam-diam.
Di Mesir
poligami itu sendiri dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak
untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau belum lewat
waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita
lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta pemutusan perkawinan
itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami itu terbukti adanya
kesakitan yang dialami isteri.[9]
J.
Khulu’
Khulu`
adalah pemberian hak meminta cerai kepada istri terlepas dari apakah suaminya
mengizinkan atau tidak asalkan ia mengembalikan sebagian atau seluruh hak
finansialnya.
Menurut
empat mazhab, khulu` dapat diberikan walaupun tidak ada alasan legal bagi
perceraian, yaitu bila perempuan tidak ingin meneruskan perkawinan. Tetapi di
masa modern, khulu` digunakan ketika isteri disakiti dan dilecehkan serta
dipukul suami. Mereka seringkali harus melepaskan hak finansial sebagai ganti
keputusan cerai dari pengadilan.Dalam UU mesir dinyatakan bahwa khulu` boleh
diberikan kepada seorang isteri hanya setelah hakim berusaha dan gagal
merukunkan pasangan tersebut serta dengan intervensi mediator dari pihak suami
dan Isteri.[10]
K.
Mahar
dan Biaya Pernikahan.
Di Mesir
pengantin lelaki harus menyediakan rumah yang mafrusyah (fasilitas isinya
lengkap, sejak kasur, bantal hingga sabun mandi). Tradisi lokal di kota Fayoum,
sekitar 100 km di timur Kairo, seorang mempelai lelaki harus menyediakan uang 3
ribu Pound Mesir (500 Dolar AS), emas murni senilai 2500 Pound dan juga tentu
saja, pendapatan tetap. Jangan lupa, itu belum termasuk rumah tinggal.
Sementara, harga sebuah rumah yang mafrusyah di kawasan itu bisa mencapai 80
ribu Pound (13 ribu Dolar AS) Di kota besar semisal Kairo, tentu biaya itu
lebih tinggi. Tetapi, dalam persoalan mahar, orang Mesir, konon, tidak
macam-macam ; cukup dengan peralatan shalat, atau kitab suci AlQuran. Biaya
hidup bulanan seorang isteri Mesir, nampaknya, juga sangat tinggi. akibat
mahalnya biaya nikah ini, lelaki Mesir banyak yang lambat nikah.
L.
Perkawinan
antara orang mesir dengan WNA
Jika
orang mesir menikah dengan WNA maka WNA Harus menyetorkan jaminan 25.000 Pound
Mesir (kira-kira Rp500 juta). Selain itu, masih ada syarat lain bagi perkawinan
antar negara: perbedaan usia pasangan tidak boleh 25 tahun, serta ada izin dari
kedutaan negara asal suami.[11]
M.
Wasiat
Wajibah.
Wasiat
wajibah mulai pertama diperkenalkan oleh ulama Mesir yang melalui hukum waris
tahun 1946 menyatakan bahwa seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia dan
meninggalkan anak maka si cucu itu menggantikan ayahnya yang mewarisi kakeknya
atau neneknya dengan cara memperoleh wasiat wajibah tidak lebih dari sepertiga
harta. Adapun yang menetapkan wasiat wajibah itu ialah pengadilan, karena si
mati memenag tidak meninggalkan wasiat sendiri. Ide wasiat wajibah ini diajukan
ulama Mesir untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. Di Mesir aturan
wasiat wajibah itu berlaku bagi semua cucu, baik dari anak laki-laki maupun
perempuan.[12]
N.
Masa
kehamilan.
Undang-undang
Mesir berpendapat bahwa 9 bulan adalah masa kehamilan yang minimum. Al-Berri di
dalam kitabnya ‘al-Ahkam al-Assasia lil Mawarith wa al-Wasiy’, berkata:
“Undang-undang Mesir telah menentukan bahwa 9 bulan adalah masa kehamilan yang
minimum, yang mana 270 hari telah ditetapkan untuk mengelakkan perselisihan
dalam keputusan mahkamah. Seorang anak yang lahir sebelum dari tarikh ini tidak
berhak untuk mewarisi harta bapaknya. Ia juga akan dikira anak haram jika bapaknya
tidak mengakuinya sedangkan masa kehamilan maksimum dimesir ditetapkan selama 1
tahun.[13]
BAB
III
PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan Dan Samsu Rizal Panggabean, “Politik Syariat Islam”,
Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004.
Azhary, M Tahir, “Negara Hukum”, Jakarta : Prenada Media, 2003
Mudzhar, M Atho’, “Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi Dan
Liberal “, Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2000
Mudzar, M Atho’ dan Khairuddin Nasution, “Hukum Keluarga Di Dunia
Islam Modern”, Jakarta : Ciputat Press, 2003.
Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia.
[1] Atho’ Mudzar, Membaca Gelombang Ijtihad, (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 2000), h. 175
[2] www.wikipediaindonesia.com
[5] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari`at Islam,
(Jakarta: Pustaka Alfabet, 2004), h. 105
[6] Atho’ Mudzar dan Khairuddin Nasution, Hukum
Keluarga Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 210
[7] www.google.com/Mesir
[9] www.google.com/Mesir
[11] www.hukumonline.com/Mesir
[12] Atho’ Mudzar, Membaca Gelombang Ijtihad, h. 163
[13] www.google.com/Mesir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar