Selasa, 24 Juli 2012

Hukum Keluarga Islam di Mesir


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.
Gerakan pembaharuan dalam hukum keluarga didunia Islam terjadi pada abad ke-20, secara garis besar gerakan pembaharu hukum keluarga di dunia islam termasuk di Negara Mesir pada abad ke-20 ini dapat dibagi kedalam tiga fase, dan jika undang-undang tentang hukum keluarga di dunia Islam termasuk di Negara Mesir kita cermati ternyata ada masalah-masalah pokok mengenai hukum keluarga di Negara islam yang di bahas. Untuk lebih jelasnya apa dan bagaimana hukum Keluarga di Negara islam terutama di Mesir oleh karena itu di dalam makalah ini kami akan jelaskan mengenai hukum keluarga islam di Mesir.[1]
B. Perumusan Masalah.
Untuk memahami lebih mendalam mengenai keluarga islam di Mesir. bagaimana undang-undang mengatur hukum kelurga di mesir, maka kami akan melakukan pembatasan masalah sebagai berikut :
1.     Bagaimana keadaan Sosial-ekonomi?
2.     Bagaimana dalam bidang politik ? dan Demografinya?
3.     Bagaimana dalam bidang keagamaan?
4.     Kodifikasi hukum keluarga Mesir?
5.     Berapa batas minimal pernikahan di Mesir?
6.     Bagaimana mengenai masalah pencatatan perkawinan?
7.     Bagaimana mengenai masalah cerai di depan pengadilan?
8.     Bagaimana mengenai masalah poligami?
9.     Bagaimana mengenai masalah khulu?
10.  Bagaimana mengenai masalah wasiat wajibah?
11.  Bagaimana jika seorang WNA menikahi orang mesir?
12.  Berapa lama maksimum wanita mengandung?
13.  Bagaimana Ketentuan Mahar dan Biaya pernikahan Di Mesir?

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sosial-Ekonomi
Republik Arab Mesir, lebih dikenal sebagai Mesir, (bahasa Arab: مصر) adalah sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika bagian timur laut. Dengan luas wilayah sekitar 997.739 km² Mesir mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai bagian dari Asia Barat Daya), sedangkan sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur.Mayoritas penduduk Mesir menetap di pinggir Sungai Nil (sekitar 40.000 km²). Sebagian besar daratan merupakan bagian dari gurun Sahara yang jarang dihuni.                                                                 Mesir terkenal dengan peradaban kuno dan beberapa monumen kuno termegah di dunia, misalnya Piramid Giza, Kuil Karnak dan Lembah Raja serta Kuil Ramses. Di Luxor, sebuah kota di wilayah selatan, terdapat kira-kira artefak kuno yang mencakup sekitar 65% artefak kuno di seluruh dunia. Kini, Mesir diakui secara luas sebagai pusat budaya dan politikal utama di wilayah Arab dan Timur Tengah.

B.   Bidang Politik.
Mesir berbentuk Republik sejak 18 Juni 1953. Mohamed Hosni Mubarak telah menjabat sebagai Presiden Mesir selama lima periode, sejak 14 Oktober 1981 setelah pembunuhan Presiden Mohammed Anwar el-Sadat. Selain itu, ia juga pemimpin Partai Demokrat Nasional. Perdana Menteri Mesir, Dr. Ahmed Nazif dilantik pada 9 Juli 2004 untuk menggantikan Dr. Atef Ebeid.  Kekuasaan di Mesir diatur dengan sistem semipresidensial multipartai.[2]                                         Republik arab mesir memiliki Undang-undang Dasar tanggal 11 September 1971. Menurut pasal 1 UUD Mesir, Negara tersebut adalah suatu Negara demokrasi, Negara sosialis yang didasarkan pada aliansi kekuasaan rakyat yang berpengaruh, meskipun disebut sebagai Negara sosialis, namun dalam pasal 2 UUD Mesir dengan tegas dinyatakan bahwa Islam adalah agama Negara dan bahasa arab adalah bahasa resmi Negara. Dalam pasal yang sama ditegaskan bahwa prinsip-prinsip hukum islam merupkan sumber utama dalam pembuatan Undang-undang, dengan dua pasal tersebut tampaklah Republik Arab Mesir hendak menyatakan dirinya sebagai suatu Negara demokrasi dan segaligus juga bersifat sosialis namun tetap mengacu kepada agama islam dan hukum islam, dengan perkataan lain secara implisit sebenarnya Republik Arab Mesir adalah suatu Negara yang ingin menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan sosial yang bersumber dari ajaran dan hukum islam.[3]

C.   Demografi.
Mesir merupakan negara Arab paling banyak penduduknya sekitar 74 juta orang. Hampir seluruh populasi terpusat di sepanjang Sungai Nil, terutama Iskandariyah dan Kairo, dan sepanjang Delta Nil dan dekat Terusan Suez. Hampir 90% dari populasinya adalah pemeluk Islam dan sisanya Kristen (terutama denominasi Coptic).               Penduduk Mesir hampir homogenous. Pengaruh Mediterania (seperti Arab dan Italia) dan Arab muncul di utara, dan ada beberapa penduduk asli hitam di selatan. Banyak teori telah diusulkan mengenai asal-usul orang Mesir, namun tidak ada yang konklusif, dan yang paling banyak diterima adalah masyarakat Mesir merupakan campuran dari orang Afrika Timur dan Asiatik yang pindah ke lembah Nil setelah jaman es. Orang Mesir menggunakan bahasa dari keluarga Afro-Asiatik (sebelumnya dikenal sebagai Hamito-semitic).

D.  Agama.
Agama memiliki peranan besar dalam kehidupan di Mesir. Secara tak resmi, adzan yang dikumandangkan lima kali sehari menjadi penentu berbagai kegiatan. Kairo juga dikenal dengan berbagai menara masjid dan gereja. Menurut konstitusi Mesir, semua perundang-undangan harus sesuai dengan hukum Islam. Negara mengakui mazhab Hanafi lewat Kementerian Agama. Imam dilatih di sekolah keahlian untuk imam dan di Universitas Al-Azhar, yang memiliki komite untuk memberikan fatwa untuk masalah agama. 90% dari penduduk Mesir adalah penganut Islam, mayoritas Sunni dan sebagian juga menganut ajaran Sufi lokal. Sekitar 10% penduduk Mesir menganut agama Kristen; 95% dalam denominasi Koptik (Koptik Ortodoks, Katolik Koptik, dan Protestan Koptik).[4]

E.   Kodifikasi Hukum Keluarga Mesir.
Raja Fuad dari Mesir menyusun Konstitusi Mesir pertama yang kemudian diundangkan pada april 1923. Pasal 149 konstitusi 1923 menyatakan islam sebagai agama negara dan bahasa Arab adalah bahasa resmi. Dalam kontitusi Mesir 1956, Yang diundangkan setelah kaum republikan menggulingkan raja fuad pada 23 juli 1952, islam kembali ditegaskan sebagai agama negara dan bahasa arab sebagai bahasa resmi, konstitusi Mesir yang sekarang , diundangkan pada 11 september 1971, kembali menyatakan hal serupa, dengan tambahan bahwa prinsip-prinsip syariat adalah sumber utama legislasi. Sistem hukum Mesir banyak menimba dari eropa, terutama dari negri-negri Italia, Prancis, dan Inggris.
 Hukum perdata 1883 terambil dari hukum Perancis dan hukum kekeluargaan Islam atau al-ahwal al-syakhsiyah. Hukum keluarga Mesir mengalami reformasi sejak 1920 dan sejak itu parlemen menetapkan berbagai undang-undang. Pada dekade 1960-an dan 1970-an diajukan berbagai usulan reformasi hukum termasuk hokum kekeluargaan tetapi tidak ada yang berhasil diundangkan karena kontroversi berlarut-larut antara pihak yang menginginkan dan yang menentangnya. Pada 1979 Presiden Anwar Sadat secara sepihak sepihak mengeluarkan dekrit yang menetapkan salah satu dari usulan tersebut menjadi Undang-undang, akan tetapi pada masa Presiden Husni Mubarok, tahun 1985, UU tahun 1979 itu dianulir karena sadat dinilai melakukan sesuatu di luar kewenangan dan otoritasnya. Sebagai gantinya, dalam rangka memenuhi tuntutan kelompok-kelompok Islam dibuat undang-undang status personal baru yang yang merevisi undang-undang tahun 1920 dan 1929.[5]

F.   Usia Pernikahan.
Dalam bidang perkawinan di Mesir mempunyai undang-undang mengenai batas minimum usia pernikahan yaitu bagi laki-laki 18 Tahun dan bagi wanita 16 Tahun. Di Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah itu sah juga, tetapi tidak boleh didaftarkan.[6]
Di negara Mesir Pemerataan pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan bentuk-bentuk pengarahan masyarakat merupakan salah satu faktor dalam mengurangi keinginan untuk melakukan pernikahan dibawah umur, akan tetapi beberapa lingkungan sosial tertentu masih melakukan perkawinan dibawah umur karena pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan. Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan guna memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan perlindungan hukum mereka cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat keterangan bahwa anak-anak tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh hukum.

G.  Pencatatan Perakwinan.
Masalah pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqh modern, mengingat banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan yang berhubungan dengan soal-soal penting seperti asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini telah membawa kemudahan pencatatan akad dan transaksi–transaksi yang berkaitan dengan barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Tidak ada kemuskilan bagi seseorang untuk memahami  sisi kemaslahatan dalam pencatatan nikah, akad dan transaksi-transaksi ini.                         Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan.

H.  Cerai Di Depan Pengadilan.
Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan hukum keluarga  menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberian mut`ah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun.[7] Di Mesir Pengucapan Talak Tiga hanya jatuh satu talak. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak perempuan.[8]



I.    Poligami.
Ketentuan-ketentuan Ordonansi Mesir tahun 1929 yang memberi wanita hak minta pemutusan hubungan perkawinan karena adanya kesakitan secara umum. Orientasi ini ternyata diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa mengenai poligami. Akan tetapi kemudian terbit Undang-Undang Tahun 1979 yang membawa ketentuan-ketentuan baru mengenai poligami. Dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan dua hal, yaitu pencatat nikah wajib memberi tahu isteri terdahulu tentang perkawinan kedua suaminya apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh suaminya itu, dan dianggap menyakiti isteri adanya wanita lain yang mendampingi suaminya tanpa persetujuannya, meskipun pada waktu dilakukan akad nikahnya dahulu ia tidak mensyaratkan kepada suaminya agar tidak memadunya. Demikian pula suami merahasiakan terhadap isterinya yang baru bahwa ia berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, dan hak isteri untuk minta pemutusan perkawinan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun sejak ia mengetahui adanya sebab yang menimbulkan kesakitan itu yaitu (poligami) selama ia tidak setuju terhadap hal itu yang dinyatakan secara tegas atau diam-diam.                               
Di Mesir poligami itu sendiri dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau belum lewat waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta pemutusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami itu terbukti adanya kesakitan yang dialami isteri.[9]

J.   Khulu’
Khulu` adalah pemberian hak meminta cerai kepada istri terlepas dari apakah suaminya mengizinkan atau tidak asalkan ia mengembalikan sebagian atau seluruh hak finansialnya.
Menurut empat mazhab, khulu` dapat diberikan walaupun tidak ada alasan legal bagi perceraian, yaitu bila perempuan tidak ingin meneruskan perkawinan. Tetapi di masa modern, khulu` digunakan ketika isteri disakiti dan dilecehkan serta dipukul suami. Mereka seringkali harus melepaskan hak finansial sebagai ganti keputusan cerai dari pengadilan.Dalam UU mesir dinyatakan bahwa khulu` boleh diberikan kepada seorang isteri hanya setelah hakim berusaha dan gagal merukunkan pasangan tersebut serta dengan intervensi mediator dari pihak suami dan Isteri.[10]

K.   Mahar dan Biaya Pernikahan.
Di Mesir pengantin lelaki harus menyediakan rumah yang mafrusyah (fasilitas isinya lengkap, sejak kasur, bantal hingga sabun mandi). Tradisi lokal di kota Fayoum, sekitar 100 km di timur Kairo, seorang mempelai lelaki harus menyediakan uang 3 ribu Pound Mesir (500 Dolar AS), emas murni senilai 2500 Pound dan juga tentu saja, pendapatan tetap. Jangan lupa, itu belum termasuk rumah tinggal. Sementara, harga sebuah rumah yang mafrusyah di kawasan itu bisa mencapai 80 ribu Pound (13 ribu Dolar AS) Di kota besar semisal Kairo, tentu biaya itu lebih tinggi. Tetapi, dalam persoalan mahar, orang Mesir, konon, tidak macam-macam ; cukup dengan peralatan shalat, atau kitab suci AlQuran. Biaya hidup bulanan seorang isteri Mesir, nampaknya, juga sangat tinggi. akibat mahalnya biaya nikah ini, lelaki Mesir banyak yang lambat nikah.

L.   Perkawinan antara orang mesir dengan WNA
Jika orang mesir menikah dengan WNA maka WNA Harus menyetorkan jaminan 25.000 Pound Mesir (kira-kira Rp500 juta). Selain itu, masih ada syarat lain bagi perkawinan antar negara: perbedaan usia pasangan tidak boleh 25 tahun, serta ada izin dari kedutaan negara asal suami.[11]

M.  Wasiat Wajibah.
Wasiat wajibah mulai pertama diperkenalkan oleh ulama Mesir yang melalui hukum waris tahun 1946 menyatakan bahwa seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak maka si cucu itu menggantikan ayahnya yang mewarisi kakeknya atau neneknya dengan cara memperoleh wasiat wajibah tidak lebih dari sepertiga harta. Adapun yang menetapkan wasiat wajibah itu ialah pengadilan, karena si mati memenag tidak meninggalkan wasiat sendiri. Ide wasiat wajibah ini diajukan ulama Mesir untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. Di Mesir aturan wasiat wajibah itu berlaku bagi semua cucu, baik dari anak laki-laki maupun perempuan.[12]

N.   Masa kehamilan.
Undang-undang Mesir berpendapat bahwa 9 bulan adalah masa kehamilan yang minimum. Al-Berri di dalam kitabnya ‘al-Ahkam al-Assasia lil Mawarith wa al-Wasiy’,  berkata: “Undang-undang Mesir telah menentukan bahwa 9 bulan adalah masa kehamilan yang minimum, yang mana 270 hari telah ditetapkan untuk mengelakkan perselisihan dalam keputusan mahkamah. Seorang anak yang lahir sebelum dari tarikh ini tidak berhak untuk mewarisi harta bapaknya. Ia juga akan dikira anak haram jika bapaknya tidak mengakuinya sedangkan masa kehamilan maksimum dimesir ditetapkan selama 1 tahun.[13]








BAB III
PENUTUP


DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufik Adnan Dan Samsu Rizal Panggabean, “Politik Syariat Islam”, Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004.

Azhary, M Tahir, “Negara Hukum”, Jakarta : Prenada Media, 2003

Mudzhar, M Atho’, “Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi Dan Liberal “, Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 2000

Mudzar, M Atho’ dan Khairuddin Nasution, “Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern”, Jakarta : Ciputat Press, 2003.

Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia.





[1] Atho’ Mudzar, Membaca Gelombang Ijtihad, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000), h. 175
[2] www.wikipediaindonesia.com
[3] Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 225
[4] www.wikipediaindonesia.com
[5] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari`at Islam, (Jakarta: Pustaka Alfabet, 2004), h. 105
[6] Atho’ Mudzar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 210
[7] www.google.com/Mesir
[8] Atho’ Mudzar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Islam Modern, h. 213
[9] www.google.com/Mesir
[10] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari`at Islam, h. 108
[11]  www.hukumonline.com/Mesir
[12] Atho’ Mudzar, Membaca Gelombang Ijtihad, h. 163
[13] www.google.com/Mesir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar