Selasa, 24 Juli 2012

Gabungan Jarimah, Turut Serta, Percobaan Jarimah


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang masalah
Dalam bahasa Indonesia, kata jarimah berarti perbuatan pidana atau tindak pidana. Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah kata jinayah. Hanya, dikalangan fukaha (ahli fikh, red) istilah jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara', baik mengenai jiwa ataupun lainnya. Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu.
B.   Rumusan masalah
Berdasarkan  dari latar belakang masalah ini, kami sebagai pemakalah mengidentifikasi permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini :
1.   Penggabungan jarimah ?
2.   Turut serta dalam melakukan jarimah ?
3.   Percobaan dalam melakukan jarimah ?

C.   Metode penulisan
Dalam penulisan makalah ini, kami menggunakan metode penulisan, antara lain :
1.   Metode Induktif, yaitu metode yang disusun dengan di awali penjelasan dan di akhiri dengan sebuah kesimpulan.
2.   Studi kepustakaan, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mencari sumber tulisan yang ada pada buku-buku atau sejenisnya, kemudian dipelajari dan kemudian dipahami.


BAB II
PEMBAHASAN


A.   Gabungan Jarimah
Gabungan jarimah pada umumnya dapat dibagi pada dua macam, yakni adakalanya terjadi dalam lahir saja seperti seseorang melakukan penganiayaan terhadap seorang petugas yang melaksanakan tugasnya, dalam kasus ini pelaku bisa dituntut Karena penganiayaan juga dituntut karena melawan petugas dan yang kedua adakalanya benar-benar nyata seperti atlet pencak silat  yang dengan kakinya melukai seseorang dan dengan tangannya menikam orang lain sampai mati, dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena melakukan penganiayaan dan pembunuhan.
Dalam hukum pidana islam terdapat tiga macam teori mengenai penggabungan hukuman ini[1] :
1.   Teori berganda, menurut teori ini pelaku mendapat semua hukuman yang ditetapkan untuk tiap-tiap jarimah yang dilakukannya.
2.   Teori saling memasuki (at-tadakhul), menurut teori ini ketika terjadi penggabungan perbuatan maka hukuman-hukumannya saling melengkapi/memasuki, sehingga oleh karenanya semua perbuatan hanya dijatuhi satu hukuman
3.   Teori penyerapan (al-jabb), menurut teori ini penyerapan dalam syari`at islam adalah cukup untuk menjatuhkan satu hukuman saja, sehingga hukuman-hukuman yang lain tidak perlu dijatuhkan.

B.   Turut serta berbuat
Apabila beberapa orang bersama-sama melakukan sesuatu jarimah maka perbuatannya itu disebut turut berbuat jarimah.
Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam[2] :
1.   Turut serta secara langsung, turut serta secara langsung terjadi apabila orang-orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Maksud nyata disini adalah bahwa setiap orang yang turut serta itu masing-masing mengambil bagian secara langsung, walaupun tidak sampai selesai.
Turut serta secara langsung dapat dikategorikan pada dua kelompok, yakni adakalanya dilakukan secara kebetulan saja (tawafuq), maksudnya orang yang melakukan turut serta tersebut  diantara mereka tidak ada permufakatan sebelumnya. Dan adakalanya dilakukan  dengan kerja sama yang direncakan lebih dahulu (tamalu), maksudnya kedua pelaku atau orang yang turut serta telah berdasarkan permufakatan.
Mengenai hukuman bagi para turut serta langsung ini, pada dasarnya menurut syari`at islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya.

2.   Turut serta secara tidak langsung, turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh / menghasut orang lain / memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan.
Mengenai hukuman bagi para turut serta secara tidak langsung ini, pada dasarnya menurut syari`at islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishas hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas pelaku tidak langsung. Dengan demikian, orang yang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah hanya dijatuhi hukuman ta`zir.

Unsur-unsur berbuat tidak langsung ada tiga macam[3]:
a.  Adanya perbuatan yang dapat dihukum, disyaratkan adanya perbuatan yang dapat dihukum, dalam hal ini perbuatan tersebut tidak perlu harus selesai melainkan cukup walaupun baru percobaan saja.
b.  Adanya niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan persepakatan, suruhan atau bantuannya itu perbuatan itu dapat terjadi.
c.  Cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh, atau memberi bantuan.

Apabila  perbuatan  langsung  berkumpul  dengan   perbuatan tidak  langsung  dalam  suatu  tindak  pidana  maka   pertalian          antara keduanya ada tiga kemungkinan :
1.   Perbuatan tidak langsung lebih kuat dari pada perbuatan langsung, hal ini terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
2.   Perbuatan langsung lebih kuat dari pada perbuatan tidak langsung, hal ini terjadi apabila perbuatan langsung dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung.
3.   Kedua perbuatan tersebut seimbang, hal ini terjadi apabila daya kerjanya sama kuatnya.

C.   Percobaan melakukan jarimah
Dalam pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang percobaan, yakni “percobaan adalah melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan jinayah, tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku tersebut[4].

Tidak adanya perhatian para fuqaha secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan oleh dua hal[5] :
1.   Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan hanya dengan hukuman ta`zir.
2.   Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara` tentang hukuman untuk jarimah ta`zir maka aturan-aturan yang khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta`zir dijatuhkan atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan qishas.

Untuk mengetahui sampai dimana suatu perbuatan percobaan dapat dihukum, maka kita harus membagi fase-fase pelaksanaan jarimah tersebut, fase-fase pelaksanaan jarimah ada tiga macam, yaitu :
1.   Fase pemikiran dan perencanaan, memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syari`at islam, seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan hanya karena lintasan hatinya atau niat yang terkandung didalam hatinya, hal ini sesuai dengan hadist Nabi saw :
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَََلَ : قَلَ الْنًبِىٌ ص م : اِنَ اللهَ تَجَا وَزَلِى عَنْ اُمَتِىْ مَا وَسْوَ سَتْ بِهِ صُدُ وْرُهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ اَوْ تَكَلَمْ

:Artinya:
Abu Hurairah ra. Berkata : Nabi saw telah bersabda : sesungguhnya Allah mengampuni ummatku karena aku atas apa yang terlintas didalam hatinya, selama belum dikerjakan dan diucapkan[6].
2.   Fase persiapan, fase ini juga tidak dapat dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat, seperti bercumbu dengan bukan muhrimnya, hal ini sudah memasuki persiapan untuk melakukan zina.
3.   Fase pelaksanaan, pada fase inilah perbuatan pelaku dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Dalam hal ini cukup apabila perbuatan itu sudah dianggap sebagai melanggar hukum, yaitu berupa pelanggaran terhadap hak masyarakat atau hak individu dan perbuatan itu dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materilnya masih terdapat beberapa langkah lagi.

Kita harus membedakan suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan oleh karena salah satu dari dua hal, antara lain[7] :
1.   Adakalanya karena terpaksa, misalnya tertangkap, maka pelaku tetap harus dikenai hukuman, selama perbuatannya itu dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
2.   Adakalanya karena kehendak sendiri, yang mana dibedakan menjadi dua, yaitu :
a.   Bukan karena taubat, hal ini sama seperti (point 1) atau terpaksa, maka tetap mendapat hukuman.
b.   Karena taubat, hal ini diperselisihkan oleh fuqaha, dalam hal ini ada tiga pendapat yaitu :
(1)  Menurut beberapa fuqaha madzhab Syafi`i dan Hambali, taubat bisa menghapuskan hukuman, dengan alasan:
(a)  Al-qur`an menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah yang paling berbahaya.
(b)  Dalam menyebutkan beberapa jarimah, Al-Qur`an selalu mengiringnya dengan pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman, hal ini sesuai dengan Q.S. An-Nisa : 16
(2)  Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan beberapa fuqaha madzhab Syafi`I dan Hambali, taubat tidak dapat menghapuskan hukuman, alasannya adalah bahwa Rasul saw menyuruh melaksanakan hukuman rajam atas Ma`iz dan wanita Ghamidiyah.
(3)  Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzhab Hambali, hukuman dapat membersihkan maksiat dan taubat bisa menghapuskan hukuman untuk jarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah.

Menurut ketentuan pokok dalam syari`at islam yang berkaitan dengan jarimah hudud dan qishas, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah yang telah selesai, tidak boleh diberlakukan untuk jarimah yang belum selesai(percobaan). Ketentuan ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dari Nu`man ibn Basyir bahwa Rasul saw. Bersabda :
مَنْ بَلَخَ حَدً فِى غَيْرِ حَدٍ فَهُوَ مِنَ الْمُعْتَدِيْنَ




:Artinya:
Barang siapa yang mencapai(melaksanakan) hukuman had bukan dalam jarimah hudud maka ia termasuk orang yang melampaui batas[8].

Percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan had zina. Demikian pula percobaan pencurian tidak boleh dihukum dengan had pencurian. Dengan demikian, hukuman untuk jarimah percobaan adalah hukuman ta`zir itu sendiri.























Daftar Pustaka
        
As-    sayuthi, Jalaludin, al jami` ash shagir, Dar al Fikr, Juz II.
Imarah, Musthafa Muhammad, Jawahir al bukhari, Maktabah at Tijariyah al kubra, Kairo : T.tp, 1356H.

Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan asas-asas hukum pidana islam, Jakarta : Sinar Grafika.

Zahrah, Muhammad Abu, Al jarimah wa al uqubah fi al fiqh al islamy, maktabah al angelo al mishriyah, Kairo : T.tp



[1] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas-asas hukum pidana islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h. 167
[2] Ibid., h. 67
[3] Ibid., h. 70
[4] Muhammad Abu Zahrah, Al jarimah wa al uqubah fi al fiqh al islamy, maktabah al angelo al mishriyah, (Kairo : T.tp), h. 381
[5] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas-asas hukum pidana islam, h. 60
[6] Musthafa Muhammad `Imarah, Jawahir al bukhari, Maktabah at Tijariyah al kubra, (Kairo : T.tp, 1356H), h. 271
[7] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas-asas hukum pidana islam, h. 64
[8] Jalaludin as-sayuthi, al jami` ash shagir, (Dar al Fikr, Juz II), h. 168

Tidak ada komentar:

Posting Komentar