BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Dalam bahasa Indonesia,
kata jarimah berarti perbuatan pidana atau tindak pidana. Kata lain yang
sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah kata jinayah. Hanya,
dikalangan fukaha (ahli fikh, red) istilah jarimah pada umumnya digunakan untuk
semua pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara', baik
mengenai jiwa ataupun lainnya. Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk
menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti
membunuh dan melukai anggota badan tertentu.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah ini, kami sebagai
pemakalah mengidentifikasi permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini :
1.
Penggabungan jarimah ?
2.
Turut serta dalam melakukan jarimah ?
3.
Percobaan dalam melakukan jarimah ?
C.
Metode penulisan
Dalam penulisan makalah ini, kami
menggunakan metode penulisan, antara lain :
1.
Metode Induktif, yaitu metode yang
disusun dengan di awali penjelasan dan di akhiri dengan sebuah kesimpulan.
2.
Studi kepustakaan, yaitu metode yang
dilakukan dengan cara mencari sumber tulisan yang ada pada buku-buku atau
sejenisnya, kemudian dipelajari dan kemudian dipahami.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Gabungan
Jarimah
Gabungan
jarimah pada umumnya dapat dibagi pada dua macam, yakni adakalanya terjadi
dalam lahir saja seperti seseorang melakukan penganiayaan terhadap seorang
petugas yang melaksanakan tugasnya, dalam kasus ini pelaku bisa dituntut Karena
penganiayaan juga dituntut karena melawan petugas dan yang kedua adakalanya
benar-benar nyata seperti atlet pencak silat
yang dengan kakinya melukai seseorang dan dengan tangannya menikam orang
lain sampai mati, dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena melakukan penganiayaan
dan pembunuhan.
Dalam
hukum pidana islam terdapat tiga macam teori mengenai penggabungan hukuman ini[1] :
1.
Teori
berganda, menurut teori ini pelaku mendapat semua hukuman yang ditetapkan untuk
tiap-tiap jarimah yang dilakukannya.
2.
Teori
saling memasuki (at-tadakhul), menurut teori ini ketika terjadi
penggabungan perbuatan maka hukuman-hukumannya saling melengkapi/memasuki,
sehingga oleh karenanya semua perbuatan hanya dijatuhi satu hukuman
3.
Teori
penyerapan (al-jabb), menurut teori ini penyerapan dalam syari`at islam
adalah cukup untuk menjatuhkan satu hukuman saja, sehingga hukuman-hukuman yang
lain tidak perlu dijatuhkan.
B.
Turut
serta berbuat
Apabila beberapa
orang bersama-sama melakukan sesuatu jarimah maka perbuatannya itu disebut
turut berbuat jarimah.
Turut serta melakukan
jarimah itu ada dua macam[2] :
1.
Turut
serta secara langsung,
turut serta secara langsung terjadi apabila orang-orang yang melakukan jarimah
dengan nyata lebih dari satu orang. Maksud nyata disini adalah bahwa setiap
orang yang turut serta itu masing-masing mengambil bagian secara langsung,
walaupun tidak sampai selesai.
Turut serta secara
langsung dapat dikategorikan pada dua kelompok, yakni adakalanya dilakukan
secara kebetulan saja (tawafuq), maksudnya orang yang melakukan turut serta
tersebut diantara mereka tidak ada
permufakatan sebelumnya. Dan adakalanya dilakukan dengan kerja sama yang direncakan lebih
dahulu (tamalu), maksudnya kedua pelaku atau orang yang turut serta
telah berdasarkan permufakatan.
Mengenai hukuman bagi
para turut serta langsung ini, pada dasarnya menurut syari`at islam banyaknya
pelaku jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas
masing-masing pelakunya.
2.
Turut
serta secara tidak langsung, turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang
yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan
yang dapat dihukum, menyuruh / menghasut orang lain / memberikan bantuan dalam
perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan.
Mengenai hukuman bagi
para turut serta secara tidak langsung ini, pada dasarnya menurut syari`at
islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan
qishas hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas pelaku tidak langsung.
Dengan demikian, orang yang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah hanya
dijatuhi hukuman ta`zir.
Unsur-unsur berbuat
tidak langsung ada tiga macam[3]:
a. Adanya perbuatan yang dapat dihukum,
disyaratkan adanya perbuatan yang dapat dihukum, dalam hal ini perbuatan
tersebut tidak perlu harus selesai melainkan cukup walaupun baru percobaan
saja.
b. Adanya niat dari orang yang turut
berbuat, agar dengan persepakatan, suruhan atau bantuannya itu perbuatan itu
dapat terjadi.
c. Cara mewujudkan perbuatan tersebut
adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh, atau memberi bantuan.
Apabila perbuatan
langsung berkumpul dengan
perbuatan tidak langsung dalam
suatu tindak pidana
maka pertalian antara keduanya ada tiga kemungkinan
:
1.
Perbuatan
tidak langsung lebih kuat dari pada perbuatan langsung, hal ini terjadi apabila
perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
2.
Perbuatan
langsung lebih kuat dari pada perbuatan tidak langsung, hal ini terjadi apabila
perbuatan langsung dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung.
3.
Kedua
perbuatan tersebut seimbang, hal ini terjadi apabila daya kerjanya sama
kuatnya.
C.
Percobaan
melakukan jarimah
Dalam pasal 45 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang percobaan, yakni “percobaan
adalah melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan jinayah, tetapi
perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada
sangkut pautnya dengan kehendak pelaku tersebut”[4].
Tidak adanya
perhatian para fuqaha secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan oleh
dua hal[5] :
1.
Percobaan
melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan hanya
dengan hukuman ta`zir.
2.
Dengan
adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara` tentang hukuman untuk
jarimah ta`zir maka aturan-aturan yang khusus untuk percobaan tidak perlu
diadakan, sebab hukuman ta`zir dijatuhkan atas perbuatan-perbuatan maksiat yang
tidak dikenakan hukuman had dan qishas.
Untuk mengetahui
sampai dimana suatu perbuatan percobaan dapat dihukum, maka kita harus membagi
fase-fase pelaksanaan jarimah tersebut, fase-fase pelaksanaan jarimah ada tiga
macam, yaitu :
1.
Fase
pemikiran dan perencanaan, memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak
dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang
berlaku dalam syari`at islam, seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan
hanya karena lintasan hatinya atau niat yang terkandung didalam hatinya, hal
ini sesuai dengan hadist Nabi saw :
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَََلَ : قَلَ الْنًبِىٌ ص م : اِنَ اللهَ تَجَا وَزَلِى عَنْ
اُمَتِىْ مَا وَسْوَ سَتْ بِهِ صُدُ وْرُهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ اَوْ تَكَلَمْ
:Artinya:
Abu Hurairah ra. Berkata : Nabi
saw telah bersabda : sesungguhnya Allah mengampuni ummatku karena aku atas apa
yang terlintas didalam hatinya, selama belum dikerjakan dan diucapkan[6].
2.
Fase
persiapan, fase ini juga tidak dapat dianggap sebagai maksiat yang dapat
dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai
maksiat, seperti bercumbu dengan bukan muhrimnya, hal ini sudah memasuki persiapan
untuk melakukan zina.
3.
Fase
pelaksanaan, pada fase inilah perbuatan pelaku dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana. Dalam hal ini cukup apabila perbuatan itu sudah dianggap sebagai
melanggar hukum, yaitu berupa pelanggaran terhadap hak masyarakat atau hak
individu dan perbuatan itu dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil,
meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materilnya masih terdapat
beberapa langkah lagi.
Kita harus membedakan
suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan oleh
karena salah satu dari dua hal, antara lain[7] :
1.
Adakalanya
karena terpaksa, misalnya tertangkap, maka pelaku tetap harus dikenai hukuman,
selama perbuatannya itu dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
2.
Adakalanya
karena kehendak sendiri, yang mana dibedakan menjadi dua, yaitu :
a.
Bukan
karena taubat, hal ini sama seperti (point 1) atau terpaksa, maka tetap
mendapat hukuman.
b.
Karena
taubat, hal ini diperselisihkan oleh fuqaha, dalam hal ini ada tiga pendapat
yaitu :
(1) Menurut beberapa fuqaha madzhab
Syafi`i dan Hambali, taubat bisa menghapuskan hukuman, dengan alasan:
(a) Al-qur`an menyatakan hapusnya hukuman
untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah yang paling berbahaya.
(b) Dalam menyebutkan beberapa jarimah,
Al-Qur`an selalu mengiringnya dengan pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan
hukuman, hal ini sesuai dengan Q.S. An-Nisa : 16
(2) Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah
dan beberapa fuqaha madzhab Syafi`I dan Hambali, taubat tidak dapat
menghapuskan hukuman, alasannya adalah bahwa Rasul saw menyuruh melaksanakan
hukuman rajam atas Ma`iz dan wanita Ghamidiyah.
(3) Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim
dari pengikut madzhab Hambali, hukuman dapat membersihkan maksiat dan taubat
bisa menghapuskan hukuman untuk jarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak
Allah.
Menurut ketentuan
pokok dalam syari`at islam yang berkaitan dengan jarimah hudud dan qishas,
hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah yang telah selesai, tidak
boleh diberlakukan untuk jarimah yang belum selesai(percobaan). Ketentuan ini
berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dari Nu`man ibn
Basyir bahwa Rasul saw. Bersabda :
مَنْ
بَلَخَ حَدً فِى غَيْرِ حَدٍ فَهُوَ مِنَ الْمُعْتَدِيْنَ
:Artinya:
Barang siapa yang
mencapai(melaksanakan) hukuman had bukan dalam jarimah hudud maka ia termasuk
orang yang melampaui batas[8].
Percobaan
melakukan zina tidak boleh dihukum dengan had zina. Demikian pula percobaan
pencurian tidak boleh dihukum dengan had pencurian. Dengan demikian, hukuman
untuk jarimah percobaan adalah hukuman ta`zir itu sendiri.
Daftar Pustaka
As- sayuthi,
Jalaludin, al jami` ash shagir, Dar al Fikr, Juz II.
Imarah,
Musthafa Muhammad, Jawahir al bukhari, Maktabah at Tijariyah al kubra, Kairo
: T.tp, 1356H.
Muslich,
Ahmad Wardi, Pengantar dan asas-asas hukum pidana islam, Jakarta : Sinar
Grafika.
Zahrah,
Muhammad Abu, Al jarimah wa al uqubah fi al fiqh al islamy, maktabah al
angelo al mishriyah, Kairo : T.tp
[1] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas-asas hukum pidana islam,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h. 167
[2] Ibid., h. 67
[3] Ibid., h. 70
[4] Muhammad Abu Zahrah, Al jarimah wa al uqubah fi al fiqh al
islamy, maktabah al angelo al mishriyah, (Kairo : T.tp), h. 381
[5] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas-asas hukum pidana islam,
h. 60
[6] Musthafa Muhammad `Imarah, Jawahir al bukhari, Maktabah at
Tijariyah al kubra, (Kairo : T.tp, 1356H), h. 271
[7] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas-asas hukum pidana islam,
h. 64
[8] Jalaludin as-sayuthi, al jami` ash shagir, (Dar al Fikr, Juz
II), h. 168
Tidak ada komentar:
Posting Komentar