Minggu, 18 September 2011

Bekerjanya hukum di masyarakat


A.   Pembuatan Hukum

Di dalam hubungan dengan masyarakat dimana pembuatan hukum itu dilakukan, orang membedakan adanya beberapa model sedangkan pembuatan hukumnya merupakan pencerminan model-model masyarakatnya. Chamblis dan Seidman membuat perbedaan antara dua model masyarakat[1] :
1.   Model masyarakat berdasarkan pada basis kesepakatan akan nilai-nilai, dimana berdirinya masyarakat bertumpu pada kesepakatan warganya.
2.   Model masyarakat berdasarkan dengan konflik, masyarakat dilihat sebagai suatu perhubungan dimana sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan oleh warga lainnya.

Sebagai kelanjutannya, maka dalam pembentukan hukum masalah pilihan nilai-nilai tidak dapat dihindarkan. Menurut Chambliss ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada pembentukan hukum yang di identikkan itu, yaitu[2] :
1.   Pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, dimana Negara merupakan senjata di tangan lapisan yang berkuasa.
2.   Sekalipun terdapat pertentangan nilai-nilai didalam masyarakat, namun Negara dapat berdiri sebagai badan yang tidak memihak (value-neutral).

Di dalam pembentukan hukum, dimana dijumpai pertentangan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan, maka Schuyt menunjukkan, bahwa ada dua kemungkinan yang dapat timbul, masing-masing adalah[3] :
1.   Sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan.
2.   Sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut. Kedua-duanya menunjukkan, bahwa di dalam suatu masyarakat yang tidak berlandaskan kesepakatan nilai-nilai itu, pembuatan hukum selalu akan merupakan semacam endapan pertentangan-pertentangan yang terdapat dalam masyarakat.

B.   Bekerjanya Hukum di Bidang Pengadilan

Dilihat di dalam kaitan sosialnya, maka setiap Pengadilan itu merupakan respons terhadap susunan masyarakat yang menjadi landasannya. Pengadilan disini dimaksud sebagai pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu masyarakat, oleh Chambliss disebutkan adanya dua unsur yang merupakan faktor yang turut menentukan, yaitu[4] :
1.   Tujuan yang hendak dicapai dengan penyelesaian sengketa itu.
2.   Tingkat pelapisan yang terdapat dalam masyarakat.

Chambliss memerinci unsur-unsur bekerjanya hukum khususnya di bidang Pengadilan, yaitu[5] :
1.   Cara persoalannya sampai ke Pengadilan, bahwa masuknya persoalan ke Pengadilan bukanlah karena kegiatan sang hakim, melainkan para pihak yang mengajukannya ke depan meja hijau sendiri. Sebagai syarat dasar bagi pengajuan persoalan ke depan Pengadilan berdasarkan dua hal[6] :
a.   Pengetahuan tentang hukum.
b.   Kemampuan keuangan.
2.   Atribut-atribut pribadi Hakim, hakim disini sebagai bagian dari pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, oleh karenanya hakim merupakan[7] :
a.   Pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat
b.   Hasil pembinaan masyarakat.
c.    Sasaran pengaruh lingkungannya pada waktu itu.
3.   Sosialisasi para hakim, bahwa sosialisasi disini dikaitkan dengan pendidikan yang diperolehnya untuk mencapai keahlian sebagai sarjana hukum.
4.   Tekanan-tekanan keadaan, tekanan ini merupakan keadaan pada suatu saat yang harus dihadapi oleh seorang hakim di dalam menjalankan pekerjaannya.
5.   Tekanan-tekanan keorganisasian, lembaga-lembaga hukum mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum tujuan tersebut sering dirumuskan sebagai menciptakan tata tertib di dalam masyarakat.

C.   Hukum dan nilai-nilai di dalam masyarakat

Hukum mencoba untuk menetapkan pola hubungan antar manusia dan merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat ke dalam bagan-bagan. Seperti halnya dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai itu menunjuk pada hal yang sama tetapi dari sudut pandangan yang berbeda. Norma itu mewakili suatu perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari sudut perspektip individual.
Menurut Fuller ada beberapa nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum, yaitu[8] :
1.   Harus ada peraturan lebih dahulu.
2.   Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak
3.   Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
4.   Perumusan peraturan-peratuaran itu harus jelas dan terperinci, dan dapat dimengerti oleh rakyat.
5.   Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
6.   Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
7.   Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
8.   Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.

Berhubungan dengan hal ini, maka satu sudut penglihatan yang dapat dipakai untuk mengamati bekerjanya hukum itu adalah dengan melihatnya sebagai suatu proses, yaitu apa yang dikerjakan oleh lembaga-lembaga hukum itu dan bagaimana mereka melakukannya. Untuk dapat mengikuti bekerjanya sistem hukum sebagai proses itu, selanjutnya di uraikan dalam beberapa komponen, yaitu[9] :
1.   Komponen yang bersifat struktural, kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tsb.
2.   Komponen yang bersifat kultural, yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem hukum itu ditengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan.
3.   Komponen yang bersifat substantif, merupakan segi output sistem hukum, pengertian ini dimasukkan norma-norma hukum sendiri, baik ia berupa peraturan-peraturan, doktrin-doktrin, keputusan-keputusan, baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.

Ketiga unsur hukum ini berada di dalam proses interaksi satu sama lain dan dengan demikian membentuk totalitas yang dinamakan sistem hukum[10].

B.   Pelaksanaan hukum

Hukum bukan merupakan suatu karya seni yang adanya hanya untuk dinikmati oleh orang-orang yang mengamatinya. Ia juga bukan suatu hasil kebudayaan yang adanya hanya untuk menjadi bahan pengkajian secara logis-rasional. Hukum diciptakan untuk dijalankan. “hukum yang tidak pernah dijalankan, pada hakikatnya telah berhenti menjadi hukum”, demikian menurut Scholten. Kemudian hukum bukanlah suatu hasil karya pabrik yang begitu keluar dari bengkelnya langsung akan dapat bekerja. Kalau hukum mengatakan bahwa jual-beli tanah harus dilakukan di hadapan pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pencatatannya, tidak berarti, bahwa sejak saat itu orang yang melakukan jual-beli itu akan memperoleh pelayanan seperti ditentukan adanya beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan tersebut dijalankan. Pertama, harus ada pengangkatan pejabat sebagaimana ditentukan di dalam peraturan hukum tersebut. Kedua, harus ada orang-orang yang melakukan perbuatan jual-beli tanah. Ketiga, orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan tentang keharusan bagi mereka untuk menghadapi pegawai yang telah ditentukan untuk mencatatkan peristiwa tersebut. Keempat, bahwa orang-orang itu bersedia pula untuk berbuat demikian[11].
Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa hukum itu hanya akan dapat berjalan melalui manusia. Manusialah yang menciptakan hukum, tetapi juga untuk pelaksanaan dari pada hukum yang telah dibuat itu masih diperlukan campur tangan manusia pula[12].
Di dalam membicarakan penerapan hukum pada masyarakat-masyarakat yang kompleks (menurut Chambliss & Seidman untuk masyarakat modern) mereka mengatakan, bahwa ciri pokok yang membedakan masyarakat primitip dan transisional dengan masyarakat kompleks adalah birokrasi. Masyarakat modern bekerja melalui organisasi-organisasi yang disusun secara formal dan birokratis dengan maksud untuk mencapai rasionalitas secara maksimal dalam pengambilan keputusan serta efisiensi kerja yang berjalan secara otomatis[13].
Menurut Schuyt, tujuan hukum yang kemudian harus diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya itu adalah sangat umum dan kabur sifatnya, ia menunjuk pada nilai-nilai keadilan, keserasian dan kepastian hukum. Sebagai tujuan-tujuan yang harus diwujudkan oleh hukum dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena kekaburan dalam tujuan yang hendak dilaksanakan oleh hukum inilah, maka sekalipun organisasi-organisasi yang dibentuk itu bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum, organ-organ ini dipakai untuk mengembangkan pendapatnya/penafsirannya sendiri mengenai tujuan hukum itu. Dengan demikian maka organisasi-organisasi ini, seperti Pengadilan, kepolisian, legislatif dsb, melayani kehidupannya sendiri, serta mengajar, tujuan-tujuannya sendiri pula. Melalui proses ini terbentuklah suatu kultur, yang selanjutnya akan memberikan pengarahan pada tingkah laku organisasi-organisasi serta pejabatnya sehari-hari itu[14].


[1]  Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), h. 49.
[2]  Ibid., h. 50.
[3]  Ibid., h. 50.
[4]  Ibid., h. 52.
[5]  Ibid., h. 55.
[6]  Ibid., h. 56.
[7]  Ibid., h. 58.
[8]  Ibid., h. 78.
[9]  Ibid., h. 84.
[10]  Ibid., h. 86.
[11]  Ibid., h. 69.
[12]  Ibid., h. 70.
[13]  Ibid., h. 73.
[14]  Ibid., h. 76.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar