Senin, 19 September 2011

Aspek reform KHI pengaruh adat (Harta Bersama)


A.  Sejarah dan pengertian Harta Bersama
Konsep pembagian harta bersama (gonogini) merupakan penyaringan dari adat kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Istilah harta bersama telah dikenal lama di berbagai wilayah di Indonesia, di Jawa Timur dikenal sebagai campur kaya, sementara di minang dikenal sebagai harta suurang, sedangkan di NAD dikenal sebagai hareuta seubareukat[1].
Pembakuan istilah harta bersama sebagai terminus hukum yang berwawasan nasional baru dilaksanakan pada tahun 1974 dengan berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Meskipun dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi telah disebutkan dengan jelas istilah harta bersama terhadap harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, tetapi dalam praktik masih saja disebut secara beragam sebagaimana sebelum berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Namun hal ini tidak memengaruhi keseragaman pengertian, sebab yang dimaksud harta bersama adalah semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung[2].
Menurut M. Yahya Harahap, jika ditinjau historis terbentuknya harta bersama, telah terjadi perkembangan hukum adat terhadap harta bersama didasarkan pada syariat ikut sertanya istri secara aktif dalam membantu pekerjaan suami.
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami-istri dalam menjalankan ikatan perkawinan. Yang mana hal ini diatur dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu[3] :
1.   Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.   Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dapat kita pahami bahwasanya harta bersama berbeda dengan harta bawaan atau pemberian dari orang tua masing-masing, Karena harta bawaan status kepemilikannya tetap berada pada masing-masing yang menerima harta tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 35 (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang telah dijelakan diatas.
Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan[4].
Harta bersama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan harta bersama adalah harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut sebagai harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun[5].

B.   Perkembangan harta bersama dalam peraturan perundang-undangan
Dalam kitab-kitab fiqh tradisional, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh ikatan perkawinan, atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi[6], dasar hukumnya adalah Q.S. An-Nisa : 32 :
Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ
Artinya : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Menurut M.Yahya Harahap bahwa sudut pandang hukum islam terhadap harta bersama ini adalah sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ismail Muhammad Syah bahwa pencarian bersama suami istri mestinya masuk dalam rub`u muamalah, tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang arab yang tidak mengenal adanya adat mengenai pencarian harta bersama suami istri itu, tetapi dibicarakan tentang perkongsian yang dalam bahasa arab disebut dengan syarikat atau syirkah.
Harta bersama dalam perkawinan itu digolongkan dalam bentuk syarikat abdan dan mufawadhan. Para pakar hukum islam di Indonesia ketika merumuskan pasal 85-97 Kompilasi Hukum Islam setuju untuk mengambil syarikat abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami istri dalam kompilasi. Para perumusan Kompilasi Hukum Islam melakukan pendekatan dari jalur syarikat abdan dengan hukum adat. Cara pendekatan yang demikian ini tidak bertentangan dengan kebolehan menjadi `urf sebagai sumber hukum dan sejiwa dengan kaidah yang mengajarkan “al `adatu muhakkamah[7].
Kemudian hal ini lebih diperinci lagi dalam Kompilasi Hukum Islam, yang mana dijelaskan dari pasal 85-97. diantaranya dalam pasal 85 yaitu “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”. Juga pada pasal 86 yaitu “(1)pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan, (2) harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”.
Meskipun pada pasal 86 dan 87 Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta pribadi masing-masing ke dalam harta bersama suami istri tetapi dianjurkan adanya saling pengertian antara suami istri dalam mengelola harta pribadi tersebut, jangan sampai di dalam mengelola kekayaan pribadi ini dapat merusak hubungan suami istri yang menjurus kepada perceraian. Apabila dikhawatirkan akan timbul hal-hal yang tidak di harapkan, maka hukum islam memperbolehkan diadakannya perjanjian perkawinan sebelum pernikahan dilaksanakan[8].
Dalam menjaga harta bersama, hal ini dijelaskan dalam Kopilasi Hukum Islam pada pasal 89 dan 90, pasal 89 yaitu “suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri, pasal 90 yaitu “istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya”.
Pengaturan kekayaan terhadap harta bersama diatur dalam pasal 91 Kompilasi Hukum Islam, yaitu :
1.   Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
2.   Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat berharga.
3.   Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
4.   Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam diatas, dapat kita pahami bahwa adnya perbedaan kehidupan sosial dizaman nabi Muhammad saw dengan kondisi sosial saat ini, saat ini ditemukan harta yang berupa surat-surat berharga. Oleh Karena itu, pengertian harta kekayaan menjadi luas jangkauannya. Sebab, tidak hanya barang-barang berupa materi yang langsung dapat menjadi bahan makanan, melainkan termasuk non materi berupa jasa dan sebagainya. Yang penting adalah penggunaan kekayaan dimaksud, baik kepentingan salah satu pihak maupun kepentingan bersama harus selalu berdasarkan musyawarah sehingga akan tercapai tujuan perkawinan[9].
Jika kekayaan bersama digunakan oleh salah satu pihak, tetapi tidak berdasarkan persetujuan pihak lainnya, maka tindakan hukum yang demikian tidaklah terpuji. Karena itu baik suami maupun istri tanpa persetujuan keduanya dalam menggunakan harta bersama menurut hukum islam tidak diperbolehkan. Pada pasal 92 Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai persetujuan penggunaan harta bersama yaitu “suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama[10].
Mengenai penggunaan harta bersama, lebih lanjut di atur dalam pasal 93, 94, dan 95 Kompilasi Hukum Islam, yang diantaranya pasal 93 yaitu “(1) pertanggung jawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing, (2) pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama, (3) bila harta bersama tidak mencukupi maka dibebankan kepada harta suami, (4) bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada pihak istri[11].
Kemudian pada pasal 94 Kompilasi Hukum Islam lebih menekankan pada harta bersama dari suami yang memiliki istri lebih dari satu (poligami) dalam hal ini dijelaskan bahwa harta tersebut terpisah dan masing-masing berdiri sendiri, yang dihitung ketika mulai melakukan akad nikahnya.
 Untuk menjaga keutuhan harta dari hal-hal yang dianggap dapat merugikan salah satu pihak, maka hal ini diatur dalam pasal 95 Kompilasi Hukum Islam, yang pada intinya salah satu pihak dapat meminta peletakan sita jaminan atas bersama ke pada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah, jika dianggap dapat merugikan salah satu pihak.
Harta bersama juga berlaku bagi pewaris yang beristri lebih dari seseorang, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 190  Kompilasi Hukum Islam yakni “bagi pewaris yang beristri lebih dari seseorang, maka masing-masing istri berhak mendapat bagian dari harta bersama dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah hak para ahli warisnya”.

C.   Pembagian harta bersama
Berdasarkan pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dikemukakan bahwa harta bersama suami istri apabila terjadi putusnya perkawinan baik karena kematian atau perceraian maka kepada suami istri tersebut masing-masing mendapat setengah bagian dari harta yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung.
Sehubungan dengan hal tersebut, pembagian harta bersama setengah untuk suami dan setengah untuk istri dalam kasus-kasus tertentu dapat dilenturkan mengikat realita dalam kehidupan keluarga di beberapa daerah di Indonesia ini ada pihak suami yang tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Dalam hal ini, sebaiknya praktisi hukum lebih hati-hati dalam memeriksa kasus-kasus tersebut agar memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan kepatutan. Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan khusus tentang partisipasi pihak suami dalam mewujudkan harta bersama keluarga, sehingga bagian yang menetapkan setengah dari harta bersama untuk istri dan untuk suami perlu dilenturkan lagi sebagaimana yang diharapkan oleh pasal 229 Kompilasi Hukum Islam[12].












[1]  Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001), h. 204
[2]  Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 107.
[3]  Zaiuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 56.
[4]  Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 108.
[5]  Kompilasi Hukum Islam pada pasal 1 point f
[6]  Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,  h. 109.
[7]  Ibid., h. 111.
[8]  Ibid., h. 112.
[9]  Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 59.
[10]  Ibid., h. 59.
[11]  Kompilasi Hukum Islam pada pasal 93.
[12]  Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 129.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar